Bandung Mawardi
http://www.korantempo.com/
Pekerjaan memang jadi tema pelik tapi menggelitik. Lakon orang mencari kerja seperti serial sinetron dalam seribu babak. Pekerjaan dijadikan sebagai dalil sahih untuk eksistensi, harga diri, dan konstruksi status sosial dengan pelbagai argumentasi. Pekerjaan pun menjadi taruhan ekstase ekonomi dan ironi nasib manusia.
Kehadiran iklan-iklan pekerjaan di media massa cetak dan elektronik merupakan representasi luberan imajinasi pekerjaan yang dirayakan para pencari kerja. Perayaan dilakukan dengan pilihan-pilihan jenis pekerjaan dan kompensasi dari kerja. Pembaca yang suntuk kerap masuk dalam gairah imajinasi dengan dalil-dalil pengandaian. Imajinasi menjadi prosedur untuk memenangi lowongan atau membayar kekalahan-kekalahan dalam lamaran kerja. Imajinasi menjadi jalan penyelamatan atau pelenaan atas takdir kekalahan?
Pembaca tentu mafhum atas adanya sihir klise dalam iklan kerja: “lowongan kerja”, “dibutuhkan segera”, “peluang usaha”, atau “tantangan karier?. Ungkapan sugestif dan persuasif itu memicu orang mengalami rangsangan untuk memikirkan nasib. Pelbagai kemungkinan diajukan atas nama hasrat dan spekulasi dengan hukum “coba-coba” atau “siapa tahu diterima”. Imajinasi lalu mengantarkan orang memasuki konsekuensi-konsekuensi kerja: beban kerja, jadwal hidup, pakaian, gaji, status sosial, dan gaya hidup.
Pembayangan terhadap khazanah kenikmatan dari laku manusia ekonomi mungkin lebih dominan ketimbang pemaknaan kerja secara filosofis, etis, estetis, dan teologis. Pekerjaan sebagai tindakan ekonomi dengan ukuran duit masih menjadi pengesahan normatif dari keriuhan dunia yang meminta bayaran tinggi. Pekerjaan pun mulai terlupakan sebagai refleksi eksistensi manusia.
Pujangga Ranggawarsita pada abad XIX telah mengingatkan perkara imajinasi pekerjaan dalam Serat Jayengbaya. Ranggawarsita dengan kelakar dan satire mengisahkan para pendamba pekerjaan dengan rumus “Kalau aku menjadi…”. Daftar pekerjaan pada masa itu yang merepresentasikan imajinasi publik: penabuh gamelan, penari, petani, pedagang, juru tulis, jaksa, pengemis, dan lain-lain. Jenis-jenis pekerjaan itu mengandung suka dan duka. Imajinasi Ranggawarsita itu sekarang melesat jauh dengan jenis-jenis pekerjaan heroik, seksi, elitis, dan genit menurut kodrat zaman tunggang-langgang.
Makna kerja
Kitab Bhagawad Gita memberi ajaran filosofis tentang makna kerja yang terungkapkan melalui percakapan antara Arjuna dan Kresna. Arjuna menanyakan makna kerja sebagai realisasi ibadah dan kodrat menjadi manusia. Kresna menjawab: “Kerjakanlah pekerjaan yang mesti, bekerja lebih baik daripada tiada bekerja, dan penjagaan badanmu pun tak kan sempurna kalau tiada dengan kerja.” Pekerjaan dalam tuturan ini bukan sekadar perkara tindakan yang menghasilkan duit. Pekerjaan cenderung dimaknai sebagai bentuk ibadah lahir-batin untuk mengajari manusia tentang pengorbanan dan mekanisme produksi makna-makna hidup dari pengertian teologi sampai ekonomi.
Pemaknaan kerja atau pekerjaan pada hari ini memang terkesan kabur, karena orang abai terhadap substansi tapi terlena dengan perkara-perkara instrumental pragmatis. Kerja sebagai tindakan melakukan sesuatu terus dijadikan sasaran atas nama kesahihan ekonomi. Kerja mungkin menjadi definitif ketika sesuai dengan normativitas zaman kapitalistik. Kerja adalah kerja ketika bisa diperhitungkan secara ekonomi. Pembakuan makna ini membuat kerja memiliki arti sempit dan kaku. Pemunculan definisi dan status justru mengesankan kerja mesti menghasilkan hal-hal kasat mata atau duit.
