Wuryanti Puspitasari
oase.kompas.com
“Bengawan Solo, riwayatmu ini, sedari dulu jadi, perhatian insani,” Puluhan remaja menyanyikan lagu Bengawan Solo dengan syahdu dari atas kursi roda. Keterbatasan fisik tidak menyurutkan gairah mereka, melantunkan hingga habis lagu peninggalan maestro kerongcong, Gesang.
Mereka berderet-deret disamping rumah duka bersama puluhan orang lainnya untuk melepas kepergian sang legenda. Di bagian punggung seragam sekolah yang mereka kenakan, terpampang tulisan Sekolah Luar Biasa Yayasan Pembinaan Anak Cacat (SLB YPAC) Solo.
Salah satu siswa, Iqbal, yang mengalami kelumpuhan kaki mengatakan dirinya berada disitu sebagai penghormatan terakhir untuk tokoh budaya yang baru saja tutup usia.
Keberadaan para siswa SLB tersebut merupakan satu bagian kecil dari rangkaian panjang upacara pemakaman Gesang Martohartono.
Berpusat di rumah duka, rumah sederhana dengan beberapa ornamen kayu di beberapa sisi, duka itu menggelayut. Peti jenazah Gesang membujur di ruangan berukuran sekitar 4×6 yang terus saja dipenuhi ratusan pelayat.
Metamorfosis Gesang sejak dirinya muda hingga tua terekam dalam bingkai gambar-gambar foto mapun lukisan yang tergantung di ruangan tersebut.
Satu meter dari peti jenazah, Toyib (75) adik kandung Gesang duduk diam memandangi pera pelayat yang datang.
Tangan keriputnya sesekali mengusap air mata yang masih saja mengalir lembut dari sudut-sudut indera penglihatannya. Tatapan matanya kosong, menatap kelu pada tubuh kaku di dalam peti jenazah.
Sedikit gemetar, dia bercerita bahwa tujuh bulan lalu, ia pernah memiliki firasat buruk tentang kakak yang dibanggakannya.
Satu dari puluhan foto Gesang yang tergantung di dinding ruangan itu jatuh dan kaca yang membingkainya pecah.
Padahal, saat itu tidak ada angin kencang, tidak ada juga guncangan, namun tiba-tiba benda itu terhempas ke lantai. “Firasat saya langsung ndak enak,” katanya dengan dialek Jawa yang kental.
Namun, setelah dua bulan berganti dan keadaan Gesang dinilainya baik-baik saja, dia melupakan firasat buruk tersebut. “Ndak taunya firasat buruk saya menjadi kenyataan sekarang ini, di bulan ketujuh” katanya.
Ia mengakui, kepergian Gesang mungkin kehendak terbaik dari Allah SWT karena beberapa waktu belakangan Gesang cukup menderita karena penyakitnya. “Daripada sakit terus menerus, mungkin ini yang terbaik, meskipun keluarga sangat berat melepas kepergiannya,” katanya.
Dia juga mengatakan, keluarga besar akan meneruskan cita-cita Gesang, yakni melestarikan musik keroncong.
Selain Toyib, duka mendalam juga dirasakan oleh Yuniarti, salah satu keponakan Gesang yang menemaninya, hingga ajal menjemput pria yang pernah mendapatkan Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma Presiden tahun 1992 itu.
Dia bercerita, sekitar jam 10.00 WIB atau delapan jam sebelum wafat, Gesang terlihat segar bugar dan bersemangat. “Bahkan bapak sempat menyanyikan lagu Bengawan Solo dan Jembatan Merah,” katanya.
Gesang juga mengajaknya bernyanyi, namun karena ia tidak hafal Gesang memintanya untuk mencatat syair lagu di sebuah kertas.
“Setelah saya selesai mencatat, bapak meminta saya untuk memberikan syair tersebut kepada pemain alat musik cello,” katanya.
