Kholis Badawi
http://suaramerdeka.com/
BELUM banyak sarjana hukum di Tanah Air yang melakukan ijtihad untuk mengawinkan ilmu hukum dengan cabang ilmu sosial lain. Salah satu titik awal terobosan itu dimulai oleh almarhum Prof. Satjipto Rahardjo, guru besar para sarjana. Sebagaimana pengakuan Prof Moh Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi, ijtihad Pak Tjip yang membuka jalur interkoneksi ilmu hukum dengan sosiologi, telah menginspirasi dirinya untuk meneruskan pembaruan tersebut dengan mengawinkan ilmu hukum dengan ilmu politik.
Sementara buku yang ada di hadapan pembaca ini adalah perkawinan indah antara hukum dengan filsafat. Inilah lompatan berikutnya setelah para seniornya melakukan terobosan-terobosan penting dalam membongkar kejumudan ilmu hukum. Penulisnya adalah doktor muda yang juga hasil sentuhan akademis Pak Tjip. Anthon memang berbeda dari kebanyakan sarjana hukum yang lain. Pengembaraan intelektualnya yang mengakrabkannya dengan hermeneutika dekonstruksi Derrida, memberikan semangat keberaniannya untuk membongkar paradigma hukum yang positivistik.
??Ilmu hukum nonsistematik? yang menjadi judul buku ini merupakan disertasi penulisnya yang telah dipertahankan di depan sidang terbuka Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Satu visi penting dari penulisnya adalah melawan hegemoni dan dominasi paradigma Cartesian-Newtonian (positivisme ilmu-positivisme hukum). Anthon meyakini bahwa ilmu hukum nonsistematik yang memberikan fondasi filsafat akan menjadi wacana alternatif bagi kondisi keterpurukan dan pencapaian titik jenuh dari paradigma mapan dalam ilmu hukum di Indonesia, khususnya positivisme hukum.
Positivisme Hukum
Positivisme hukum yang berkarakteristik reduksionis, telah menjauhkan substansi hukum dari cita-cita keadilan. Pandangan-pandangan yang reduksionis dapat dilihat dari pendapat Hans Kelsen, hukum hanya direduksi hanya menjadi teks yang dipositifkan. Atau oleh Austin, hukum hanya dilihat sebagai sebuah perintah yang hanya bisa dibuat oleh mereka yang memiliki otoritas atau superioritas tertentu. Positivisme hukum yang juga berkarakter mekanistis, hanya memahami hukum sebagai bentuk hirarki aturan perundang-undangan atau juga perilaku masyarakat. Hukum selalu dilihat sebagai mesin yang terdiri dari banyak komponen. Komponen tersebut bekerja secara mekanistik dan deterministik (halaman 88).
Beberapa kritik yang dilancarkan penulis terhadap teori hukum murni Hans Kelsen, menunjukkan bahwa ada masalah dalam positivisme hukum yang menganut sistem hukum yang tertutup. Dalam konteks ini, Hans Kelsen dengan teori hukum murninya adalah contoh paling ekstrem dari sistem yang bersifat tertutup ini. Karakter hukum yang tertutup inilah yang mengantarkan pada kehancuran sistem sosial masyarakat, karena hukum sudah kehilangan ruhnya sebagai tempat berlindung bagi rakyat kecil yang tidak memiliki akses keadilan. Pada akhirnya, pisau hukum menjadi tumpul ketika menghadapi perkara yang dilakukan elite, sementara pisau hukum berubah tajam ketika berhadapan dengan kawula alit. Anomali-anomali dari teeori tersebut terbukti dalam kasus Minah yang di penjara hanya mencuri tiga biji kakao, sementara kasus mafia pajak, makelar kasus, korupsi di Senayan dan Istana tak pernah tersentuh.
Untuk menjebol kungkungan dominatif positivisme hukum, maka dekonstruksi dapat dipakai sebagai salah satu metode penafsiran hukum. Dekonstruksi dalam hukum adalah strategi pembalikan untuk membantu melihat makna yang tersembunyi, yang terkadang diistimewakan melalui sejarah. Penulis mencontohkan misalnya doktrin-doktrin hukum yang sudah mapan cenderung diterima apa adanya. Dekonstruksi dalam hukum tidak ain bertujuan untuk menolak rezim semantik yang menguasai peristilahan hukum. Selain itu juga bertujuan untuk mengumpulkan kembali hal-hal yang terlupakan dan tersingkirkan dalam setiap penafsiran hukum. Dekonstruksi pada dasarnya adalah sebuah proses decoding yang tiada henti atas teks dan realitas. Dalam proses decoding tersebut maka makna sosio-kultural-kontekstual akan terangkat ke permukaan (halaman 272).
Dekonstruksi
Contoh dekonstruksi dapat dilihat misalnya dengan dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung dalam perkara Pilkada Depok beberapa tahun lalu. Contoh terbaru misalnya dalam kasus Bibit-Chandra, yang penyelesaian hukumnya tidak sebagaimana sesuai dengan sistematika teratur dengan prosedur undang-undang. Namun bisa diselesaikan melalui jalur di luar prosedur tatanan aturan, tatanan otoritas yang ada. Ternyata karakter formal yang lebih mengutamakan kepastian tidak mampu membendung realitas kekuatan masyarakat, sehingga pada kasus tersebut presiden harus mengambil jeda atau markah dengan membentuk tim delapan untuk merespons nilai-nilai keadilan di luar tatanan hukum formal. Demikian pula dalam kasus Minah, seharusnya dekontsruksi berperan untuk menghadirkan rasa keadilan daripada menuruti aturan hukum formal yang tidak mampu menyuarakan keadilan dalam perkembangan kasus-kasus yang multi-interrelasi, banyak dipengaruhi faktor sosiologis-kultural dan politis.
Di balik kegagahan filsafat hermeneutika dekontsruksi yang diterapkan dalam hukum, tentu juga menyimpan ketidakberdayaan, dalam kasus-kasus tertentu. Artinya bahwa dekonstruksi tetap harus memberikan penghargaan setinggi-tingginya terhadap norma hukum klasik, dengan segala kelemahannya. Dekonstruksi, termasuk dekonstruksi hukum seperti yang digagas oleh Anthon F Susanto, semoga bukan hanya sebatas membongkar, menggulingkan dan menjebol positivisme hukum, namun harus menawarkan kembali norma baru yang lebih ideal, dalam rangka mewujudkan cita-cita hukum yang bermuara pada nilai-nilai keadilan.