Afnan Malay
http://www.jawapos.co.id/
HOMO Ludens, manusia bermain, adalah tajuk yang disodorkan kurator Wahyudin kepada 17 perupa yang sebagian besar di antara mereka berhasil menambatkan diri pada deretan papan atas seni rupa Indonesia. Mereka adalah Agus Suwage, Beatrix Hendriani Kaswara, Budi Kustarto, Dipo Andy, Erik Pauhrizi, FX Harsono, Haris Purnomo, Inge Riyanto, Julnaidi M.S., Jumaldi Alfi, Putu Sutawijaya, R.E. Hartanto, S. Teddy D., Sigit Santoso, Ugo Untoro, Wayan Suja, dan Yani Maryani.
Tafsir rupa atas konsep manusia bermain yang digagas Johan Huizinga mulai 20 Juni hingga 4 Juli 2010 dipamerkan di Emmitan CA Gallery, Surabaya.
Sejatinya, manusia itu memang makhluk bermain. Dari mana pun perspektif yang bisa kita kemukakan, selalu ada saja sudut yang mewartakan bahwa tidak ada aktivitas manusia yang tidak memenuhi kriteria layaknya permainan. Misalnya, dalam konteks waktu, setidaknya, sejumlah konsep kebudayaan mendefinisikan kehidupan sebagai: pedang (Arab) atau uang (Barat). Pedang dan uang merupakan alat permainan perekat-pemutus relasi antarmanusia yang rumit sekaligus kompleks. Pedang dan uang merupakan narasi besar di antara sejumlah konsep kebudayaan (narasi-narasi kecil).
Kerumitan (pola interaksi) dan kompleksitas (muatan interaksi) dalam relasi pedang-uang itu yang dengan bersahaja dikonstatasikan sebagai urip mung mampir ngombe (Jawa). Pedang dan uang atau apa saja konsepsi yang mengemuka menjadi semacam simpul luapan otoritas yang menggerakkan dunia. Pedang dang uang -bagaimanapun implementasinya- menyebabkan kehidupan kian dinamis. Tapi, muatan yang terbukti tidak mungkin disembunyikan dari paradigma semacam itu adalah dunia yang semakin mengecil (globalisasi).
Penciutan dunia tidaklah semata fenomena teknologi mengatasi jarak-waktu-tempat: ia memiliki konsekuensi. Celakanya, konsekuensi itu sekitar pedang dan uang. Apa yang diperhadap-hadapkan Samuel Huntington sebagai benturan peradaban (Islam-Barat) sebenarnya muaranya akar dari dua peradaban Arab-Barat: pedang (puritan) dan uang (profan).
Implikasi globalisasi adalah ihwal peran atau sesuatu yang digerakkan oleh permainan rupa. Rupa (sosok atau peran) merupakan persoalan eksistensi (individual-sosial) yang akut sepanjang hayat dikandung badan selama negara-bangsa masih diberlangsungkan: yang bisa menghentikannya mungkin hanyalah dunia imaji John Lennon. Yaitu, ketika dia membayangkan sebuah tempat bersama yang ”tidak ada agama pun tidak ada negara”. Agama dan negara merupakan solusi atas keberlangsungan sejarah (hidup sesudah mati) dan keberlangsunganidentitas (upaya mereduksi kompleksitas). Karena itu, dalam dunia imaji Lennon: orang-orang mengasah eksistensi sebatas perlu, sebab hidup adalah sekadar persinggahan minum belaka.
Agama sebagai solusi keberlangsungan historis sering membuat pemeluknya sedemikian posesif. Indikatornya adalah pemaknaan yang tunggal atas dogma kebenaran (kebersejarahan manusia dan kehidupannya). Begitupun negara, secara repetitif hingga kini kita saksikan, begitu posesifnya keberlangsungan identitas sendiri memicu penaklukan satu negara terhadap yang lain.Tetapi, mengapa dunia imaji Lennon berhenti pada utopia? Karena hidup adalah permainan rupa. Konsekuensi atas kenyataan itu mengakibatkan si Baik dan si Buruk bukanlah rupa yang serta-merta mudah terdeteksi. Atau lebih rumit lagi deteksi atas rupa (sosok atau peran) tidak senantiasa absolut: baik dan buruk adalah permainan rupa.
