Azyumardi Azra
http://www.republika.co.id/
Indonesia bagi banyak Indonesianis asing dari dulu sampai sekarang adalah sebuah ‘mukjizat’ (miracle). Mengapa? Tidak lain karena bagi mereka sulit membayangkan Indonesia yang begitu luas dan jarak bentangannya sama dengan antara London dan Istanbul, bisa bertahan dalam satu kesatuan negara-bangsa.
Lihat, berapa banyak negara-bangsa yang ada di kawasan antara London dan Istanbul. Padahal, wilayah tersebut merupakan daratan yang menyatu dengan masyarakat yang relatif homogen, baik secara kultural maupun agama.
Tidak hanya itu, Indonesia adalah negara kepulauan; istilah benua maritim yang belakangan ini dipopulerkan, sementara sebenarnya tidak dapat menutupi kenyataan bahwa wilayah Indonesia sesungguhnya terpisah satu sama lain oleh lautan dan selat yang demikian banyak. Hasilnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kelompok etnis lengkap dengan sistem sosial, budaya, dan bahasanya masing-masing.
Maka itu, Indonesia adalah sebuah penemuan politik (political invention) yang agaknya terbesar sepanjang abad ke-20. Dan, itu dimulai secara ‘relatif sederhana’ ketika beberapa pengembara dan ilmuwan ingin menemukan nama yang lebih pas untuk kepulauan Nusantara. Sebagaimana diungkapkan sejarawan Australia, RE Elson, dalam The Idea of Indonesia: A History (Cambridge, 2008), tidak ada seorang pun yang dapat memberikan nama yang pasti bagi kawasan ini sampai awal abad ke-20.
Beragam sebutan diberikan kepada kepulauan Nusantara. Para pengembara Asia menyebutnya sebagai wilayah ‘Laut Selatan’ atau ‘Kepulauan Timur’. Sedangkan sumber-sumber Arab, menyebutnya sebagai ‘negeri bawah angin’ dan kemudian sebagai ‘negeri bangsa Jawi’. Pengembara dan administratur Belanda kemudian menyebutnya sebagai Indies, Hindia Timur, Hindia Belanda, Insulinde, dan Nederland Tropis.
Menurut Elson, kata ‘Indonesia’ pertama kali dibuat (manufactured) pada 1850 oleh pengembara dan pengamat sosial Inggris, George Samuel Windsor-Earl, dalam bentuk ‘Indu-nesia’. Temuan ini kemudian diperkuat rekannya, James Logan, yang memandang istilah ‘Indonesia’ tepat sebagai istilah geografis, tapi tidak untuk kepentingan etnografis. Tetapi, pada 1877, istilah ‘Indonesia’ digunakan antropolog Prancis, ET Hamy, untuk mengacu kepada kelompok rasial yang mendiami kepulauan ini. Dan, sejak itu, berbagai ilmuwan, antara lain, mulai dari antropolog Inggris, AH Keane; linguis Inggris, NH Dennys; etnografer Jerman, Adolf Bastian; etnolog Belanda, GA Wilken; linguis Belanda, H Kern; sampai penasihat Belanda, Snouck Hurgronje, menggunakan nama ”Indonesia” untuk mengacu kepada wilayah dan penduduk kepulauan Nusantara.
Makin meluasnya penggunaan nama Indonesia, tidak bisa dielakkan lagi segera menimbulkan banyak implikasi politis. Sebagian wilayah Nusantara yang memang sudah relatif menyatu karena fluiditas hubungan antarpulau berkat penyebaran Islam, menjadi lebih terintegrasi dalam kerangka ”Indonesia”. Nama ”Indonesia” boleh saja ditemukan orang asing, tetapi masyarakat di kepulauan Nusantara memperoleh berkah dengan adanya kini sebuah nama untuk mengacu kepada wilayah geografis yang mereka diami bersama, sekaligus sebagai ”bangsa” yang mereka bayangkan–apa pun bentuk akhirnya. Inilah ide Indonesia yang betapa pun mungkin samarnya yang mengikat berbagai daerah, suku, dan tradisi ke dalam sebuah kerangka kebersamaan jika belum lagi kesatuan.
Momentum bagi pemaknaan politis ‘Indonesia vis-vis kekuasaan kolonial Belanda’ sudah kita ketahui, dengan munculnya gerakan-gerakan nasional yang berorientasi nasional keindonesiaan sejak dari Sarekat Islam, Budi Utomo, sampai kebangkitan Sumpah Pemuda 1928 yang mengukuhkan ide Indonesia. Dan, perwujudannya dalam bentuk negara-bangsa masih memerlukan perjalanan panjang, melewati Perang Dunia II. Begitu kemerdekaan tercapai, perjalanan mengindonesia di tangan bangsa Indonesia sendiri terbukti bukanlah hal mudah.
Ide tentang Indonesia boleh jadi meningkat dan menyurut sesuai situasi tertentu. Dan, boleh jadi juga, eksistensi Indonesia itu terancam berbagai perubahan, baik di dalam ide tentang Indonesia itu sendiri maupun di lingkungan luar yang lebih luas. Sehingga, berbagai perubahan itu mendatangkan banyak kecemasan di dalam dan di luar negeri tentang kelanjutannya. Namun, Indonesia berhasil bertahan, ketika kalangan luar memprediksikan skenario Balkanisasi negara-bangsa ini berikut dengan jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Sekali lagi, perjalanan mengejawantahkan ide Indonesia tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, sepatutnya setiap dan seluruh warga tidak memperlakukan Indonesia secara taken for granted.