Siti Muyassarotul Hafidzoh*
http://oase.kompas.com/
Judul: Her Story: Sejarah Perjalanan Payudara
Penulis: Naning Pranoto
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: I, April 2010
Tebal: 259 halaman
harga: 45.000,-
Perempuan adalah permata kehidupan. Dalam setiap lekuk tubuhnya, Tuhan menganugerahkan permata yang indah dan menawan. Tubuh perempuan menjadi cawan autobiografi kehidupannya. Nietzsche bahkan berani menyebut tubuh perempuan mempunyai kecerdasan besar. Ajaran Budha melihat tubuh sebagai pura bagi manusia. Tubuh harus terus dijaga agar bersih untuk berumah jiwa yang jernih. Mutiara yang melekat dalam tubuh perempuah harus terus terjaga dengan jernih sehingga menjadikan perempuan sebagai ibu kehidupan. Dari rahim perempuan, permata kehidupan menjadi tampak, kehidupan semakin cerah dan penuh cahaya.
Akan tetapi, perkembangan laju peradaban membuat tubuh perempuan menjadi objek eksploitasi teknologi modern. Apapun dalam diri perempuan menjadi permata yang ?dijual-belikan? dalam transaksi peradaban yang penuh hasrat dan kepentingan. Germaine Greer melihat bahwa tubuh yang indah dan seksi, wajah jelita, kulit cemerlang, payudara montok adalah paket yang dikejar hampir setiap kaum perempuan agar kecantikannya menyamai para dewi yang hidup dalam dongeng. Mengapa harus menjadi dewi, jika tubuhnya hanya menjadi objek permainan kaum lelaki? Sementara itu, ada peran lain yang lebih penting menanti.
Di tengah kegalauan ihwal tubuh inilah, Naning Pranoto hadir lewat bukunya yang bertajuk ?Her Story: Sejarah Perjalanan Payudara.? Penulis tidak mengulas semua yang menempel dalam diri perempuan, akan tetapi mengambil objek ?payudara? sebagai simbol keperempuanan yang selama ini menjadi persoalan serius dalam perjalanan hidup perempuan. Penulis melihat bahwa dibalik payudara yang montok yang selalu dibanggakan kaum hawa ternyata menyimpan sejarah kelam yang kerap mendiskriminasikan perempuan dan meminggirkannya dalam percaturan peradaban. Bahkan telah menjadikan perempuan sebagai objek kenistaan dan korban kekerasan dalam berbagai epifeni terburuk dalam sejarah umat manusia.
Dalam analisisnya, penulis melihat bahwa payudara yang montok tidak sekedar dipandang sebagai sentral libido, tetapi juga dinilai sacral. Kemontokan payudara dimaknakan sebagai symbol kesuburan, kasih saying, dan sumber kehidupan. Pemaknaan ini sangat relevan dengan fungsi payudara sebagai sumber air susu yang menghidupi bayi-bayi atau calon manusia. Tanpa ada kesuburan, air susu tidak akan mengucur. Tanpa kasih saying, air susu tidak akan diberikan kepada bayi-bayi. Maka, para ibu yang tidak mau menyusui bayinya berarti payudaranya tidaklah mempunyai makna luhur, karena fungsinya hanya sebagai perangkap libido dan pemuas nafsu birahi belaka (hal.16).
Dalam pandangan Freud, payudara tak ubahnya penis bagi lelaki. Keduanya ?payudara dan penis- bersifat libidos, yakni membangkitkan nafsu birahi secara instingtif. Keduanya menjadi sumber kenikmatan seksual yang bisa dinikmati secara oral. Tak salah kalau perempuan selalu berhias diri dengan menonjolkan payudaranya agar menjadi objek penglihatan kaum lelaki. Karena begitu kuatnya sifat libidos dalam diri payudara, kemajuan teknologi modern menjadikan payudara sebagai objek paling dieksploitasi dalam berbagai konsumsi modernitas yang ditampakkan dalam berbagai iklan, televisi, majalah, dan ihwal marketing pasar lainnya. Payudara perempuan benar-benar menjadi berkah sekaligus menjadi musibah yang targis!
Dalam konteks ini, perlu kiranya melihat jejak perempuan dalam siklus kebudayaan yang melingkupinya. Dalam kendala budaya patriarki, masa demi masa menjadi saksi berbagai kisah pilu yang menimpa perempuan. Misalnya, anak perempuan dianggap tidak berguna dan hanya pendosa sehingga menjadi aib keluarganya. Maka, anak-anak perempuan disia-siakan dan dipewrlakukan sewenang-wenang seperti binatang. Kaum perempuan juga dijadikan sebagai pampasan perang. Perempuan dijadikan budak berlian. Perempuan dijual pada penguasa untuk dijadikan gundik atau budak seks. Perempuan dijadikan sebagai tumbal ritual. Perempuan dinilai tidak layak sekolah karena otaknya tumpul. Perempuan hanya dianggap bisa beranak dan masih banyak lagi anggapan yang melecehkan perempuan (hal. 45).
Nasib tragis yang menimpa perempuan direkam dengan mengenaskan oleh novelis asal Mesir, Nawal El-Saadawi. Dia mengisahkan bahwa seorang gadis yang dianggap tidak memiliki keperawanan lagi bisa dikenai hukuman mati secara fisik, secara moral atau paling tidak diceraikan jika hal itu ketahuan. El-Saadawi memberi kesaksian mengenai kejamnya hukuman bagi perempuan yang selaput daranya tidak mengeluarkan darah pada malam pertama melakukan hubungan seks (hal. 33). Bukan hanya dalam kisah malam pertama, tetapi banyak kisah lain yang diungkap kaum feminis kontemporer ihwal tragisnya nasib perempuan di tengah kemajuan peradaban manusia dewasa ini.
Untuk itu, bagi penulis, stereotip yang bias ini harus diluruskan dan dilawan. Menggunakan analisis gerakan feminis, penulis menyuguhkan beragam argument untuk melepaskan perempuan dalam belenggu yang menyakitkan. Feminisme liberal memperjuangkan agar hak-hak perempuan setara dengan kaum lelaki dalam bidang politik, pendidikan, dan lapangan pekerjaan, sehingga kaum perempuan tidak hanya terkurung ke dalam rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja (motherhood) saja dan sekedar alat atau instrument untuk kesenangan, kebahagiaan, dan kesempurnaan orang lain (kaum lelaki).
Dalam pandangan kaum feminisme marxis dan sosialis, kaum perempuan dipandang sebagai makhluq lemah karena ?dilemahkan? oleh struktur politik, sosial, dan ekonomi. Feminisme eksistensialis menentang anggapan bahwa perempuan memang ditakdirkan sebagai pekerjaan yang bersifat motherhood.
Perempuan harus kembali sebagai mata air kehidupan. Kembali memancarkan inner beauty yang dimiliki, bukan sekedar sex appeal saja. Inner beauty adalah pancaran kecantikan dari dalam yang mengundang sikap simpati dari orang-orang sekitarnya, lelaki maupun perempuan. Tetapi sex appeal adalah daya tarik bagi lawan jenisnya saja. Inner beauty harus menjadi prioritas perempuan untuk tampil dihadapan public, sehingga gerak perempuan di tengah kemajuan peradaban kontemporer bisa sejajar dan semartabat dengan lelaki. Saatnya perempuan mengucapkan selamat tinggal kebodohan dan keterbelakangan, serta selamat datang kemajuan dan kegemilangan.
*Aktivis Gerakan Perempuan, Peneliti Center for Developing Islamic Education (CDIE) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.