Yeanny Suryadi
http://www.sinarharapan.co.id/
Pisau itu diberikan oleh Ginting kepadanya, katanya untuk jaga-jaga. Dia dan lelaki itu belakangan ini semakin dekat , sampai akhirnya waktu Ginting bilang dia harus pergi, lelaki dengan sekujur tubuh dipenuhi oleh tato itu kemudian menyerahkan padanya sebilah pisau, tanpa banyak bicara. Lalu kata orang, Ginting lari karena dikejar-kejar polisi.
Banyak yang ingin dia habisi dengan pisau itu. Awalnya dia berpikir untuk menghabisi Ikang, bocah sebayanya yang sering mengancam dan memerasnya. Dia tidak tahu kenapa Ikang begitu membencinya, tapi yang jelas waktu Ikang dan gerombolan kawan-kawannya mengejar dia sampai di lorong jalan, dan mengeluarkan sebuah besi panjang, bocah dengan tubuh besar itu berkata, ? Kalau ibumu macam-macam lagi, kakimu akan patah!? Sebelum sempat dihujamkannya besi itu pada kaki Hamid, Ginting muncul?tidak muncul, tapi sekadar lewat sambil mendehem, dan semua bubar, ketakutan.
Bapak bilang Ginting memang banyak ditakuti orang. Dulunya Ginting dan ibu memang berkawan. Itu sebabnya bapak tidak merasa aneh bila memang Ginting kemudian mulai dekat anak satu-satunya itu. Bapak tidak pernah melarang Hamid untuk berkawan dengan Ginting, tidak seperti ibunya. Sekali tempo waktu lelaki itu mendatangi rumah gubuk mereka, berdiri di depan pintu dengan bibir yang terkatup rapat, ibu langsung mengumpatinya, meneriakinya dengan kata-kata kotor, sambil mengancamnya. Tidak cukup itu, ibu lalu menyebornya dengan air kopi sisa bapak semalam. Tanpa banyak bicara, Ginting pergi, dan Hamid hanya mengintip dari balik gorden kamarnya. Diam dengan bertanya-tanya.
Semua orang tahu memang kalau ibu seorang perempuan yang suka berteriak-teriak. Dengan tubuh moleknya, dibalut kaos kutang dan celana pendek dia terlihat benar-benar seperti seorang pemberani. Dia siap menyerang siapa saja yang coba-coba merusak rumah tangganya, dan juga urusan piring nasinya, seperti dulu dia menyerang Teti, perempuan yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Tidak salah memang kalau akhirnya Teti diserang oleh perempuan itu, bagaimana tidak, dengan sengaja dia merebut barisan dari antrean minyak tanah yang kebetulan seharusnya adalah bagian dari Hamid. Perempuan bertubuh tambun itu membawa tiga jeriken, berbaris teratur memang, sampai tiba giliran Hamid, barisan itu tiba-tiba menjadi berantakan, dan Teti-lah yang memulai. Hamid jatuh tersungkur karena badan Teti, lalu dia menangis, sampai seorang warga memanggil ibunya, dan tidak ada ampun bagi Teti, perempuan itu habis karena umpatan dan pukulan tangan di wajahnya. Di jejeran rumah gubuk tepi rel kereta kampung itu, bisa dikatakan juga kalau ibu adalah perempuan paling muda dengan wajah dan tubuh yang jauh lebih molek dari kebanyakan perempuan dan istri-istri di sana. Itu juga yang acapkali membuat para perempuan yang tinggal di antara jejeran rumah gubuk itu kemudian membencinya, dan semua orang juga tahu kalau ibu Hamid adalah pekerja di dunia malam.
Sedang bapak adalah seorang lelaki penyabar, tidak banyak bicara. Tubuhnya tinggi dan ringkih mengurus. Bagi Hamid, bapak adalah segala-galanya. Lelaki ringkih itu yang juga mengurus segala keperluan sekolah Hamid, juga menyetrika seragam merah putihnya. Lelaki itu juga yang selalu mengingatkannya akan topi dan dasi di hari Senin. Bapaknya selalu berada di rumah, kecuali di hari Jumat dan Sabtu, dia akan menyapu rumah, dan mengurus ayam yang biasa diperjualbelikannya kemudian.
