Puisi-Puisi Isbedy Stiawan Z.S.

suarakarya-online.com

Kehilanganmu

wahai malam yang kian runcing aku akan tiba di pucukmu bukan untuk lelaptapi ingin menikmati tubuhmu, kecantikan parasmu yang didandani rembulan aku ingin menciumi pusarmu seluruh perutmu karena sudah lama aku kehilangan kecantikanmu, parasmuyang selalu pekat

Saat Lengang

apakah kau akan datang ini malam ketika aku benar-benar lengang? di jalan yang basah lampu lampu tumbuh di kepalamu bercahaya melukis wajah kuremang basah oleh hujan

Lelaki Pembuat Sampan

lelaki muda itu cekatan membuatkan aku sebuah sampan katanya: sebentar lagikota ini akan tenggelam air bah akan datang dari tempat jauh dan bebukitan aku terdiam, tak bisa membantu karena aku tak ahli membuat perahu “setelah bah benar-benar datang naiklah kau ke sampan jangan tengok kota ini lagi,” kata lelaki itu aku menggeleng, sebab aku sudah jadi ikan yang tak perlu sampan

Episode Bocah Palestina

“aku harus mengungsi dari tanah air sendiri?” tanya seorang bocah palestina lebih baik berkalang tanah bermandi darah ditembus puluhan peluru kupilih mati di rumah sendiri daripada diusir ke lain negeri setelah melawan habis-habisan menghadang di perbatasan meneriakkan:
“ini tanah bumiku kujaga rumahku dari yahudi yang ingin menjarah”

Menyemai di Ladang Jauh

ingin menyemai masa silam menanam lagi bulir-bulir harapan di ladang yang jauh, di pebukitan tak terjangkau, di lubuk laut tak terukur di kedalaman tak terjamah liang kubur seberapa usia kugadai?

Piatu

kini ia piatubahkan lebih jadi batu ketika kau tinggalkan menuju keriangankau melupa?
ia terluka!

Doa

jika hamba debu jadikan debu itu bercahaya bila daku tanahmohonkan tanah itu menyimpan intan sehingga berkilau dan kau sukai

Kuburu Malam

malam kian menyelinap, namun tetap kuburu meringkus setiap derai kabut yang jatuhdan jadi peluh: wajahku hitam, seperti warna langit yang kutatap kini akan kuburu terus malam yang berlari dalam bayang waktu yang menyelinap tapi kujaga bayangku agar tak sasap di bawah langit yang hitam membayang kelam wajahku di antara derai kabut yang jatuh “lelaki siapa terkapar di jalan tanpa nyawa?” hanya desau, cuma igau sempat memukau akukah yang mati di jalan itu, ketika kau datang membawa sisa malam? jangan. jangan tulis namaku di nisan sebelum selesai kuburu malam!

Menunggumu Sore ini

Jika kau datang sore ini membawakan hujan akan kukembalikan padamu selembar mantel agar di dalam baju itu kau bisa bercumbu tentang pekat dan cairan dingin Tapi cuaca yang garing dan angin jemu di balik pohon-pohon itu mungkin tak kuat mengirim awan lalu apakah kau akan batal mengunjungiku? Di sini aku memandang ke jalan mencarimu yang mungkin melangkah menuju istirahatku dengan sejumlah bawaan. Terlalu cepat aku berharap kau datang bawakan hujan sore ini, ketika peluhku tengah menulis kisah-kisah yang terus menghambur.

Meski berulang ingin kucatat setiap hujan datang dan mantel yang hilang jalan-jalan tenggelam kota yang berubah lautan sebentar aku ingin menyiapkan topi atau jas hujan, agar ketika kau datang kuberi setetes minum. Demikian aku tetap menunggu sore ini, kau temui aku dengan selembar jas hujan.

***
Isbedy Stiawan Z.S., lahir dan besar di Tanjungkarang. Menulis puisi, cerpen, dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media massa daerah dan Jakarta. Lebih dari 15 buku cerpen dan puisi diterbitkan, dan baru terbit buku puisi Anjing Dini Hari (Rumah Aspirasi, Februari 2010).

Leave a Reply

Bahasa ยป