Kunthi Hastorini
http://www.sinarharapan.co.id/
Perempuan berkerudung malam. Dalam-dalam separuh ruhnya terembus perlahan dalam semilir dingin malam. Kelam mencumbui kurus kering tubuhnya yang setengah telanjang. Berjalan dia mengutuki sunyi.
Tenggelam barisan jejak tak pasti ditanggalkan. Di sudut kota, ia meringkuk sendiri. Ada isak tertahan menggema di sudut ruang. Ada serpihan darah tercecer di tubuhnya yang setengah telanjang.
Basah. Matanya basah terbaca sinar bulan perlahan datang. Menyisir peristiwa rahasia perempuan berdiri. Teriak mencekik lehernya, ?biadab!!!!?. Dan, dalam hitungan detik ia pun limbung jatuh tersungkur mencium aspal yang kerontang.
Malam masih pun kelam Perempuan, di sudut kota, diam tak bersuara.
***
Tiga tahun kemudian.
Gaduh suara orang pasar memekak telinga. Seorang gadis berjilbab putih tengah sibuk menawar buah apel segar. Tak lama, ia pun membawa sebungkus buah apel itu. Seulas senyum puas terbaca dari bibirnya. Agaknya ia berhasil mencapai kesepakatan dengan si penjual dengan harga yang diinginkannya.
Terhenyak ia, tiba-tiba sebuah colekan mendarat di bahunya. Bingung bercampur takut merambati bilik hatinya. Seorang perempuan berperawakan kumal tersenyum-senyum padanya, ?Mbaknya cantik deh, minta duitnya dong!? ujarnya sambil menggaruk-garuk rambutnya.
Gadis berjilbab itu terkesiap dengan tanya di kepala, ?Siapa dia??. Namun, sebuah teriak mengusik, ?Re !!!?, kiranya perempuan tengah baya menunggunya di pintu mobilnya.
Re memandang sekali lagi ke arah perempuan itu sekilas. Perempuan yang masih senyum-senyum dengan garukan dikepalanya. ? Ayo dong!!!? rengeknya.
Re menggeleng dan melangkah pergi. Perempuan kumal itu masih tersenyum-senyum sendiri. Perempuan kumal di tengah pasar mengoceh sendiri. Dari balik jendela mobil, baru Re menyadari perut perempuan itu besar. Dia bunting!.
***
Terik menghardik.
Perempuan bunting terseok-seok di atas trotoar yang garang. Gaduh sekitar tak satukan ruhnya yang kerontang. Sunyi mengaliri darahnya. Lapar menggiris perutnya. Ke mana arah tuju, bahkan ia tak tahu. Dari mana ia, ia pun bertanya-tanya. Tiba-tiba saja ia telah diusir oleh pemilik warung yang dimintainya sesuap nasi. Dirabanya perutnya, ach! betapa beban itu semakin menjadi.
Menelusur ingatan di suatu ketika rahasia, mengejang seketika mampir pada satu malam kelam. Wajah-wajah tak dikenal berbaris. Wajah-wajah tak dikenal berceletoh dan tertawa serupa setan. Dan dia?
Seorang perempuan menjerit, meronta, mencakar-cakar udara. Serupa setan pula ia berteriak, ?Biadab!!!!?. Dan lengking tawa itu semakin menjadi.
?Diam!!!? hardik seorang perempuan tinggi besar, ?Apa-apaan kau ini??
Perempuan bunting memandang perempuan garang di hadapannya tak mengerti. Apa yang terjadi? ?Siapa perempuan ini?? rintihnya.
?Pergi!? usirnya.
Perempuan bunting menatap perempuan garang sekali lagi. Ia pun pergi menyusuri terik yang terasa kian menghardik.
***
Di waktu yang sama, di tempat yang berbeda.
Seorang gadis berjilbab putih tengah asyik membolak-balik album fotonya. Sesekali tersungging senyum dari bibir tipisnya. Masa lalu yang tiba-tiba bermain-main di benaknya. Pada tawa lucu si gendut Mutia. Pada nyengir malu-malu si gigis Raka. Pada tangis Ani yang tidak dikasih uang jajan oleh ibunya. Semua terangkum dibenak gadis bernama Re itu. Sedesah bibirnya berucap, ?Ke manakah kalian kini berada, sahabat-sahabat kecilku? Telah jadi apakah kalian kini? Adakah hidup telah membuatmu menjadi apa yang kau cita-citakan?