Bukan Ikang sasarannya. Tapi pisau belati itu akan dihujamkan pada orang yang tepat. Sebenarnya dia memang tidak mau membunuh siapa pun, juga guru sekolah yang sering mengejeknya secara halus. Memang ejekan itu bukan untuk dia sebenarnya, tapi dia bisa melihat begitu bencinya sang guru pada perempuan-perempuan yang berjuang mencari nafkah di dunia prostitusi. Dia bilang perempuan-perempuan itu adalah yang lemah imannya, dan dangkal harga dirinya. Dia memperjuangkan benar tentang betapa pentingnya anak-anak untuk belajar dengan giat, sebelum akhirnya jatuh ke dalam jurang hitam dan terutama terpaksa mencari nafkah dengan melacur. Lalu Hamid teringat akan ibunya. Tapi sungguh dia mencintai ibunya yang terus berjuang dengan cara apa pun agar dia tetap bisa memakai seragam merah putih, membawa nasi bakal mengganjal lapar dan mengubah nasib.
Dia masih bisa memaafkan guru IPS-nya.
Tapi dia tidak bisa memaafkan dunia, saat akhirnya bapaknya harus mati karena bencana longsor sampah.
***
Malam itu ibu tidak pergi bekerja. Ibu terus-menerus terbatuk-batuk. Bapak bilang, sebaiknya ibu istirahat dan tidak usah bekerja malam ini. Ibu tidak menjawab, selain terbatuk-batuk lalu merebahkan tubuhnya di sofa usang ruang tamu, perlahan-lahan dia mencoba tidur dengan batuknya yang sesekali. Sedang bapak pergi keluar, mau menengok ayam, katanya. Sampai tiba-tiba suara gemuruh itu terdengar mengguncang, seperti gempa. Ibu meneriakkan nama Hamid, dan bocah yang baru duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar itu langsung keluar dari kamarnya dan menghambur ke dalam pelukan ibunya. ?Ada apa bu?? Hamid tidak berani mengangkat kepalanya dari dekapan dada ibunya, tapi perempuan itu tidak menjawab, sampai kemudian suara gemuruh itu terus membelah bumi, semua warga terdengar menjerit-jerit.
?Longsor! Longsorrr!? begitu teriak mereka. Perempuan itu tersentak, lalu menggendong Hamid berlari keluar rumah, sedang longsor seperti menggulung-gulung semua yang ada di depannya, juga menelan cahaya bulan. Dan baunya sungguh menyengat.
?Khaiiiiirrr!!Khhaaiiirr,? ibu menjerit-jeritkan nama suaminya sambil menggendong Hamid. Semua warga berlarian keluar rumah untuk menyelamatkan diri, berdesakan, menjerit dalam kegelapan. Dan bapak belum juga muncul, sampai akhirnya Hamid mengerti bapaknya telah mati tertimbun longsor sampah.
Sejak itu ibu tidak pernah lagi berteriak-teriak, dia kebanyakan diam dan murung seperti sekarang. Dia tidak banyak bicara, termangu bisu di ruang penampungan, sampai semua orang berusaha membujuknya bahkan untuk makan. Tapi perempuan itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun, atau membuka mulutnya saat akhirnya Uwak datang dan mencoba untuk menyuapi nasi ke mulutnya. Dia tetap diam. Lalu menangis kencang, lalu diam kembali. Mereka kemudian tinggal di sebuah kelas, sebuah sekolah dijadikan tempat penampungan sementara. Di kelas itu kemudian di jejerkan begitu banyak terpal-terpal plastik untuk warga berbaring istirahat dan menenangkan diri , juga ibu di posisi paling pojok. Menangis, lalu diam, dan menangis lagi.