Permainan rupa tidak hanya dapat berarti bahwa baik dan buruk senantiasa relatif, melainkan keduanya bisa saja bertukar tempat, tanpa ada interupsi atau konfirmasi. Sebab, permainan rupa dalam relasi sosial (pun personal) yang rumit dan kompleks tunduk kepada siapa (si Baik atau si Buruk) yang kuasa mendesakkan otoritas (celakanya, niscaya berupa pedang atau uang). Sekalipun ada yang selalu berhasil mendesakkan otoritasnya, tidak selalu penaklukan berhasil mencapai tujuannya. Narasi besar boleh jadi mereduksi narasi-narasi kecil, tetapi tidak selalu berhasilmembekapnya. Mungkin, kalau saja si Baik dan si Buruk itu bukan merupakan relasi yang rumit dan kompleks, tentu saja kehidupan sudah lama selesai.
Mereka yang menyangka hidup tidak rumit dan kompleks sangat mudah dihasut fanatisme. Karena itu, bunuh diri hanya terjadi dalam fanatisme atau mereka yang frustrasi atas persangkaan hidup yang tidak rumit dan kompleks: sekadar hitam-putih. Dan para kreator pastilah mereka yang intens untuk selalu gelisah menemukan permainan (kreasi demi kreasi) justru karena bagi mereka hidup itu memang rumit dan kompleks. Karena itulah, para seniman (termasuk perupa) merupakan sosok-peran (rupa) yang senantiasa didefinisikan sebagai sesuatu yang ”diluar ukuran”: karena memiliki kerumitan dan kompleksitasnya sendiri.
Itu pula yang menyebabkan Johan Huizinga, penggagas homo ludens, membuat kelonggaran ketika mendefinisikan seni(-man). Katanya, kalaupun kita memberikan arti yang sedemikian primordial terhadap permainan sebagai faktor kebudayaan, tetapi asal-usul seni tidak dapat dijelaskan dengan hanya mengacu kepada naluri bermain. Apa yang disebutnya sebagai ruang bermain dalam dunia yang makin teknologis-mekanis memang terasa sangat terusik keberadaannya.
Ospek dalam dunia kemahasiswaan kita, misalnya, pada saat ini tidak mungkin dipersepsikan sebagai bentuk operasionalisasi homo ludens. Tetapi, aktivitas out bond yang lebih bernilai kesetaraan daripada ospek yang hierarkis kini marak: intinya, karena naluri bermain tidak mungkin dipangkas tandas.
Naluri bermain -apalagi bisa ditransformasikan menjadi paradigma- mampu meredam kekakuan dalam banyak hal (agama, politik, ekonomi, atau budaya) atau cukuplah untuk interaksi kita sehari-hari. Karena dalam bermain, yang mengemuka adalah (ke)manusia(an) yang otentik yang belum dibebani peran-peran tertentu: katakanlah manusia yang antropologis, bukan manusia yang sosiologis.
Permainan rupa karya para perupa yang beroleh kesempatan untuk memajang karyanya dalam pameran ini menyoal beragam episode kompleksitas kehidupan. Masing-masing mengisahkan hal yang berbeda, sekalipun tentulah relasional karena cerita kehidupan yang rumit dan kompleks: tetaplah kisah tentang kita sendiri. Hanya Julnaidi M.S. dan S. Teddy D. yang tidak menghadirkan rupa (sosok), tetapi rupa dalam pengertian peran (Julnaidi memvisualisasikan permainan catur) dan bagian anatomi (Teddy dengan tri matra berupa lingkaran tangan yang mengepal).
Begitupun ihwal sosok ternama, hanya Dipo Andy yang menyodorkannya, yaitu Marilyn Monroe (semiotika kecantikan): biduk yang mengharap untuk dikayuh atau sungai yang tak pernah kering untuk direnangi. Sedangkan Agus Suwage menampilkan ironi, Beatrix Hendriani Kaswara (dilemma), Budi Kustarto (soal potret diri), Erik Pauhrizi (sosok yang kabur), FX Harsono (eksistensi nama), Haris Purnomo (bayi bertato), Inge Riyanto (kasih sayang), Jumaldi Alfi (dua sisi kesunyian), Putu Sutawijaya (wacana tubuh), R.E. Hartanto (rupa yang sembunyi), Sigit Santoso (pesona kiasan tubuh), Ugo Untoro (dunia komik), Wayan Suja (identitas yang terbungkus), dan Yani Maryani (kekudusan). (*)
*) Kurator seni rupa tinggal di Jogja