Teringat pada sebuah pertemuan dengan Ragil waktu itu. Lelaki yang dulunya suka ingusan itu, kini telah jadi pebisnis. Dengan bangga diceritakannya pengalamannya. Re tahu, Ragil bukan dari keluarga kaya, tapi dia seorang anak yang cerdas. Waktu SD dulu ia selalu juara kelas. Sungguh, Re tak heran jika bocah yang suka ingusan itu kini jadi pebisnis yang sukses.
?Alhamdulillah,? desah Re memandang gambar bocah kecil dengan ingus di bawah hidungnya.
Tiba-tiba pandangan Re tertancap pada sosok kecil di sudut album. Gambar seorang gadis cilik tengah tersenyum manis. Siapa ya namanya?. Menelusur ingatan Re pada gadis itu.
Yup! Re ingat. Nama gadis kecil itu Dara. Gadis kecil yang lincah dan lugu, tapi juga cerdas. Kalau tak salah, dulu Ragil hobi sekali menggoda Dara. Dara yang sok jual mahal jika dirayu dengan sebatang coklat oleh Ragil. Katanya sih, Ragil naksir Dara. Bahkan Re pernah dengar Ragil pernah bilang, ?kalau udah besar, mau nggak jadi istriku??
Re terkekeh tertahan. Duh! Di mana sekarang Dara berada ya? Pasti dia telah tumbuh jadi gadis cantik dan menarik. Pasti dia jadi idola. Banyak lelaki bakal melirik dan berusaha merebut perhatiannya.
Dara…Dara…Dara…
***
Senja telah turun dari peraduannya. Perempuan berjalan terseok-seok ke tepi kota yang mulai reda. Letih mukanya tersiram gerimis hujan. Berteduh ia di sebuah halte yang sepi.
Lapar mencabik-cabik perutnya yang bunting. Mulutnya kering berceloteh tak beraturan. Bicara apa? Tak jelas!. Diusap-usap perutnya bunting perlahan. Diam-diam tersungging senyum dari bibirnya. Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang cantik dan lincah bermain-main air hujan di hadapannya. Berlarian bolak-balik menggodanya. Lincah sekali gadis itu. Ingin dipanggilnya, tapi seakan bibirnya terkunci.
Gadis kecil itu tertawa di bawah guyur hujan menderas. Berputaran menari-nari. Basah kuyup tubuhnya seolah tak rasakan dingin.
?Ibu! Ibu!? celotehnya riang.
Seorang perempuan tua tiba-tiba muncul tak tahu dari mana. Mendekap tubuh kuyup gadis kecil penuh sayang.
?Sudah Ibu bilang, jangan main air hujan! Nanti sakit, sayang!? ujar perempuan itu sambil mencium gerai rambut gadis kecil mesra.
Gadis kecil tertawa tatkala tubuh mungilnya digendong dan dibawa pergi. Pergi dari hadapan perempuan bunting. Ada yang hilang dari bayang. Tinggal hampa menghimpit dada perempuan bunting. Ke mana perginya gadis kecil itu?
Kosong merambati pembuluh napasnya. Dihirupnya udara sekuat tenaga. Seakan meminta cerita itu kembali. Tak! Diam selimutkan karam. Namun ada yang menjerit tiba-tiba, ?Jangan pergi!!!!?
Udara memanas gerah meresah. Kilat menyambar-nyambar marah. Tangis kian menggiris. Menyelinap dekap pekat. Berhenti!
Tawa mengangkasa udara tiba-tiba. Kembali gadis kecil menari-nari di bawah guyur hujan. Terkekeh dia riang berkejaran, entah dengan apa atau siapa. Perempuan bunting pun tertawa. Bahagia menelusup batinnya. ?Gadis kecilku…..,? bisiknya pada udara.
Mungkin masa mengambang cerita. Tatkala perlahan sebuah perubahan terjadi, tubuh mungil itu menunjukkan keajaibannya. Puting kecilnya tiba-tiba merekah indah. Pinggulnya membesar layak gitar yang dipetik tangan-tangan misteri. Semampai menjulang bak tarian tak henti dinyanyikan alam. Kaki mungil itu pun memanjang membentuk lekuk-lekuknya. Sampai di pelupuk, matanya bercahaya. Pancarkan jelita tak terjamah dusta. Hidung menjulang di antara tulang pipinya yang ranum dan matang. Bibir tipisnya merekah merah darah. Seulas senyum tergaris manis.