Dalam tangisnya ibu bilang, kalau bapak adalah lelaki yang baik, dia tidak seperti lelaki lain yang acap kali memukulnya dan menghinanya. Bahkan bapak mencintai Hamid seperti anaknya sendiri? Mendengar tangis ibu yang demikian, Hamid begitu merasakan kehancuran dalam dirinya. Entah apa yang telah terus berdegup-degup di kalbunya. Lalu malam itu Hamid kembali ke rumah mereka yang telah rusak karena longsor sampah, dengan menahan bau busuk sampah, Hamid berjuang kembali masuk ke dalam rumah. Dan mencari-cari sebilah pisau dari Ginting. Di bawah kasur rombeng, kamar petaknya. Di bawah terangnya bulan dan riuhnya tangisan jiwa.
***
Jari kelingking Ginting yang sebelah kanan tidak ada, waktu Hamid tanya ke mana, lelaki berbadan besar dengan tubuh penuh tato naga itu menjawab, ?Dipotong.? Hamid sempat terkejut ngeri.
?Siapa yang motong?? Hamid tidak percaya.
Ginting, menyelipkan lidahnya pada geraham, dia seperti termenung. Cahaya petang menyinari seluruh wajahnya.
Hamid menahan gigilnya, ?Sakit??
Lelaki itu tersenyum menahan kegetiran. Cahaya matahari sore yang jatuh menyinari dua insan itu seperti membuat semua yang ada kembali menjadi suci dan tenang. Lelaki itu cerita kalau dulu dia memiliki seorang istri, dan dia sangat mencintai istrinya itu, tapi sayang dia adalah seorang lelaki bodoh yang tidak mengetahui bahwa dia telah memiliki yang terindah di dunia ini. Dirinya terlalu menyepelekan jiwa seorang perempuan, terutama istrinya. Lalu istrinya selalu marah kala dia pulang tengah malam dalam kemabukan, apalagi kemudian dia mulai suka bermain perempuan karena istrinya tidak sudi lagi bercampur dengannya. Dan dia bahkan tidak hadir saat sang istri berjuang melahirkan anak satu-satunya mereka.
?Istri abang yang memotong jari kelingking abang?? Hamid bertanya tanpa rasa percaya.
Ginting menggeleng dengan senyum, ?Dia mengobatinya, lalu aku meninggalkannya lagi.?
Mereka terdiam, cahaya matahari membuat mata Ginting terlihat begitu bening dan suci.
***
Lalu waktu Ginting bilang dia harus pergi, Hamid menghambur ke dada lelaki itu, ?Jangan, jangan pergi, bagaimana kalau mereka mengejar-ngejar aku lagi?? Lalu Ginting memberikan pisau itu. ?Aku harus pergi, sebelum kehilangan jari yang lain,? ujarnya sambil tertawa. Lalu Hamid tidak pernah melihat sosoknya lagi, dan bapak bilang , ?Dia pergi untuk berlindung.?
***
Lelaki yang diincarnya memang sesekali tampak dan begitu dekat berdiri di dekatnya. Tapi Hamid tidak mungkin melakukannya di tempat ramai seperti ini. Dia pernah berpikir untuk menusuknya dari belakang saat pembagian jatah makan di halaman sekolah bagi para pengungsi, saat ibunya tiba-tiba menjerit dan menangis kencang di sudut, semua orang langsung menghampirinya dengan simpati penuh, berusaha menenangkannya. Seharusnya saat itu dia menusuk lelaki sialan itu. Tapi dia tidak bisa melakukannya saat itu, sebab polisi ada di mana-mana. Tapi jelas pisau itu telah siap menikam tubuh yang diinginkan Hamid, pisau itu tersembunyi di balik karet celana seragam sekolah dasar merah yang dikenakannya. Tidak ada yang tahu, dan tidak akan ada orang yang mengetahuinya.
?Bisa bicara sebentar, Pak?? kali ini Hamid memutuskan untuk mengajaknya bicara ke tempat sepi.
Lelaki itu memandanginya dengan heran dan berusaha untuk tetap hangat, dan penuh simpati, ?Ada apa nak??
Hamid diam.
?Ada apa?? ulang lelaki yang telah beruban itu.
