Keindahan Toleransi Perbedaan…
IBM. Dharma Palguna
balipost.co.id
SINGARAJA, atau Buleleng umumnya, dari dulu sampai sekarang melahirkan banyak pengarang. Dari sekian banyak pengarang itu, ada dua orang pengarang yang serupa tapi tidak sama: Panji Tisna dan Ida Ketut Jelantik.
Keduanya sama-sama membuat Singaraja bangga tapi dengan cara berbeda. Bukan hanya cara mereka berbeda, cara berpikir dan pandangan dunia mereka juga berlainan. Kasus ini menarik perhatian, karena pada masa itu Singaraja ”hanyalah” sebuah kota kecil, atau sebuah kampung besar.
Singaraja barangkali sampai sekarang masih merasa bangga karena telah ”melahirkan” seorang anak yang setelah dewasa menjadi seorang Panji Tisna, pengarang itu. Pada jamannya, Panji Tisna adalah salah satu pengarang yang punya nama di Indonesia. Namanya sering dibariskan dengan nama-nama pengarang Indonesia lainnya di dalam buku pelajaran sejarah atau penjamanan kesusastraan Indonesia.
Singaraja juga pada jamannya melahirkan seorang anak yang setelah dewasa menjadi seorang Ida Ketut Jlantik, juga pengarang. Beda dengan Panji Tisna, Ida Ketut Jlantik dikenal tidak oleh masyarakat sastra Indonesia, melainkan oleh masyarakat sastra Bali melalui sejumlah karya seperti: Geguritan Sucita Subudi, Geguritan Lokika, Geguritan Bhagawadgita, Aji Sangkhya, dan sebagainya.
BENARKAH Singaraja, atau siapa sejatinya yang melahirkan dua pengarang yang serupa tapi tak sama itu?
Pertanyaan seperti ini bisa dijawab dengan berbagai cara. Pengarang secara biologis, sebagai manusia darah dan daging, sudah pasti dilahirkan oleh orang tuanya masing-masing. Panji Tisna dan Ida Ketut Jlantik dilahirkan oleh dua pasang orang tua yang berbeda, di rumah yang tidak sama. Secara fisik lingkungan mereka barangkali relatif sama. Namun demikian, lingkungan itu menjadi berbeda karena yang disebut ”lingkungan” adalah masalah resepsi personal atau pencerapan pribadi seseorang.
Panji Tisna dan Ida Ketut Jlantik merepresentasikan dua lingkungan pikiran berbeda dalam karya-karya mereka. Juga berbeda cara mereka memahaminya. Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan ”pandangan dunia” yang terbentuk melalui sejumlah peristiwa dan pengalaman dalam hidup mereka masing-masing.
Panji Tisna dan Ida Ketut Jlantik sebagai seorang pengarang dilahirkan oleh karya-karyanya. Atau, katakanlah dilahirkan oleh dirinya sendiri: ketekunan, kegelisahan jiwa, pencarian jawaban, perenungan, dan sebagainya. Semua itulah yang melahirkan karya-karya sastranya. Dan pada gilirannya, karya-karya itulah yang ”melahirkan” mereka menjadi pengarang.
Uraian tentang ”siapa melahirkan pengarang” seperti di atas, bukanlah sesuatu yang baru dalam pikiran para pemikir sastra. Apa yang disebutkan di atas masih bisa dilanjutkan, karena pikiran para pemikir sastra tentang topik ini tidak berhenti sampai di sana. Namun demikian, ada sesuatu yang dapat dipetik dari dua pengarang serupa tapi tak sama itu.
Singaraja pantas berbangga karena dua hal. Pertama, karena terbukti memelopori Sastra Indonesia di Bali. Panji Tisna dan Singaraja erhasil mematahkan pandangan luar bahwa Bali hanya berkutat dengan tradisi. Dalam kasus ini, Singaraja bukan saja daerah yang terbuka, tapi Singaraja adalah daerah yang membuka diri dengan satu dan lain cara.
Kedua, Singaraja juga berbangga justru karena terbukti berhasil mempertegas aliran sastra tradisi di Bali. Dalam kasus ini Singaraja tidak hanya punya nama Ida Ketut Jlantik, juga nama legendaris I Gusti Bagus Sugriwa yang sangat memperpanjang dan memperderas aliran sastra tradisi di Bali.
Singaraja pantas berbangga untuk dua hal berbeda. Sepintas lalu kedua alasan berbangga itu nampak bertolak-belakang. Namun bila direnung-renungkan, keduanya tidak saling berjauhan satu sama lainnya. Keduanya sama-sama produk Singaraja yang di dalamnya dari dulu ada kemajemukan. Bukan hanya kemajemukan secara sosiologis, tapi juga majemuk dalam pikiran dan pandangan. Toleransi pada perbedaan telah dipertunjukkan dengan indah oleh dua pengarang Bali Utara.
***