Viky Dewayani
http://oase.kompas.com/
?Jadi kapan kita ketemu lagi, sayang?? Irfan berbisik mesra di telingaku.
?Atur aja. Aku ngikut jadwal kamu? jawabku menggantung.
Irfan memamerkan senyumnya. Dikecupnya pipi dan leherku lembut, sebelum aku beranjak keluar dari mobilnya. Kulambaikan tangan ketika mobil mewahnya melaju meninggalkanku, yang masih tercenung sendiri memandanginya.
Kuhela nafas. Panjang dan berat rasanya. Dadaku terasa sesak dijejali berbagai perasaan yang bercampur aduk seperti ini. Aku sungguh tidak mengerti mengapa aku tidak dapat merasakan kegembiraan yang sepenuhnya, selepas berkencan dengan Irfan. Padahal apa yang kurang diberikan Irfan kepadaku selama ini? Sikapnya selalu baik, santun dan penuh kasih. Irfanpun selalu royal memanjakan aku. Dia tidak pernah lupa menghujaniku dengan berbagai hadiah ini itu, disamping kesukaannya menyediakan berbagai fasilitas mewah untuk menyenangkanku.
Namun entah mengapa, semua terasa semu. Aku tidak pernah dapat menemukan gairah kesenangan sebagaimana saat-saat bersama Noldy dahulu. Tidak ada debar-debar kegembiraan. Tidak ada gelegak kerinduan yang meletup-letup bila ada di sampingnya. Semua terasa datar begitu saja.
***
Hari Minggu yang cerah. Matahari bersinar terang menawarkan keriaan melalui pendar-pendarnya. Tidak ada tanda-tanda akan datang awan kelabu.
Kuraih hapeku yang berdering nyaring memanggil.
?Selamat pagi. Udah bangun, sayang?? terdengar suara Irfan menyapa. Mesra seperti biasanya.
?Udah. Kamu dimana sekarang?? balasku berbasa-basi.
?Baru selesai main golf. Aku kepingin ngajak kamu jalan-jalan di sini. Ada restoran yang oke banget dekat tempat ini. Apa rencanamu hari ini, sayang?? Kupandangi wajahku di depan kaca. Kusut dan tidak beraturan. Semalaman aku tidak dapat memejamkan mata, padahal sudah belasan majalah kulalap, namun rasa kantuk itu tidak juga datang menghampiriku. Entah mengapa.
?Ehm, jam berapa itu?? tanyaku.
?Ya, kalau kamu oke, biar aku suruhan supirku berangkat sekarang menjemputmu, sementara aku mandi dan bersiap-siap?, jawab Irfan.
Aku tersentak mendengarnya. Oh, itu tidak mungkin! Dalam keadaan seperti saat ini, aku perlu waktu lebih dari satu jam untuk merapikan dan menyiapkan diri. Namun aku tidak mungkin mengatakan itu sejujurnya kepada Irfan.
?Kok ndadak banget. Aku pikir nanti sore-sorean. Siang ini aku udah janji, mau ngantar mama ke rumah Tante Irma?, jawabku buru-buru. Untunglah otakku sudah terlatih untuk menyiapkan berbagai alasan dengan cepat.
?Oh sayang sekali. Ya sudah enggak apa-apa. Lain kali saja kalau begitu. Sekarang aku boleh mandi dulu ya, sayang??
?Oke. Yang wangi ya?? bisikku.
?Iya dong. Tapi percuma, kamunya nggak bisa ke sini, nyiumin aku?, jawab Irfan dengan nada merajuk.
Aku tergelak pelan. ?Maafin aku ya??
?Oke, nggak apa kok. Nanti malam saja aku mampir ke rumah ya??
Kupencet tombol hapeku setelah Irfan mengucapkan salam perpisahan. Kutelungkupkan tubuhku dengan perasaan lelah yang menerjang. Kubenamkan kepala menghadap bantal merah jambuku.
Kupejamkan mata perlahan. Mengusir kegundahan yang melanda. Pikiranku melayang-layang merenungkan hubungan cintaku.
Hubunganku dengan Noldy, mantan kekasihku, sebelum dengan Irfan, yang telah berjalan selama dua tahun, tiba-tiba hancur berantakan tanpa pernah kuketahui penyebabnya. Noldy meninggalkanku begitu saja tanpa penjelasan apapun. Dia secara tiba-tiba berhenti menemui dan menghubungiku. Sungguh bukan sikap yang gentle, menurutku.
Tentu saja aku merasa sakit hati atas sikap Noldy itu. Aku hancur! Aku menganggapnya tidak menghargaiku sama sekali. Tidak memikirkan perasaanku sama sekali. Walaupun sedari awal saat menjalin hubungan dengannya, aku sudah menyadari bahwa statusnya yang sudah berkeluarga, suatu saat akan menimbulkan masalah bagi kelanggengan hubungan kami, namun ketika aku benar-benar mengalami ditinggalkannya, aku tidak siap. Apalagi dengan cara yang menyakitkan seperti itu.
