Puisi-Puisi Dwi S. Wibowo

http://sastrasaya.blogspot.com/
Bocah Paskah

Seorang bocah lelaki keluar dari gereja membawa telur paskah
Yang diberkati pendeta. Disimpannya dalam saku dan dibawa pulang
Sesampainya di rumah, ia sampaikan pada sang ibu
?ibu, aku mendapat sebutir telur dari gereja?
?ya, telur yang indah? jawab ibunya
Oleh si bocah lelaki, telur paskah dihiasnya dengan cat air warna-warni
Di permukaan, ia melukiskankan pemandangan kesukaannya
-Suasana matahari terbenam dari balkon sebelah barat rumahnya-
Selesai melukis, bocah lelaki itu duduk membungkukkan badannya
Ia tertidur di meja belajar dekat jendela. Di telapak tangannya,
Telur paskah ia genggam erat-erat khawatir hilang selagi mimpi
Mendatangi tidurnya.

Hingga sore hari, senja menyinari wajahnya. ?nak, bangunlah.
Hari menjelang malam? kata ibunya. Bocah lelaki itu bangun, namun
dalam genggamnya tak lagi ada telur paskah yang telah ia lukis siang tadi.
?ibu, di mana telur paskahku??
?lihatlah keluar jendela, nak. Bukankah itu yang kau lukis siang tadi?? jawab ibunya.

Yogyakarta, 4 april 2010

Dan Waktu, Batu

Sungguh, tanganmu mengepal serupa waktu. Menghapus segala kenangan dari sebuah gunung batu, barangkali telah benar kau lupakan semua cerita yang kau tulis sendiri di dinding batu halaman rumahku?, tidakkah semua itu rekaman dari cerita percintaan kita yang tak dikekalkan angin, apakah ini sekedar retak pada sebuah cangkir yang disuguhkan pada perjamuan malam minggu. Kalimat-kalimatmu kusimpan dalam buku harian, tersebab cinta maka kuendapkan saja biar jadi puisi. Tentang semua rindu, tentang semua kasih, tentang semua pelarian dalam diri kita.

Cukup lama, waktu yang kubutuhkan untuk benar melupakanmu. Angin yang setiap senja mengirim bau tubuhmu dan membawa setitik kabar dari sekedar pasir atau buku harian yang tanpa sengaja terbuka. Sungguh, aku membutuhkan waktu yang begitu keras menghantam gunung batu. Sebab semua cerita di tubuh batu telah terkikis oleh rintik gerimis yang tak mampu memberi apapun. Lihatlah pada bibir laut, ketika ombak menghempas balik perahu nelayan, juga mengoyak kapal penyeberangan di tanjung barat.

Sungguh, tanganmu mengepal sekeras waktu. Melebihi batu.

2009

Aku Cuma Ingin
-prima heranita

Aku bosan menelurkan berbagai warna
Dalam lukisanku yang pasi, padahal ia tahu
Seberapa besar rasa rindu ini berkembang
Di dadaku.

Aku merasa muak dengan semua wajahmu
Yang ada dalam seluruh sket di lembarlembar kertas
yang terhenti pada dinding
kamarku.

Aku membenci segala polah yang terlanjur kumuntahkan
di hadapanmu, sampai kau enggan melihat wajahku
Bahkan fotoku yang terpampang
di album kenangan.

Aku tak mau lagi membuat berloyangloyang kue
Kesukaanmu, yang terpaksa kubiarkan membeku di ruang freezer
Tanpa pernah kuantarkan ke depan pintu
Rumahmu.

Aku cuma ingin menumbuhkan puisi di batinmu yang kosong, lalu membiarkanmu melahirkan makna baru di setiap baitnya meski dengan terbata harus kau eja sendiri. Agar kau tahu dan tak hendak bertanya padaku, mengapa aku tak bisa megatakannya dengan lebih baik?

Yogyakarta, 10 mei 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *