A.S. Laksana *
jawapos.co.id
NOAM Chomsky, ahli bahasa dan aktivis politik AS, menyodorkan gagasan tentang struktur permukaan dan struktur dalam pada kajiannya tentang bahasa ujaran orang. Kajian itulah yang kemudian melahirkan pandangan baru dalam khazanah linguistik dengan apa yang disebut sebagai tata bahasa transformasional. Dalam teori gramatika yang dikembangkannya, Chomsky menyimpulkan bahwa struktur ujaran seseorang merepresentasikan pandangan dunianya. Karena itu, ketika seseorang mengomunikasikan ”realitas”, yang dia sampaikan sesungguhnya adalah ”realitas hasil olahan” yang melibatkan di dalamnya generalisasi, distorsi, dan penghapusan (deletion).
Misalnya begini, seorang kawan baik datang pada suatu hari menemui Anda dan, setelah ngobrol-ngobrol ringan sebentar, dia mengatakan, ”Saya tak bisa percaya lagi kepada orang lain.”
Dalam tata bahasa transformasional, kalimat tersebut mewakili apa yang dinamakan struktur permukaan yang tidak lengkap karena mengandung generalisasi, penghapusan, dan distorsi yang sudah kita sebutkan di atas. Mungkin lengkapnya adalah, ”Sejak peristiwa itu, saya tak bisa percaya lagi kepada orang lain, bahkan yang tampak baik sekalipun.”
Katakanlah kemungkinannya seperti itu. Selanjutnya, dari sana kita bisa menjadi tahu bahwa pandangan dunia orang ini pelan-pelan niscaya menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri. Dia tentu saja mempunyai orang tua, memiliki kerabat, mempunyai suami atau istri (jika sudah menikah), mungkin mempunyai anak -dan mereka semua bisa Anda kategorikan sebagai orang lain. Apakah dia juga tidak bisa memercayai mereka? Apakah dia tidak bisa juga memercayai Anda sebagai kawan dekatnya? Apakah dia tidak bisa memercayai orang yang ”benar-benar baik”? Bagaimana dia, sebagai makhluk yang bermasyarakat, akan menjalani hidup tanpa bisa menaruh kepercayaan kepada orang lain?
Berpegang kepada tata bahasa Chomsky, saya ingin masuk ke fakta tentang bahasa pemerintah dan para politikus kita hari ini. Mula-mula sekali, mari kita urai berbagai kemungkinan ketika kita mendengar Sri Mulyani mengatakan, ”Pemimpin yang baik tidak akan mengorbankan anak buahnya.” Jika kita menyepakati Chomsky bahwa kalimat itu hanya menyampaikan struktur permukaan dan menyembunyikan realitas yang lebih besar pada struktur dalam, kita harus mencari tahu apa yang tersembunyi di dalamnya. Maksud saya, kalimat itu mengandung implikasi yang bisa sangat jauh -batasnya langit- karena detailnya diserahkan kepada imajinasi setiap orang yang mendengarnya.
Tanpa konteks apa pun, kalimat itu adalah sebuah truisme semata: sesuatu yang memang niscaya begitu dan nyaris tidak menawarkan makna apa-apa. Setiap orang bisa menyampaikan kalimat itu sama entengnya dengan menyatakan bahwa unta adalah hewan berpunuk atau kambing adalah binatang yang mengembik. Tetapi, kalimat itu terasa menawarkan makna baru atau menyimpan sesuatu yang pedih ketika kita mengaitkannya dengan kasus Century. Di situ beberapa waktu terakhir Sri Mulyani dijadikan bulan-bulanan dan sasaran tembak minimal ketika sasaran yang lebih besar gagal didapatkan.
Anda bisa menarik sendiri makna tersirat dari pernyataannya tersebut seberapa pun jauh Anda ingin menariknya. Dengan membuat pernyataan seperti itu, Sri Mulyani mungkin merasa sedang dikorbankan; atau ia memang telah dikorbankan; atau dia sedang menyampaikan, dalam konteks dirinya sebagai anak buah, bahwa pemimpinnya adalah orang yang tega mengorbankan dirinya; bahwa sebagai anak buah, dia telah menjalankan kebijakan sang pemimpin. Tetapi, ketika kebijakan itu bermasalah, dia dikorbankan.
Model penyelesaian masalah dalam kasus Century, tampaknya, memang sangat ajaib meskipun Anda bisa mudah menduganya. Sebuah ekuilibrium baru tiba-tiba tercipta dan sebuah institusi baru mak pecungul muncul begitu saja dengan nama sekretariat gabungan partai-partai koalisi dengan Ical mbaurekso di sana. Saya sejauh ini meyakini bahwa penyelesaian masalah, dalam politik maupun dalam kasus-kasus individual, senantiasa berjalan dengan logika yang sama. Ekspresi linguistik, kebijakan politik, dan pengambilan keputusan jelas memiliki hubungan dengan proses mental dalam diri seseorang. Semuanya beres ketika berjalan mengikuti logika yang bisa dipertanggungjawabkan.