Di saat kehancuran hatiku, secara kebetulan aku dipertemukan lagi dengan Irfan. Irfan merupakan tetanggaku semasa kecil dulu saat kami sama-sama tinggal di Bandung. Dari dulu Irfan sudah terang-terangan menyukaiku. Namun yang paling membuatku senang dan bersemangat adalah ketika mengetahui bahwa Irfan ternyata merupakan pemilik dan pemimpin perusahaan, tempat Noldy bekerja.
Saat itu aku merasa menang telak dapat membalaskan rasa sakit hatiku kepada Noldy, karena aku yakin bila Noldy mengetahui hubunganku dengan Irfan, dia pasti akan merasa terganggu dan tidak nyaman. Tebakanku benar! Entah suatu kebetulan belaka atau memang seperti yang kukira, Noldy akhirnya memilih keluar dan mengundurkan diri dari perusahaan itu.
Di awal hubunganku dengan Irfan, aku seolah merasa menjadi seorang wanita yang paling beruntung. Irfan bagaikan anugerah terindah yang dikirimkan untukku.
Bayangkan saja, di tengah keterpurukanku akibat ditinggalkan oleh Noldy, Irfan hadir menggapai tanganku. Mengangkatku lembut dari kubangan lumpur derita. Menawarkan cintanya yang tulus dan meluap-luap.
Aku sungguh-sungguh merasa menjadi wanita paling sempurna dan beruntung sekali dapat memiliki hati Irfan dengan sepenuhnya. Tanpa harus berbagi dengan siapapun.
Apalagi Irfan benar-benar merupakan sosok lelaki yang memiliki kesempurnaan ragawi. Wajahnya tampan, dengan sepasang mata tajam yang begitu menawan. Tulang rahangnya tampak kokoh dan indah, masih ditambahi dengan keistimewaan sebentuk senyumnya yang simpatik. Keindahan wajahnya ditunjang pula oleh postur tubuhnya yang tinggi atletis, dengan dada bidang dan tulang lengan yang kekar. Indah dan nyaris sempurna! Tidak hanya keindahan fisik saja. Irfanpun dikaruniai otak yang cemerlang dan secara materi hidupnya lebih dari berkecukupan.
Dalam berbagai hal, Irfan memang mengungguli Noldy. Bila dibandingkan, wajah Irfan jauh lebih tampan daripada Noldy. Kulitnyapun bersih dan terjaga dengan baik.
Makanya, saat itu aku berpikir bahwa kesempurnaan dan kelebihan fisik Irfan dibandingkan Noldy, akan dapat mempermudah hatiku berpaling keluar dari kedalaman lautan cintaku dengan Noldy yang penuh riak-riak dan gejolak. Namun kenyataan tidaklah demikian.
Aku masih saja kesulitan menghapuskan bayang-bayang Noldy dari hatiku. Noldy dengan segala keterbatasan fisik dan materinya dibandingkan Irfan, justru mampu menyedot lebih banyak gairah cintaku. Noldy tidak pernah menghujaniku dengan hadiah-hadiah mewah, namun dia selalu hadir dengan kejutan-kejutan cinta dan perhatian yang menyenangkan.
Noldy tidak pernah tampil necis dan mewah dalam berpakaian. Noldy dengan rambut ikalnya yang dipotong pendek dan dibiarkan begitu saja, luput dari lumuran gel-gel yang berbau wangi. Noldy dengan kulit yang kecoklatan dan perut yang sedikit membuncit. Noldy tidak pernah muncul dengan semprotan wewangian berharga jutaan, namun aroma segar dari after shave lotion yang dipakainya, justru mampu menyulut gairahku untuk ingin selalu memeluk dan menciuminya.
Saat-saat kebersamaanku bersama Noldy, aku selalu merasa nyaman dan damai. Aku selalu tampil menjadi diriku sendiri. Apa adanya. Aku tidak pernah merasa perlu untuk berdandan berlebihan untuk menarik perhatiannya. Noldy mengagumi apa yang ada pada diriku sebagaimana adanya. Hal itu yang selalu diungkapkannya. Noldy selalu penuh dengan puja puji akan kondisi fisikku. Dia menyukai wajahku, yang menurutnya manis dan tidak membosankan. Diapun memuja mataku yang dikatakannya indah menawan. Dia mengagumi tubuhku yang mungil dan langsing. Dia menyukai aroma tubuhku yang menurutnya, membuatnya horny. Dan yang paling utama, Noldy menikmati bercinta denganku. Menikmati setiap detik saat-saat intim mereguk kebahagiaan bersamaku. Ketika bersama Noldy, aku memperoleh kepercayaan diri yang besar. Tiada kebangggaan dan kebahagiaan bagiku ketika berada dalam ruang dan waktu yang mengantarkannya mencapai puncak kenikmatan duniawi. Semua terasa begitu sempurna dan membuat kami selalu ingin dan ingin mereguknya kembali. Sampai pada saat yang menyakitkan itu? Kala Noldy menghilang dan tidak lagi menemuiku.
