Harwimuka, Sastrawan Jawa Blitar yang Karyanya Tersimpan di Universitas Leiden, Belanda

Sudah Terbitkan Sepuluh Buku Fiksi Berbahasa Jawa
Ridha Erviana
http://www.jawapos.co.id/

Sastra Jawa karya Harwimuka tak hanya dinikmati masyarakat tanah air. Ternyata, sudah merambah ke Suriname, bahkan ke negeri kincir angin Belanda. Berikut laporannya.

Sosok pria kelahiran 22 Oktober 1960 ini tampak kalem. Bahkan saat diajak berbincang di sela-sela Pemilu Seniman 2010 pada Minggu (21/2) lalu, Harwimuka terkesan malu-malu. Harwimuka merasa tidak pandai berbicara. Walaupun begitu, rekan seniman dan orang-orang yang berkecimpung di dunia sastra Jawa telah mengenalnya.

Bapak tiga anak ini dikenal sebagai sastrawan Jawa. Harwi -panggilan akrabnya- telah menghasilkan banyak literatur Jawa yang telah diterbitkan dan dijual bebas. Bisa dibilang, dirinya adalah penulis produktif baik untuk karya fiksi maupun nonfiksi dalam bahasa Jawa. Biasanya, karyanya bisa dinikmati di majalah berbahasa Jawa, seperti Penyebar Semangat (PS) dan Jayabaya.

Dia menulis sejak 1982. Ketika masih bujangan dulu Harwi kerap mengirimkan hasil karyanya yang berupa geguritan (puisi), cerita pendek, cerita bersambung, cerita rakyat, cerita wayang dan lain-lain ke majalah berbahasa Jawa. “Awalnya saya memang suka membaca PS dan Jayabaya. Dari situ saya belajar sendiri dan menyukainya,” tutur guru di SDN Sumberagung 02, Kecamatan Gandusari.

Ternyata, meskipun piawai menulis sastra Jawa, Harwi tidak pernah mengambil disiplin ilmu sastra Jawa. Dia mengambil pendidikan D3-nya di IKIP PGRI Blitar jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Kemudian, untuk S-1 dia melanjutkan di Universitas Wisnuwardhana Malang di jurusan bahasa Indonesia. Sedangkan untuk jenjang pascasarjana, Harwi mengambil jurusan magister kebijakan dan pengembangan pendidikan di Universitas Muhammadiah Malang. “Ya, kalau untuk nulis itu memang kesenangan sejak muda. Jadi tinggal mengembangkan saja,” tutur pria berkumis ini.

Suami Agustina ini, bahkan awalnya tidak menyadari, karyanya telah sampai hingga negeri orang. Seperti Suriname dan Belanda. Bahkan ada juga karyanya sampai di Australia dan Amerika Serikat. “Saya ndak tahu proses persisnya. Tapi jika dicari di internet begitu muncul nama dan karya saya,” tutur Harwi.

Hal ini, dinilai wajar saja oleh Harwi. Sebab, segala sesuatu yang berbau sastra Jawa menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa Belanda dan Suriname. Seperti diketahui, di Suriname bahasa Jawa menjadi salah satu alat komunikasi antar warga negara. Sedangkan di Belanda, terdapat universitas yang membuka jurusan khusus sastra Jawa. “Salah satunya yang terkenal di Universitas Leiden Belanda. Saya juga tidak pernah mengira karya saya bisa sampai sana,” tutur putra pasangan Yasir dan Yamini.

Dalam proses kreatif dalam menghasilkan suatu karya, Harwi tidak menempuh hal khusus, seperti meditasi, ataupun mengasingkan diri. “Inspirasi bisa datang kapan saja. Dengan melihat sekitar saja sudah bisa. Kalau sudah begitu, saya simpan di angan-angan. Saya kembangkan di pikiran. Kemudian baru saya tulis,” jelas pria murah senyum ini.

Selain menulis karya dalam bahasa Jawa, Harwi juga menghasilkan banyak karyanya dalam bahasa Indonesia. Bahkan, pada 2009 lalu, lewat cerpennya Nyanyian Alam Rindu Kehadiran, Harwi menempati peringkat tiga besar dalam lomba penulisan fiksi tingkat nasional. “Ya, saya memang hobi menulis. Apapun,” tutur Harwi.

Hingga saat ini, Harwi masih terus menulis. Baik untuk sastra Jawa, sastra Indonesia, maupun buku-buku pelajaran. “Tapi dari dulu karya saya lebih didominasi untuk anak-anak,” katanya. Jika seluruh karyanya dikumpulkan, Harwi memperkirakan jumlahnya ratusan. Untuk yang telah diterbitkan lewat suatu penerbit, bukan majalah, dia menghitung sekitar 10 buku fiksi untuk anak maupun dewasa. Dan sekitar 15 buku pelajaran.

Melihat perkembangan sastra Jawa yang lamban, Harwi sedih dan prihatin. Namun, dirinya berusaha untuk terus mempopulerkan sastra Jawa. Dia yang tiap minggu selalu membeli 20 majalah berbahasa Jawa, kemudian membagikannya ke rekan sejawatnya sesama guru. “Lha kalau guru bahasa Jawa banyak. Tapi yang mau berkecimpung di sastra Jawa, masih bisa dihitung,” tutur anggota sanggar Triwida ini.

Dengan kerap mengajak siswanya berkomunikasi dengan bahasa Jawa, merupakan cara lain Harwi untuk mengajak generasi penerus menyukai budaya dan tradisi asli yang dimiliki bangsa. “Bahasa Jawa, sekarang anak-anak kalau tidak dibiasakan, bisa-bisa sama sekali tidak mengenal,” ujar Harwi. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *