NIETZSCHE DAN KEMATIAN TUHAN DALAM SEBUAH REFLEKSI

Imamuddin SA *

Ini bukan omong kosong, melainkan sesuatu yang benar-benar terjadi. Ini adalah realitas kehidupan dari dulu hingga sekarang. Fenomena ini kerap dipandang sebelah mata oleh kalangan-kalangan tetentu, padahal jika mereka bersedia menelisik kedalaman makna, mereka akan menemukan sesuatu yang besar yang sanggup dijadikan perenungan, permenungan serta refleksi terhadap realitas yang ada. Mereka tidak akan menganggap bahwa kata-kata ini bukan sebuah kata bualan yang terpancar dari mulut seorang radikal ateistik. Andaikan kata-kata ini benar merupakan ujaran dari seorang radikal ateistik, paling tidak mereka dapat mengambil sisi baiknya, sebab segala sesuatu yang ada pasti mengandung nilai yang dapat diambil dan dijadikan sebuah pembelajaran bagi diri pribadi.

Coba, cermati serta telisik kembali ungkapan ini serta kantongi nilai-nilainya. Ini merupakan harapan serta tantangan bagi anda semua untuk bisa menghargai kata-kata atau pengujarnya agar tidak selalu berpandangan picik atau culas terhadap realitas hidup dan kehidupan yang sedang menyapa.

?Tuhan telah mati!?! Ungkapan Nietzsche dalam Sabda Zaratustranya inilah yang dari zaman dahulu sampai sekarang seolah-olah menjelma sebagai virus dalam diri manusia. Virus ini terus menggerogoti logika dan perasaan manusia. Ungkapan ini selalu dianggap sebagai virus yang mematikan yang harus segera dibumihanguskan. Padahal jika diperhatikan lebih jauh, ungkapan ini merupakan cambuk pengingat bagi mereka yang telah lalai. Cambuk bagi mereka yang selalu mengutamakan esensi dan eksistensi pribadi hingga mereka menjual, mematahakan dan bahkan membunuh eksistensi Tuhan dalam dirinya.

Ungkapan ?Tuhan telah mati?mengandung nilai filosofis yang begitu dahsyat. Kematian ini bukan mengarah pada kematian esensi (dzat), melainkan mengarah pada kematian eksistensi (wewenang dan perintah) Tuhan dalam diri seorang manusia..

Secara kodrati, dzat Tuhan bersifat kekal dan abadi. Keberadaanya selalu ada melampaui ruang dan waktu serta menjadi poros kehidupan. Begitu juga dengan eksistensi Tuhan. Secara kodrati eksistensi Tuhan juga bersifat kekal dan abadi, namun dalam realitasnya eksistensi inilah yang kerapa dikebiri oleh pribadi seseorang. Ia kerapa dibantai dan ditiadakan.

Bentuk pembantaian serta peniadaan eksistensi Tuhan mungkin terlihat jelas pada waktu itu, sehingga dengan seketika pula Nietzsche mengujarkan kata-kata tersebut. Pada waktu itu manusia banyak yang beralih pandangan. Mereka selalu mengejar kenikmatan duniawi yang bersifat sementara dibandingkan dengan mengabdi kepada Tuhan. Mereka menghalalkan segala cara demi kepuasan tersebut. Mereka kerap berbuat curang, culas terhadap sesama, dan bahkan mereka kerap membuat kerusakan-kerusakan di muka bumi hanya demi kepuasan nafsiahnya semata. Di sinilah letak pembantaian dan peniadaan eksistensi Tuhan dalam diri seorang manusia. Wewenang dan perintah-Nya untuk bertaqwa dan tidak membuat kerusakan di muka bumi telah di kebiri dan di tiadakan dari dalam diri pribadinya. Tuhan seolah tidak ada hingga mereka berbuat sewenang-wenang dan semaunya.

Tidakkah telah terungkap jelas, bahwa nafsulah yang telah mengantarkan manusia berada dalam lembah kesesatan. Dialah pengantar manusia untuk berbuat ingkar kepada Tuhan. Olehnya, manusia kini telah beralih melakukan pengagungan dan pemujaan terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Manusia telah beralih menuhankan benda-benda, harta, tahta dan lain sebagainya yang merupakan perhiasan dunia yang bersifat semu dan menipu. Orientasi hidupnya kini telah berbelok menuju kebendaan duniawi.

Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena semacam itu juga telah dilukiskan beberapa puluh tahun yang lalu sebelum adanya konsep Nietzcsche. Tindakan semacam ini dilakukan oleh Karl Marx. Pada saat itu ia mengkritisi realitas sosial yang terjadi dengan mengatakan bahwa ?Agama Itu Candu?. Realitas sosial sudah kacau balau. Agama sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Agama hanya berposisi sebagai alat pemuas kebutuhan nafsiah manusia. Agama hanya dijadikan tunggangan dalam mempertinggi stratifikasi sosial, dan juga untuk mengeruk harta kekayaan demi kepentingan personal seseorang.