Tanpa penjelasan apapun. Meninggalkanku bergelung dalam kesunyian hati.
Kuhembuskan nafas dengan berat. Dadaku terasa penuh disesaki kerinduanku kepada Noldy. Aneh sekali! Seharusnya aku merasa sakit hati terhadapnya. Seharusnya pandangan buruklah yang melekat pada sosoknya. Namun herannya, mengapa justru bayang-bayang dan kenangan akan kemesraanku dengannya yang selalu menghantuiku.
Dengan Irfan, aku sepertinya tidak dapat merasakan kegairahan yang sama. Yang ada, aku justru sering kali merasa minder dengan kesempurnaan yang dimilikinya, yang akhirnya terkadang menjadikanku kehilangan kepercayaan diri. Aku sampai merasa perlu waktu berjam-jam menyiapkan diri bila akan pergi berkencan dengannya. Jadi tidak pernah ada kejutan pertemuan dengannya. Semua selalu terjadi dengan perencanaan sebelumnya.
Aku ingin kelihatan sempurna di matanya. Mengimbangi kesempurnaan raganya. Irfan memang tidak pernah menyela atau merendahkan keadaan fisikku. Diapun tidak pernah menuntutku untuk tampil seperti si ini atau si itu. Namun Irfanpun tidak pernah memuji atau menyatakan kekagumannya pada penampilanku. Tidak ada bagian tubuhku yang mampu membuat matanya berbinar penuh kekaguman bila menatapnya.
Irfan sangat matang mengontrol emosi dirinya. Sikapnya sangat terjaga baik. Dia tidak pernah bicara keras. Merutuk atau memaki pengendara motor yang menyalip mobilnya dengan seenaknya. Diapun tidak pernah tertawa terbahak-bahak bila ada sesuatu yang menurutnya lucu. Segalanya terasa datar.
Irfan juga bukan seorang yang terbuka dan bicara apa adanya. Dia seperti ingin menjaga perasaan lawan bicaranya. Terlalu santun. Aku harus banyak memperhatikan apa yang sepertinya disukai atau justru tidak disukainya, untuk mendapatkan figur yang lengkap mengenai dirinya. Tidaklah mudah, dan terkadang malah terasa melelahkan.
***
Sudah beberapa hari ini hapeku tidak berdering. Terasa sepi. Hape ini memang khusus untuk berkomunikasi dengan Irfan. Irfan sedang bertugas di luar negeri. Perbedaan waktu tempat kami berada, akhirnya membuat komunikasi kami hanya dilakukan dengan pesan-pesan tertulis saja. SMS, email atau BBM. Yang penting, semua bisa mewakili pesan rindu yang dirasakan.
Aku baru saja mengirimkan balasan atas pesan yang dikirimkan Irfan kemarin. Saat BBM darinya dikirimkan, BlackBerryku justru sedang kumatikan. Kebiasaanku kalau malam.
Aku tidak berharap mendapatkan jawaban langsung dari Irfan, karenanya kusimpan BB di dalam tas. Namun ketika tiba-tiba terdengar bunyi notifikasi, akupun tergerak memeriksanya. Penasaran.
Mataku terbelalak ketika membuka pesan yang kuterima. Bukan dari Irfan, seperti yang kuduga. Tetapi dari Noldy!
?Apa kabar, cantik? Aku kangen kamu nih!?
Kukucek mataku berkali-kali, untuk meyakinkan bahwa aku tidak sedang salah baca. Angin apa yang tiba-tiba menyambarnya sampai dia jadi menghubungiku lagi? Batinku bertanya-tanya keheranan.
Aku tercenung sesaat. Kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Di satu sisi, hatiku menjerit-jerit kegirangan menerima pesan dari Noldy. Luapan kerinduan menghentak-hentak keras dinding hatiku. Apalagi saat aku sedang sendirian seperti sekarang ini.
Namun sisi hatiku yang lain, memekik kesal. Setelah berbulan-bulan menghilang dari peredaran, kini seenaknya saja dia ingin kembali lagi padaku. Emangnya dipikirnya aku ini apa?
Namun pada akhirnya, gejolak rinduku jauh lebih kuat membahana dibandingkan logika akal sehatku yang hanya bisa mengomel mengkal. Maka kubalas pesannya. Noldypun membalas lagi. Penuh dengan luapan gairah rindu yang menggelinjang liar.
Pesan-pesan cinta kami kemudian disudahi dengan pertemuan. Dinding-dinding kamar yang membisu, menjadi saksi pertautan hati yang tidak mampu lagi meredam kerinduan. Aku tidak lagi perduli apa yang akan terjadi esok hari. Yang kutau dan kumau hanya menikmati indahnya kasih kami yang berpadu mesra dan dipenuhi bilur-bilur kehangatan. Saat ini.
***