Judu : Hebron Journal, Catatan Seorang Aktivis Perdamaian dari Amerika yang Melawan Kekejaman Israel di Palestina dengan Jalan Cinta dan Anti-Kekerasan
Penulis : Arthur G Gish
Penerbit : Mizan Bandung
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 550 halaman
Peresensi: Muhammadun AS
http://suaramerdeka.com/
KRISIS di jalur Gaza menjadi perhatian masyarakat dunia hari ini. Tak lain karena tragedi kemanusiaan sedang berlangsung secara kolosal. Dan dengan bangga, Israel membantai ratusan manusia tak berdosa dengan kejam dan kebiadaban. Gelombang protes terjadi dimana-mana, tetapi kekejaman terus berlangsung tanpa henti. Bahkan seruan perdamaian yang ditiupkan dari Vatikan oleh Paus Benediktus XXV tidak memberikan pengaruh apa pun bagi Israel. Para pemimpin negara di Timur Tengah juga menyerukan ihwal perdamaian, tetapi konflik panjang yang penuh darah sudah telanjur mendarah daging, sehingga pembantaian terus berlangsung tanpa henti.
Buku ini merupakan ekspresi penulis dalam memperjuangkan harkat dan martabat kemanusiaan di Palestina. Arthur G Gish adalah seorang aktivis perdamaian dari Christian Peacemaker Teams (CPT), organisasi sosial kemasyaratakan di AS. Para aktivis CPT dikenal sebagai sosok-sosok yang berkomitmen tinggi dengan ajaran Kristiani. Jiwa toleransi dan solidaritas para aktivis CPT dikenal sangat baik, tidak membedakan agama, ras, dan apa pun. Mereka membela kemanusiaan dan menyerukan perdamaian.
Selama enam tahun, 1995-2001, Gish hidup bersama keluarga-keluarga muslim dan melakukan aksi-aksi antikekerasan menentang kekejaman Israel. Dalam membela rakyat Palestina, Gish tak jarang harus menempuh bahaya, seperti menghadang tank dan buldozer yang akan meratakan rumah dan pasar, atau menghadapai todong?an senapan tentara Israel. Ia juga menjembatani hubungan umat Islam, Yahudi, dan Kristen di Palestina yang telah terpecah belah akibat politik Zionis. Ia merangkul seluruh pemimpin ketiga agama tersebut dan mengajak berdialog untuk mencari solusi strategis tentang perdamaian Israel dan Palestina.
Mengikuti Ritual
Untuk masuk dalam dialog ketiga agama tersebut, ia mengikuti segala ritual dan tradisi yang berlaku. Dia tidak canggung dan merasa risih dengan ritual dan tradisi agama lain. Semua itu dilakukan untuk bisa masuk berdialog dan bekerja sama lintas agama dalam membuka jembatan dialog bagi masa depan perdamaian. Dengan rendah hati, ia mendatangi satu per satu pemimpin agama. Dari perjalanan itulah, dia bisa menjadi seorang aktivis yang dekat dengan pemimpin agama dan merasa tidak khawatir terhadap segala yang dilakukan, walaupun menghadapi tantangan yang tidak ringan di tengah kekejaman tentara Israel.
Keberanian Gish dalam memperjuangkan perdamaian dan ketidakberpihakan terhadap kelompok tertentu, menjadikan ia leluasa bergerak dalam mencipta aliansi perdamaian. Selama enam tahun di Palestina, ia selalu mengampanyekan antikekerasan, cinta, dan kasih sayang bagi Israel dan Palestina. Ajaran Kristiani yang diyakini mengharuskan selalu berjuang untuk terus menebarkan cinta dan kasih sayang kepada siapa pun.
Dengan cinta dan kasih sayang itulah, dalam keyakinan Gish, dunia bisa menggapai perdamaian dan ketenteraman. Kesera?kah?an dan kebidaban adalah hasil dari hilangnya ruh cinta dalam napas keagamaan.
Titik krusial yang dihadapi Gish adalah ketika dia berjuang di Hebron. Salah satu kota tertua di dunia, terletak di antara empat gunung di antara perbukitan Yudea, sekitar tiga puluh kilo meter di sebelah selatan Yerusalem. Hebron adalah tempat dimakamkan Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka, Yakub dan Lea. Kota ini adalah ibu kota Raja Daud yang pertama. Selama berabad-abad, banyak pertempuran yang telah terjadi di Hebron. Alkitab menyebutnya selama tujuh puluh kali. Sejarah Hibron sangat berpengaruh terhadap peradaban Palestina dewasa ini.
Dan di Hebron inilah, pergulatan dan perjuangan Gish mendapatkan ujian yang tidak ringan. Karena Hebron menjadi titik rentan konflik, salah sedikit saja bertindak, akan berakibat fatal dalam misi perjuangan Gish dalam menyuarakan perdamaian. Hebron hampir sama sensitif dengan Jerusalem. Menyentuh kedua kota ini harus hati-hati, karena masing-masing dari Islam, Yahudi, dan Kristen mengklaim kedua kota tersebut sebagai kota suci mereka. Tak pelak, hadir di tengah kedua kota tersebut menjadi pertaruhan yang sangat membahayakan.
Walaupun demikian, itu justru menjadi motivasi kuat Gish dalam menggelorakan perdamaian. Berdiri di tengah api konflik bangsa Palestina dan pembantaian berdarah bangsa Israel menjadikan Gish selalu hati-hati dalam bertindak. Gish tidak mau gegabah dan tidak asal bekerja, tetapi dengan rancangan yang baik dan sistematis. Dan Kota Hebron inilah yang dijadikannya sebagai titik tolak dalam membangun dialog. Dengan dialog, Gish ingin memcipta persepsi persatuan bangsa Palestina. Karena dengan persatuanlah, bangsa Palestina bisa menghentikan kebiadaban Israel.
Menentang AS
Gish telah aktif 40 tahun dalam mewujudkan perdamaian dan keadilan sosial. Sejak muda, dia menentang keterlibatan AS dalam berbagai perang. Sehari-hari Gish ditemani istrinya, Peggy Faw Gish, yang juga seorang aktivis perdamaian. Peggy pernah menjadi aktivis perdamaian di Irak, dan mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan tentara AS, bahkan ia pernah diculik. Gish dan Peggy menjadi sepasang suami-istri yang terus hidup dalam jalan berliku yang berbahaya. Tak lain untuk menyuarakan perdamaian dan kasih sayang kepada seluruh umat manusia.
Cacatan dan rekaman perjuangan Gish dalam buku ini menjadi penting untuk dibaca di tengah tragedi kemanusiaan di jalur Gaza yang masih terus bergelora. Pengalaman hidup Gish menjadi sebuah pergulatan dan pertaruhan yang bisa menjadi pelajaran berharga sebuah perjuangan di medan tragedi kemanusiaan. Spirit menyuarakan perdamaian, cinta, dan kasih sayang, bila dijalankan dengan baik, akan menjadi penanda baru dalam mencipta peradaban dunia masa depan yang lebih baik dan beradab.