Perempuan bunting terpana. Serupa dirinyakah dia? Perlahan ditelusuri tubuh yang dibawanya sekian masa. Hitam legam kulitnya terbakar matahari. Kurus kering bak tulang tak berdaging. Dirabanya payudaranya, hanya seonggok daging dirasanya menggantung. Dan perut besar serupa balon diremasnya seketika. Wajah-wajah tiba-tiba datang….tertawa memuakkan laksana setan. Wajah-wajah penuh syahwat terbakar! Mengapi-api pelupuk perempuan ketakutan.
?Biadaaaaaaab!? makinya
Terpenggal kata dimulut selintas wajah mesum itu, ?Ayolah Dara, manisku…,?
Dara…Dara…Dara….
***
Perempuan berkerudung malam. Melintasi kejemuan waktu tak berkesudahan, sedang arah tak tahu ke mana tuju. Pulang? Pulang ke mana bahkan ia tak tahu. Yang diingat hanya sebuah rumah kecil dipinggir kali. Rumah yang menyimpan wajah sedih perempuan tua mengusap gerai rambutnya. Yang diingat wajah marah lelaki tua memegangi kepalanya. Yang diingat malu menusuk keperempuannya yang terampas…terhempas! Yang diingat hanyalah lintasan peristiwa trauma langkahnya berlari. Jauh…jauhi rumah dipinggir kali.
?Tak ingin aibku membebanimu, Bu,? bisiknya pada udara yang diam-diam mengikutinya. Sebisik malam selendangkan pejam perempuan.
Dari sebuah ujung yang lain, seorang gadis berjilbab putih melangkah terburu. Ada yang tercecer diotaknya. Agenda yang harus dituntaskannya di kampus telah pun usai, tapi tak dengan pikirannya. Karena menurutnya hasil yang ia dapat tak sesuai dengan targetnya.
?Ach…sudahlah! Mungkin inilah yang terbaik untukku!? gumamnya pada diri sendiri.
Bruk! Sebuah benda asing dirasanya menghalangi jalannya. Tertegun ia tatkala menyadari, kakinya telah menubruk setubuh perempuan berbusana hitam kumal. Jantungnya semakin berdegup kencang tatkala wajah perempuan itu terangkat dan memandang kosong ke arahnya. Ada kematian tersenyum tiba-tiba di pusara jasadnya. Seulas senyum terbata terbaca. Gadis berjilbab putih itu mendekat. Takut yang tadinya menyergap tersingkir perlahan berganti tanya berdesakan.
Bola matanya menelusur jejak tubuh perempuan. Bunting? Perempuan ini bunting? Mengejang ingatan seketika pada peristiwa terik. Bukankah? Bukankah? Bukankah dia perempuan yang dijumpainya di pasar kala itu?
?Mbak cantik deh! Minta duitnya dong!? demikian ia berucap merengek.
Tak sampai di situ ingatan mengejar. Seperti pernah lebih dari sekedar itu, gadis mengenal perempuan. Tapi, di mana? Kapan?
Hening terpecah oleh cekikan tiba-tiba dari mulut perempuan bunting, ?Dara..Dara…?
Tak salahkah telinga gadis menerima pendengaran. Dara?. Sebab yang terbayang adalah sosok mungil lincah dan lugu, tengah dirayu Ragil yang ingusan. Mata rasio gadis menolak, tidak! Dara bukanlah perempuan yang kumal seperti ini, melainkan perempuan yang cantik dan pasti menarik.
Sedesah perih tertahan di hati gadis mengeluh mengaduh. Ach…. perempuan, sekejam apakah dunia telah membuat dirimu jadi begini? Bunting begini tercecer di jalanan sunyi begini? Di manakah istana yang mestinya kau bangun dengan tawa dan air matamu? Di manakah dekap yang mestinya lindungimu dari rajam gigil kota angkuh ini?
Gadis terkatup dalam ragu. Tak tahu apa yang kan diperbuat, tatkala malam pun lingsut dari khianatnya.
Dara!