?Ibu saya sedang sakit, bolehkah kami menumpang di rumah bapak sementara sampai ibu sembuh,? Hamid mulai berbicara, ?Kalau malam udara sangat dingin sekali, dan ibu sakit-sakitan.? Lelaki itu terdiam. Lalu mereka memandang perempuan yang tengah duduk dengan tatapan kosong di pojok kelas. ?Ya, baiklah,? lelaki itu menjawab dengan berat hati. Hamid tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih berkali-kali.
?Biar saya bawakan pak, ? Hamid tiba-tiba langsung meraih tas lelaki itu dan berkas-berkasnya, ?Biar saya bantu.? Lelaki itu tersenyum, sambil menepuk-nepuk kepala dan bahu Hamid. ?Ya, bawakan ke kantor bapak ya,? ujarnya. Lalu mereka beriringan melangkah menuju kantor Lurah.
Pintu kantor ditutup. Pak Lurah mengemasi beberapa arsip ke dalam laci meja, sedang pisau Hamid terangkat tinggi-tinggi lalu menghujam punggung lelaki itu. ?Arrrgghhhhh!!? jeritnya, tapi tak ada yang mendengar, semua petugas kelurahan berkumpul di sekolah tempat penampungan warga yang terkena bencana sampah longsor.
Sekali lagi, Hamid menghujamkan pisaunya.
Dia benci sekali dengan lelaki ini, lelaki yang tidak mendengar permintaan bapaknya perihal wadah sampah yang lalu mengubur bapaknya. Lelaki ini tidak tahu, bahwa hanya bapaknya yang memperlakukan ibunya sebagai manusia, tidak juga seorang guru melihat ibunya dalam keutuhan dan sisi positif. Hanya bapaknya! Bapaknya yang lalu mati karena tertimbun sampah? Lelaki ini sudah sepatutnya paham tentang seharusnya bagaimana dia menjaga keselamatan warganya, terutama bapaknya. Kenapa pendirian tembok pemisah tempat pembuangan sampah itu tidak pernah selesai? Kenapa kalau dihitung-hitung tembok para pejabat negara lebih tinggi dan panjang daripada tembok pemisah TPA itu yang tidak juga jadi secara utuh?
Kenapa mereka yang menderita hanya ditampung di sekolah-sekolah dengan lembaran-lembaran terpal keras yang sakit bila ditiduri? Kenapa mereka tidak boleh ditampung di rumah-rumah pegawai negara, di halaman-halamannya yang luas? Kenapa pegawai-pegawai negara diberi banyak uang untuk biaya rumah, tapi kenapa rakyat kebanyakan digusur lalu bermalam di tenda-tenda, dan bahkan tertimbun sampah? Hamid terus menghujamkan pisaunya, lelaki beruban itu meronta, mencoba bertahan, meraih kaki kursi, menjatuhkannya dan berteriak, teriakan lurah itu berhasil mengundang seorang petugas.
?Hei berhenti!? teriaknya.
Hamid terkejut, tangannya telah berlumuran darah. Bocah itu gelagapan dan berusaha mencari celah untuk lari. ?Pak Lurah terluka, tolong! ? teriak petugas itu, ?Tolonggg!! Tolongg!!? Tak lama terdengar suara riuh, orang-orang berlarian, menjerit, ?Pak Lurah terluka! Pak Lurah terluka!?
***
?Keluarlah, ada tamu untukmu, ? ujar sipir itu.
Hamid mengangkat kepalanya, dia tidak percaya kalau ibu sudah sembuh dan menjenguknya.
Tertatih-tatih bocah itu berjalan menyeret tubuh di atas kaki kurusnya, menghampiri ruang perjumpaan napi dengan tamunya.
Ada Ginting di sana.
Hamid menatapnya dengan mata berkaca-kaca, ingin dia menghambur seperti dulu, tapi terali besi itu memisahkan mereka. ?Bapak mati bang, .? isaknya, ?Rumah kami hancur bang.? Dia terus berkata tanpa henti, ?Ibu sakit bang.?
Ginting hanya diam menatap anaknya menangis. Air mata lalu jatuh dari ke pipi dengan sendirinya, samar-samar dia teringat umpatan istrinya, ?Menjauhlah kau dari anakku, sebelum anakku hancur seperti dirimu.? Lalu perempuan itu mengusirnya dengan melemparinya air kopi.