Pendangkalan makna juga terjadi pada pemahaman atas pekerjaan. Opini umum kadang menjadi jebakan untuk membuat makna pekerjaan jadi rentan ketika muncul pertanyaan: “Apa pekerjaanmu?” Pertanyaan ini kerap mengandung pemaksaan atau teror bahwa pekerjaan itu mesti jelas dan definitif: pengusaha, guru, buruh, wartawan, pedagang, atau petani.
Pekerjaan-pekerjaan sebagai penulis, pelukis, aktor, atau mubalig tentu repot untuk didefinisikan secara normatif. Pertanyaan pelik: “Apakah semua itu pekerjaan?” Definisi pekerjaan mungkin bisa dikenakan, dengan argumentasi tindakan produktif. Kemungkinan itu kadang susah berterima dengan tuntutan sosial mengenai jenis pekerjaan yang jelas untuk konsekuensi kerja normatif: jadwal kerja, pakaian, gaji, kantor, atau aturan kerja.
Menjadi manusia
Rabindranath Tagore mendedahkan refleksi dalam cerita kecil tentang pekerjaan. Seorang bocah masuk dalam imajinasi pekerjaan yang menantang. Bocah itu ingin menjadi penjaja keliling, karena ketika pergi sekolah di pagi hari ia terkesima oleh sosok penjaja gelang yang tampak bebas dan nikmat. Bocah itu lalu ingin menjadi tukang kebun ketika setiap pulang sekolah di sore hari ia kerap melihat kekhusyukan si tukang kebun menikmati kerja. Bocah itu lalu ingin menjadi peronda, karena ketika mau berangkat tidur di malam hari ia takjub pada kerja para peronda malam yang khidmat menjaga keamanan kampung.
Imajinasi bocah itu menghadirkan refleksi bahwa imajinasi pekerjaan memang susah dihentikan ketika ada pertimbangan konsekuensi suka dan duka. Bocah itu memang masih naif, tapi sanggup membayangkan bahwa kerja merupakan kodrat manusia yang membutuhkan kenikmatan tanpa jatuh dalam hal-hal praktis dan pragmatis atas nama ekonomi. Pekerjaan adalah kekhusyukan, kebebasan, atau kenikmatan atas nama proses menjadi manusia. Imajinasi pekerjaan adalah imajinasi menjadi manusia.
Imajinasi pekerjaan dalam kisah Tagore itu memiliki kemiripan dengan pokok filsafat Karl Marx. Pekerjaan menempati posisi kunci dalam pemikiran Marx ketika memperkarakan prosedur menjadi manusia dan risiko keterasingan. Marx dalam Economic and Philosophical Manuscripts menjelaskan tentang makna pekerjaan pada manusia. Pekerjaan adalah realisasi menjadi manusia. Pekerjaan pun bisa menjadi sumber bagi keterasingan manusia ketika gagal dalam kepemilikan otoritas dan tunduk oleh eksploitasi. Keterasingan ini secara eksplisit disebabkan oleh praktek ekonomi kapitalis. Keterasingan bisa terbantahkan jika manusia memahami kerja sebagai prosedur mengafirmasi makna sosial.
Filsafat pekerjaan dari Marx memang menjadi penyadaran untuk memikirkan pekerjaan tidak sekadar tindakan tanpa nilai. Filsafat ini masih berlaku sampai hari ini ketika orang-orang dalam kerumunan melakoni pekerjaan seperti mesin atau budak. Pemerdekaan diri seperti punah oleh sistem dan rezim ekonomi-politik. Orang bekerja mungkin untuk pemenuhan hasrat-hasrat parsial. Pekerjaan hilang makna sebagai prosedur menjadi manusia dan justru menjadi dalil untuk menghilangkan derajat kemanusiaan.
Labelitas pekerjaan pun kerap diajukan untuk pembedaan kelas sosial dan menentukan harga diri tanpa sadar bahwa labelitas gampang memunculkan arogansi tanpa arti. Hasrat labelitas itu membuat orang-orang memilih jenis-jenis pekerjaan untuk pemunculan gengsi dan prestise tanpa sadar dengan konsekuensi kerja. Kehormatan diri seperti terletak di label pekerjaan dengan melupakan proses kenikmatan dan pemaknaan eksistensialis dalam melakukan pekerjaan. Labelitas sekadar instrumen untuk menjadi manusia. Kesadaran akan pokok dalam pekerjaan seperti menguap oleh bias-bias ketergantungan dan ketundukan. Pekerjaan belum menjadi alasan pembebasan? Apakah orang membutuhkan imajinasi untuk menyelamatkan diri dari kutukan pekerjaan? Begitukah?
PENULIS, TINGGAL DI SOLO