Namun hingga menghembuskan nafas terakhirnya, Gesang tidak menyebutkan siapa pemain cello yang dimaksud. “Saya hanya menangkap bahwa bapak ingin kedua lagu itu dan lagu keroncong lainnya diteruskan kepada generasi muda agar terus dapat lestari,” katanya.
Ia juga menambahkan keluarga sangat kehilangan sosok sederhana nan setia. Keluarga hanya berharap, sanggar seni milik Gesang yang berada di tepian Sungai Bengawan Solo dapat dipugar, diperbaiki, diperindah, dan dapat menjadi peninggalan bersejarah sepeninggal Gesang.
Keinginan itu direspon oleh Pemerintah Kota Surakarta. Wakil Walikota Surakarta, FX Rudyatmo mengatakan pihaknya akan merevitalisasi bangunan sanggar seni milik Gesang. “Kami berencana untuk memugar bangunan tersebut agar menjadi lebih baik,” kata Rudyatmo.
Rudyatmo menjelaskan, kondisi bangunan sanggar seni milik Gesang cukup memprihatinkan karena mengalami kerusakan di beberapa bagian.
Karena itu, Pemkot Surakarta akan mengkaji dan menindaklanjuti wacana untuk merevitalisasi sanggar seni tersebut. Ia berharap, sanggar seni itu nantinya akan menjadi pusat kesenian bagi generasi muda yang tertarik untuk mengembangkan bakatnya di bidang seni dan budaya khususnya musik keroncong. “Dengan demikian, kami berharap akan mencetak maestro-maestro baru penerus almarhum Gesang,” katanya.
Meski demikian, dia belum bisa memperkirakan berapa biaya yang dibutuhkan untuk memugar bangunan sanggar seni tersebut.
Ia juga menambahkan, Pemerintah Kota Surakarta dan segenap masyarakat sangat kehilangan sosok Gesang sebagai legenda musik keroncong.
Ia berjanji akan mengusulkan Gesang sebagai pahlawan nasional di bidang budaya kepada pemerintah pusat.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mendukung almarhum Gesang Martohartono menjadi pahlawan nasional di bidang budaya.
“Saya mendukung penuh usulan dari masyarakat untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Gesang,” kata Agung Laksono.
Menko Kesra menjelaskan pihaknya akan membawa usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Gesang untuk segera diproses lebih lanjut.
Presiden selama ini mengambil keputusan tentang pemberian gelar pahlawan berdasarkan usul dari Dewan Tanda-Tanda Kehormatan Republik Indonesia.
Agung juga mengatakan gelar pahlawan nasional di bidang budaya kepada Gesang sangat pantas diberikan mengingat jasa almarhum dalam mengembangkan musik keroncong.
Ia juga menambahkan, usulan untuk menjadikan Gesang sebagai pahlawan nasional karena karyanya terbukti membawa harum nama bangsa dan negara. “Liriknya sangat dikenal, bahkan lagu Bengawan Solo diterjemahkan ke 13 bahasa asing,” katanya.
Selain adanya usulan untuk menjadikan Gesang sebagai pahlawan nasional di bidang budaya, sang Maestro pun memiliki kemungkinan untuk mendapatkan anugerah budaya dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Namun, Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Tjetjep Suparman menjelaskan, pemberian anugerah itu memakan waktu selambat-lambatnya satu tahun. “Pemberian anugerah ini tidak mudah, harus melalui berbagai proses, karena ini merupakan penghargaan bergengsi yang diberikan oleh kementerian kami,” katanya.
Menanggapi hal tersebut, pihak keluarga hanya bisa mengapresiasi perhatian yang diberikan pemerintah sepeninggal Gesang.
Namun, satu hal yang mereka harapkan, keinginan terakhir Gesang, untuk melestarikan musik keroncong jadi kenyataan. “Kami berharap musik keroncong akan tetap lestari, sepeninggal bapak kemarin petang,” kata Yuniarti.
***