Terdapat satu fenomena lain dari konsep ujaran Nietzsche. Konsep ini mungkin juga diperuntukkan bagi mereka yang benar-benar mengabdikan diri terhadap hakekat Tuhan yang sejati. Bagi mereka yang benar-benar mengorientasikan diri hanya kepada hakekat Tuhan yang sejati, maka esensi dan eksistensi tuhan-tuhan yang lain akan ditiadakan. Tuhan yang bersifat kebendaan akan ia bantai habis-habisan, hingga pesonanya tidak ada lagi melekat di dalam diri seorang individu. Contoh saja agama Islam. Dalam agama Islam sudah terlihat jelas lewat kesaksian yang dibuat oleh para pemeluknya. Secara konseptual kesaksian ini berlaku bagi siapa saja yang hendak masuk dalam agam tersebut. Semua orang pasti mengikrarkan ungkapan ini, yaitu ikrar yang bersifat peniadaan terhadap Tuhan yang bersifat kebendaan. Mereka hanya meyakini hanya ada satu Tuhan yaitu Allah. Dialah yang dijadikan sandaran dan tujuan hidup bagi mereka. Dia diyakini sebagai sesuatu yang bersifat kekal, abadi, kuasa, dsan sempurna.

Dalam realitasnya, konsep ini telah ditanamkan bagi siapa saja yang memeluk agama Islam, namun dalam praktik yang sebenarnya masih perlu dipertanyakan. Pertanyaan yang timbul adalah: sudahkah para pemeluk agama Islam menerapakna dengan sepenuh hati konsep tersebut dalam hidup dan kehidupanya? Sudahkah mereka melakukan pembunuhan dan pembantaian terhadap segala sesuatu yang besifat kebendaan dan hanya berorientasi pada Allah semata? Ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam untuk melakukan penerapan secara real bukan hanya sekedar dijadikan lipstik atau kaligrafi yang disakralkan.

Coba tengok lebih jauh lagi tentang pembunuhan dan pembantaian Tuhan. Fenomena yang terjadi di dalam dunia sufistik, bahwa ungkapan Tuhan sudah tidak ada lagi. Ungkapan ini mereka ganti dengan istilah kekasih. Tuhan yang notabenenya masih bersifat plural, mereka spesifikkan dengan kata Kekasih. Mereka menggapai dan menuju Tuhan bukan sebagai Tuhan lagi, melainkan sebagai Kekasih yang harus didekati dengan cinta bukan dengan ketakutan-ketakutan. Mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak lain adalah bentuk kasih sayang-Nya, sehingga cara pendekatan diri pun harus dilakukan dengan cinta dan kasih sayang pula.

Perhatikan ungkapan yang diujarkan oleh seorang ?Pir? pada Abu Sa?id saat ia berilustrasi hendak bertemu dengan Tuhan. Saat Abu Said ditanya: ?Apakah kau ingin bertemu Tuhan??. Jawab Abu Sa?id: ?Tentu saja aku ingin?. Kemuduan ?Pir? itu menjawab: ?Jika demikian, kapan pun saat kau sendirian, lantunkan syair ini:

?Tanpa Dikau, oh, Kekasih, setitik pun aku tidak bisa tenang;
Kebaikan-Mu terhadapku tak sanggup kubalas.
Sekali pun setiap helai rambut di tubuhku menjadi lidah,
Ribuan syukur terhadap-Mu tak akan bisa kudaras.?

Dalam syair tersebut dikatakan bahwa Tuhan diibaratkan atau disimbulkan sebagai Kekasih. Ia telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang terhadap manusia, sehingga beribu syukur dan terima kasih yang diucapkan seorang manusia terhadap-Nya masih tidak sanggup untuk membalas cinta kasih-Nya, bahkan seumpama helaian rambut yang ada pada tubuh manusia menjelma menjadi lidah dan saling mengucap syukur kepada-Nya, itu pun masih tidak sanggup membalas banyaknya cinta kasih yang telah dianugrahkan kepadanya. Oleh sebab itu, dalam ajaran Islam, setiap kali seseorang hendak melakukan sesuatu hal, ia disunnahkan untuk membaca basmalah. Ini menunjukkan akan bentuk kesaksian terhadap cinta kasih Tuhan yang esa.

Semua orang mengetahui, bahwa seorang sufi selalu mengorientasikan hidup dan kehidupanya hanya kepada Tuhan. Yang ia tuju hanyalah esensi dan eksistensi Tuhan semata. Hal tersebut kerap tercermin melalui ungkapan-ungkapanya, termasuk ungkapan syair di atas yang mengibaratkan Tuhan sebagi Sang Kekasih. Perlu dijadikan catatan, bahwa pengungkapan tersebut merupakan simbol semata. Masih banyak simbol-simbol lain yang merupakan bentuk pembantaian dan pembunuhan terhadap penuhanan benda-benda keduniawian, yaitu harta, tahta, dan lain sebagainya.

*) Imamuddin SA, lahir di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim. 13 Maret 1986, nama aslinya Imam Syaiful Aziz. Aktif mengikuti diskusi di Forum Sastra Lamongan [FSL], Candrakirana Kostela, Sanggar Seni Simurg. Sempat sebagai sekretaris redaksi pada Jurnal Sastra Timur Jauh, serta Jurnal Kebudayaan The Sandour. Karya-karyanya terpublikasi di Majalah Gelanggang, Gerbang Masa, Tabloid Telunjuk, Jurnal Kebudayaan The Sandour, dll. Karyanya terantologi di Lanskap Telunjuk, Absurditas Rindu, Khianat Waktu, dan Memori Biru. Antologi tunggalnya: Esensi Bayang-Bayang (PUstaka puJAngga), Sembah Rindu Sang Kekasih (PUstaka puJAngga).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *