Adib Muttaqin Asfar
http://edisicetak.solopos.com/
Tahun 2007 telah menjadi tahun berharga bagi pemuda asal Kebonagung, Tasikmadu, Karanganyar ini. Lima tahun bekerja di Pabrik Gula Tasikmadu bukanlah waktu yang pendek. Namun masa lima tahun itu tidak mampu mengingkari kata hatinya yang ingin hidup total dalam dunia menulis.
Maka pada tahun tersebut, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya. Keputusan pemuda bernama Andri Saptono itu tampaknya tidak sia-sia. Baginya jauh lebih nyaman bergabung dengan Himpunan Pengarang Karanganyar (HPK) dibandingkan terus menerus di dalam pabrik gula.
“Sebenarnya saya sudah menulis sejak lulus tahun 2001 lalu. Namun sebelumnya banyak yang hanya dibaca sendiri. Baru setelah keluar dari pabrik saya bisa total menulis,” katanya.
Pendidikan formalnya jauh dari dunia menulis, yaitu Teknik Mesin sebuah SMK di Karanganyar. Namun karena kegemarannya bergelut dalam dunia buku sastra, menulis pun menjadi pilihan hidupnya. Debut “profesionalnya” dimulai dengan menulis sejumlah cerpen yang dibukukan dalam sebuah antologi cerpen oleh Pawon Sastra. Hal itu berlanjut dengan diterbitkannya sebuah buku berjudul Harakiri pada Januari 2010 yang merupakan kemasan sastra dari kisah nyata di Jepang. Dalam waktu dekat, buku keduanya juga akan segera diterbitkan dengan judul Mitologi China.
Andri adalah satu dari sedikit orang yang memutuskan diri untuk menempuh jalan hidup dengan menulis. Ada anggapan menyatakan, banyak orang yang takut menjadi penulis, karena dianggap tidak menjanjikan. Anggapan tersebut terdengar wajar mengingat tak ada yang menjamin hidup seorang penulis.
“Itu jadinya kalau menulis dianggap sebagai profesi. Akibatnya orang akan mengukur menulis dengan hasil materi,” ujar Bandung Mawardi. Padahal menurut pria berambut ikal ini, dunia menulis tak serta-merta hanya diukur secara lahiriah, namun ada kepuasan batin saat sebuah karya dapat dibaca oleh banyak orang.
Menurutnya, untuk jadi penulis, orang tidak bisa mata duiten karena ada sakralitas dalam menulis. Sakralitas itu berwujud keinginan untuk memberi pada orang lain berupa pengetahuan, kritik, renungan hingga lelucon dalam bentuk kata-kata. Maka dia pun menyayangkan ketika dunia menulis lebih banyak dipandang dari sudut bisnis ketimbang sakralitasnya. Alhasil, kini banyak orang yang takut untuk total di dunia tulis-menulis.
Optimisme
Afifah Afra yang telah menelorkan puluhan novel dan cerpen pun mengakuinya. “Dunia menulis itu sebenarnya panggilan hati dan yang dicari adalah kepuasan intelektual. Jadi ini memang tidak bisa disamakan dengan dunia profesional,” katanya. Tidak bisa dipungkiri, jaminan finansial adalah pertimbangan utama banyak orang untuk menekuni sesuatu. Afifah pun mengakui bahwa seorang penulis seperti dirinya pun perlu kekuatan finansial untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun menurutnya uang jangan dijadikan tujuan saat seseorang sedang memproduksi sebuah karya.
Di balik idealisme tersebut, bukan berarti menulis identik dengan anggapan hidup yang minim. Bisa dibilang, anggapan tersebut hanya dalam pandangan sebagian orang yang jauh dari kenyataan sesungguhnya. Selama karya-karya tulis masih dibutuhkan orang dan selama minat baca masyarakat belum punah, maka kesempatan itu tetap ada.
“Untuk total menulis itu butuh pertaruhan besar dan harus berani gagal,” kata Yudhi Herwibowo. Namun penulis yang dulu terkenal dengan cerpen-cerpen remajanya ini mengakui ada banyak kesempatan bagi seorang penulis untuk meraih banyak hal, termasuk pendapatan. Yudhi adalah salah satu penulis yang optimistis dengan masa depan para penulis.
Berdasarkan pengalamannya, seseorang bisa totalitas menulis asalkan tekun dan pantang menyerah. Untuk menumbuhkannya, mau tidak mau seorang penulis harus terus membaca. Jika tak ada proses membaca, mustahil bagi seseorang untuk bisa terus menulis.
“Semua tulisan saya adalah hasil dari proses membaca,” lanjutnya.