Bandung Mawardi
http://cetak.kompas.com/
Peluru menghantam geram. Bom meledak tanpa ampun. Api membakar dalam nafsu kematian. Pohon keramat dan besar itu roboh. Pusat dari kehidupan mengalami sekarat oleh imperasi kapitalisme. Pohon peradaban dimatikan demi pembesaran modal. Sakralitas hidup absen dari nalar kapitalisme. Modal sanggup menggerakkan ilmu pengetahuan-teknologi modern dan militer untuk impian picisan. Kisah pedih ini hadir dalam film Avatar garapan James Cameron. Kontradiksi-kontradiksi manusia tampil dalam arogansi, keharuan, kepicikan, kearifan, dan kebersahajaan.
Kekuatan tradisi bahkan adab yang dibangun bangsa Na?vi di Pandora bersama alam menjadi gambaran ideal Cameron tentang bagaimana manusia menemukan eksistensi dan esensi dalam integrasi-kosmologisnya bersama sebuah pohon. Pohon pun menjadi satu hal yang keramat, menjadi kiblat untuk melihat diri dalam relasi dengan Eywa dan alam semesta. Tidak hanya pada Eywa, tapi integrasi kosmologis dan kekeramatan pohon itu juga dapat kita lihat terjadi pribadi dan komunitas-komunitas tradisional di pedalaman Jawa, di pedalaman India, Afrika, Amerika Selatan, bahkan masyarakat primitif Eropa.
Pohon keramat itu mengandung memori peradaban dari akar sampai pucuk daun menggapai langit. Namun, memori dan ikatan sakral itu kini diganggu oleh ambisi kapitalisme. Modal memusuhi alam dan memaksa penghancuran pusat kehidupan. Arogansi kapitalisme telah menciptakan luka. Komunitas Na?vi melawan untuk pengharapan meski harus ditebus dengan kematian, kehancuran, dan kerusakan. Pohon peradaban roboh dan melahirkan ratapan panjang. Kapitalisme menjelma horor kematian.
Pohon kosmologis
Film itu mengajukan refleksi mengenai kosmologi pohon. Pelbagai agama dan peradaban manusia memiliki pandangan sakral terhadap pohon. Kisah Adam dan Hawa bisa terjelaskan dengan pohon. Lakon Buddha memuncak di bawah pohon. Pelbagai kita suci mengisahkan pohon. Komunitas-komunitas etnis pun memiliki acuan hidup pada pohon hayat, pohon kehidupan, pohon suci, pohon arwah, atau pohon abadi. Kosmologi pohon telah membentuk kesadaran hidup dalam acuan mitologis-kultural dan religiositas.
Pohon dalam sejarah peradaban Jawa memiliki pelbagai kisah reflektif dengan pesan-pesan kosmologis. Aura raja dan praktik merawat kekuasaan disimbolkan dengan kehadiran sepasang pohon waringin di alun-alun.
Kosmologi pohon dalam peradaban Jawa bisa ditemukan dalam relief candi, teks sastra Jawa kuno, folklor, tradisi pengobatan, pewayangan, atau ritus siklus kehidupan.
Pohon dalam pertunjukan wayang tampil dalam kekayon atau gunungan. Pohon dalam teks sastra Jawa kuno termaktub di kitab Udyogaparwa, Brahmandapura, Ramayana, dan Arjunawiwaha. Pohon pun kerap dijadikan simbol dalam sekian ritus dengan pemaknaan spiritual-kultural.
Kesadaran kosmologis itu tampak dalam pemaknaan pohon kalpataru. Simbol ini jadi bukti intimitas ekologi dan kemauan mengafirmasi sejarah peradaban. Pemaknaan kalpataru pun menyebar dalam ranah politik, ekonomi, jender, agama, seni, ekologi, dan kultural.
Pohon dalam kapitalisme
Namun, semua kisah dan kekeramatan pohon di atas, dalam progresivitas zaman di banyak tempat, mengalami semacam tragedi, berawal dari degradasi atau penghancuran nilai-nilai sakralnya. Salah satu kekuatan yang menyebabkan kehancuran pohon dalam segala tingkat maknanya itu adalah kapitalisme, dengan ?pasar bebas? sebagai anak kandung kesayangannya.
Imperasi kapitalisme ini digerakkan oleh modal dengan pelupaan kodrat peradaban.
Kebijakan ekonomi-politik global?juga nasional?menciptakan berbagai pembenaran untuk mereduksi peran mitologis, teologis, atau ekologis pohon, menjadi sekadar peran ekonomis belaka. Maka, industri besar, yang dibantu oleh kebijakan pemerintah yang ?diracuni? modal, telah memaksa hutan-hutan di Indonesia gundul dalam hitungan detik. Pohon raib untuk meninggalkan tidak hanya kecemasan, tetapi juga kematian.
Patologi-ekologis telah membuka jalan untuk kematian manusia. Koreksi diri dan pertobatan mesti dilakukan dengan pemikiran dan tindakan kolektif. Henryk Skolimoski (2004) mengingatkan, perombakan konstruksi filsafat modern merupakan solusi untuk merampungi patologi-ekologis.
Skolimoski menginginkan ada aplikasi filsafat-lingkungan secara konstruktif. Filsafat ini mesti dipahami secara global dan komprehensif. Filsafat-lingkungan adalah filsafat proses dengan sifat integratif, hierarkis, normatif untuk mengaktualkan diri (manusia), dan proses simbiosis dengan kosmos. Penyadaran ini mungkin memunculkan optimisme kendati tidak paripurna mengobati luka alam dan derita manusia. Pengharapan masih pantas disemaikan dengan kearifan dan pemaknaan produktif.
*) Peneliti Kabut Institut Solo dan Koordinator Bale Sastra Kecapi Solo.