Dalam hal keberesan logika itu, George Boole (1815-1864) -matematikawan Inggris perumus logika simbolik- bahkan merasa sedang memformulasikan hukum-hukum pemikiran dengan persamaan-persamaan yang dirinya buat -kita mengenalnya sebagai Logika Boolean. Prinsip dasar logika simbolik Boole bisa kita lihat pada contoh persamaan ”C=A dan B”; artinya, C benar jika dan hanya jika A maupun B benar. Dalam perkembangan lebih lanjut, Anda tahu, Logika Boolean menjadi dasar bagi bahasa pemrograman komputer, yang tidak lain adalah tiruan dari otak manusia.
Saya ingin menyampaikan bahwa dengan logika itu pulalah sesungguhnya kita memproses informasi dan menyelesaikan masalah, dalam berbagai bidang, sejauh kita meyakini bahwa penyelesaian masalah senantiasa berkaitan dengan penggunaan otak manusia. Politik, saya kira, tidak bisa melepaskan diri dari logika tersebut. Ketika ia berupaya mencari jalan sendiri yang menyempal dari keberesan logika, kita hanya akan mendapati situasi yang semakin karut-marut dan praktik-praktik maupun manuver yang bisa jadi akan memunculkan masalah-masalah baru.
Sekarang kita mendapatkan ilustrasi bagaimana dunia politik kita menyelesaikan kasus Century dengan penarikan mundur Sri Mulyani dan pembentukan sekretariat gabungan partai-partai koalisi. Tidak ada logika di sana dan terlalu banyak informasi penting yang disembunyikan dalam model penyelesaian yang seperti itu. Saya kira George Boole bisa terserang ayan jika diberi kesempatan hidup sekali lagi dan harus mengajarkan logika kepada para politikus di negeri ini. Terus terang, saya pesimistis bahwa negara ini -dengan logika yang meleset di kalangan para pemimpinnya- akan mampu berfungsi lebih optimal untuk memberi perhatian lebih baik kepada kepentingan warganya. Di sini yang kita hadapi adalah beres tidaknya akal para pengambil keputusan.
Masalah penting lainnya adalah apa sebenarnya yang menjadi fokus perhatian pemerintah (dan para politikus) negeri ini. ”Para politikus” saya tempatkan dalam tanda kurung karena saya menganggap sesungguhnya pertanyaan itu tidak layak diajukan kepada mereka. ”Saya sampai pada kesimpulan bahwa urusan politik terlalu berat untuk diserahkan hanya kepada para politikus,” kata Charles de Gaulle (1890-1970).
Saya agak sepakat dengan pernyataan pemimpin Prancis itu. Urusan politik, agaknya, memang terlalu berat bagi mereka, apalagi urusan negara dan seluruh warganya. Tetapi bagaimanapun, mereka cukup signifikan untuk dilihat sebagai pihak yang memperkeruh masalah. Ketika berbicara, mereka lebih sering menyampaikan sesuatu yang mengambang di tingkat permukaan.
Mereka menyodorkan sesuatu sembari mendistorsi serta menghapus kenyataan-kenyataan yang lebih penting. Anda harus mencari sendiri jika ingin tahu apa yang sebenarnya tengah berlangsung. Celakanya, ketika mencari, mengaudit performa pemerintahan dengan cara Anda sendiri, Anda pada titik tertentu tiba-tiba harus menghadapi segala tuduhan tentang pencemaran nama baik, fitnah, dan sebagainya.
Sekarang, sekiranya Anda mengumpamakan negara ini sebagai sosok yang sedang mengidap masalah fisik (mungkin flu atau kanker atau kaki gajah?) atau masalah psikologis yang menggerogoti kebugaran fisik, yang perlu Anda lakukan adalah membuat pasien ini memperoleh wawasan baru dan cara pandang yang lebih konstruktif sehingga ia bisa merespons situasi dengan perilaku yang tepat. Anda juga bisa melakukan shock therapy dengan memberinya kejutan sehingga cara berpikir lama yang mengakibatkan masalah demi masalah bisa digoyahkan dan pada saat itu cara pandang baru yang lebih sehat bisa ditawarkan.
Dalam keseharian, Anda tahu, sindiran adalah salah satu bentuk shock therapy. Sejujurnya, saya merasa sedang menerapkan itu ketika, misalnya, menyindir presiden dengan menulis bahwa ”Anda bisa mengorbankan Sri Mulyani atau Boediono, Pak Presiden, karena mereka tidak berpartai dan tidak akan ada yang akan ribut jika mereka dikorbankan.”
Saya justru menjadi shock ketika sindiran itu betul-betul dimakan dan dijalankan.
***
*) A.S. Laksana, beralamat di aslaksana@yahoo.com