Saroni Asikin
http://suaramerdeka.com/
Anda yang perokok, pasti sering mendengar kalimat ini, ?Pinjam korek apinya, dong.? Tak ada yang salah dalam kalimat itu, bukan? Tapi kalau kita mau berpikir spektis, lebih-lebih mempertimbangkan logika kebahasaannya, ada kesalahan mendasar pada kalimat sederhana itu.
?Meminjam? tentu berbeda dengan ?meminta?. Seseorang yang meminjam sesuatu wajib mengembalikannya secara utuh. Sebaliknya, meminta tak membuat si peminta wajib mengembalikan, bahkan yang diminta sudah jadi hak si peminta. Jadi, kembali pada kalimat di atas, korek api yang dipinjam harus dikembalikan secara utuh. Padahal, korek api yang dikembalikan pasti tak utuh lagi, tinggal lidi atau gas yang berkurang.
Ambil contoh lain, pernahkah Anda mendengar orang bicara begini: ?Sungai ini kalau musim kemarau airnya mengering dalam waktu lama.? Apanya yang salah dalam kalimat itu? Cermati frase ?airnya mengering?. Air tak pernah mengering. Dalam situasi dan tempat apa pun, air selalu basah. Yang dimaksud dalam kalimat itu adalah sungai yang mengering.
Hal-hal seperti itulah yang didedah dalam buku berformat buku saku ini, yang oleh kedua penulisnya, Dr Maufur dan Adi Ekopriyono, adalah kesalahkaprahan. Dan apa yang ditulis bukan hal yang omong kosong melainkan benar-benar terjadi dan dihidupkan dalam perilaku sehari-hari. Yang menarik, tulisan-tulisan pendek (dan menyerupai bentuk kolom kalau di koran atau majalah), memokuskan diri pada persoalan yang kelihatannya remeh-temeh tapi sebenarnya berefek besar pada pola pikir dan pola tindakan kita.
Diakui atau tidak, tak banyak penulis yang mau memokuskan tulisannya pada hal-hal yang ?tampak? sepele seperti kedua penulis buku ini. Umumnya, penulis lebih suka memfokuskan diri pada hal-hal yang besar.
Wajar saja, kelirumolog Jaya Suprana menyambut baik penerbitan buku ini, yang salah satu bentuk apresiasinya adalah dengan memberikan penghargaan dari Pusat Studi Kelirumologi yang dia pimpin.
Alasannya, banyak kekeliruan yang berkelindan dalam kehidupan masyarakat tanpa mereka menyadarinya sebagai kekeliruan patut diangkat ke permukaan kesadaran seperti yang dilakukan buku ini. Dan itu masuk ke dalam ranah kelimurogi.
?Pengangkatan ke permukaan kesadaran merupakan upaya sangat penting dalam telaah kelirumologi, sebab kekeliruan yang paling parah adalah yang sudah telanjur mengaprah, yaitu kekeliruan yang tidak disadari,? tulis Jaya Suprana dalam pengantar.
Keliru Kaprah
Menariknya, Jaya Suprana juga mengungkapkan bahwa istilah ?salah kaprah? itu juga tidak tepat. Menurut dia, yang tepat adalah ?keliru kaprah?. Menurut dia, sesuatu yang salah tidak bisa diperbedatkan lagi. Contohnya, seorang hakim memvonis terdakwa dengan ?bersalah? bukan ?berkeliru?. Jadi, penggunaan istilah ?salah kaprah? adalah juga sebentuk kekeliruan yang sudah mengaprah.
Dalam tulisan pengantarnya, kedua penulis mengungkapkan penghormatan atas koreksi Jaya Suprana itu sembari menyebutkan bahwa istilah yang diambil sebagai judul, sudah diakui dalam beberapa kamus.
Di luar itu, membaca semua tulisan pada buku ini, kita barangkali bisa mengambil simpulan, bahwa kedua penulisnya adalah orang yang skeptis. Sikap skeptisisme ini adalah sikap yang memandang atau menguraikan sesuatu sampai ke akar-akarnya. Sikap ini membawa seseorang bisa berpikir secara logis. Lebih berterima lagi karena semua tulisan disampaikan dengan gaya ringan, banal, dan penuh sense of humor yang asyik dinikmati. Pilihan jenis sketsa (penggalan peristiwa) keseharian menjadikan pembaca tidak perlu mengernyitkan kening saat membacanya.
Contoh ?rasa humor? dijumpai saat penulis mengurai kesalahkaprahan (kekelirukaprahan?) pada ungkapan ?meninggal dengan tenang.? Ini ungkapan yang sudah sering kita jumpai ketika seseorang mengabarkan kematian. Bagi kedua penulisnya, ungkapan itu kurang pas. Tapi untuk mengoreksinya, penulis cukup mengakhiri tulisannya dengan kalimat-kalimat, ?Apakah kamu mengharap ia meninggal dunia dengan jelalatan, kemudian malamnya bersilaturahmi ke rumahmu/ Begitu?? (hal.55).
Begitu juga, sasaran ?sentilan? tak cuma perilaku berbahasa orang kebanyakan. Kalangan jurnalis yang seyogianya menjadi salah satu pilar penjaga komunikasi yang logis, juga menjadi sasaran sentilan itu dalam beberapa tulisan yang ada. Misalnya, istilah TKP (tempat kejadian perkara) yang pleonastis karena sebenarnya cukup ditulis tempat kejadian atau tempat perkara. Atau sebuah sketsa yang membahas tulisan wartawan yang menyebut ?jenazah yang meninggal? adalah kesalahkaprahan. Sebab, jenazah sudah pasti meninggal.
Buku ini menarik dibaca. Kita hanya perlu menyiapkan diri untuk garuk-garuk kepala sembari tersenyum kecil ketika sadar bahwa kita sering keliru dalam berpikir dan bertindak. Kita sering melakukan kesalahkaprahan. Tapi jangan lupa, setelah membacanya, kita menyiapkan diri untuk mengoreksi semua kesalahkaprahan itu. Sebab, buku ini adalah catatan ringan untuk membuka kesadaran kita.
Judul: Salah Kaprah: Rancu Pikiran, Rancu Tindakan
Penulis: Dr Maufur dan Adi Ekopriyono
Penerbit: Delokomotif, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, April 2010
Tebal: 336 halaman