Mencatat Satu Sisi dari Sanjak

“Narasi Di Setapak Pintu” Cecil Mariani

JJ. Kusni
sinarharapan.co.id

Puisi memang bersegi banyak. Kalau kita mencermatinya, maka orang sering memilah segi-segi ini dalam kategori besar: bentuk dan isi, sedangkan bentuk dan isi ini saja mempunyai rincian yang tidak sedikit. Isi bisa dilihat dari segi sosiologis, filsafat, psikologis, sejarah, latarbelakang budaya, politik, dan lain-lain… sedangkan bentuk mencakup unsur-unsur antara lain pilihan kata, irama, perbandingan, pembagian larik, kontras dan sebagainya.

Sekalipun sebuah puisi mempunyai unsur-unsur demikian, tapi tetap saja puisi merupakan satu keutuhan tunggal sebagai puisi. Mutu sebuah puisi merangkum semua unsur tersebut tanpa pemilahan atau mengabaikan satu atau lain segi, dan ia selalu merupakan pintu menganga bagi perdebatan atau
perbincangan ketika ia telah disiarkan lalu menempuh jalan hidupnya sendiri di luar penyairnya. Semua unsur di atas bisa digunakan oleh penyair sebagai sarana untuk mengungkapkan diri.

Terkadang, bisa sang penyair mulai tergugah hatinya oleh sebuah irama lagu, katakanlah jazz, misalnya, atau saat ia terpesona melihat matahari tenggelam, dan dari gugahan ini si penyair mengembangkan pikir, rasa dan seluruh imajinasinya.

Kali ini, saya ingin menjuruskan pembicaraan kepada irama sebuah puisi. Untuk keperluan ini saya kembali mengambil sanjak Cecil Mariani yang disiarkannya dalam Milis Penyair (2 Februari 2003, 14:08) berjudul: “Narasi Di Setapak Pintu”. Sanjak Cecil Mariani tersebut lengkapnya sebagai berikut:

Narasi Di Setapak Pintu

pada setengah pintu ternganga dan liris hujan…

setapaknya telah bertaburan impian
diantaranya berpamit sepasang ciuman
seketika segala redam yang lolos dari kekang

pada setengah pintu
bernaung dermaga atap dari pelukan hujan…

sepasang denyut menyapa tanpa bicara
sederas luncuran berbias baur hujan di bening jendela
di luar dalam sisi jiwa
sehangat dan segigil kaca-kaca

pada setengah terpenjara
kelambu bergaris kabut desahan hujan…
meracau sepasang lelap dalam meluruhnya rintikan
memuaikan telaga dalam genggam tangan
membisikan diam sapaan ketika datang dan ketika pulang

berurai serpihan bercucuran berserak dalam cium,
genggam dan lambaian
hingga segala hamburan kembara kembali susut
di satu setapak:

antara ambang setengah pintu kerinduan
antara interlude senyap kehujanan
pada menepi sepasang ciuman
pada geming di genggam tangan

(Cecil Mariani, milis penyair@yahoogroups.com , 02 Februari 2003, 14:O8).

Saya tidak tahu sedang berada di mana Cecil Mariani (selanjutnya saya singkat Cecil) ketika menulis sanjak ini. Apakah di rumahnya di Lebak Bulus atau di kantor kerjanya yang baru atau berada di ruang mengajarnya di Tangerang. Tapi yang jelas pada waktu itu langit sedang mengucurkan hujan dengan deras, sehingga kabut bagaikan kelambu menerawang terbayang di hadapan mata penyair memanggil segala kenangan dan memacu imajinasinya dari satu peristiwa ke peristiwa lain yang telah dialaminya.

Suasana yang sedang dihadapinya ini, ia lukiskan bersama kenangannya akan sesuatu atau seseorang. Dan seperti biasanya dalam banyak narasinya, Cecil masih berada dalam pengaruh melankoli yang disemai oleh pengalamannya semenjak kanak. Melankoli ini terasa bukan hanya terungkap pada pilihan kata serta perbandingan, tapi lebih-lebih mencuat dalam irama baris-barisnya yang panjang dari awal hingga akhir sanjak ini, misalnya:

“sepasang denyut menyapa tanpa bicara
sederas luncuran berbias baur hujan di bening jendela
di luar dalam sisi jiwa
sehangat dan segigil kaca-kaca”

“pada setengah terpenjara
kelambu bergaris kabut desahan hujan..”

Dalam sanjak ini, Cecil mengeksploitasi daya irama untuk mendukung emosi dan pikiran yang ingin dia tuangkan. Hal inipun pernah dilakukan antara lain oleh Toto Sudarto Bachtiar dalam sanjaknya “Gadis Peminta-minta”

“gadis kecil berkaleng kecil
kalau kau mati bulan di atas itu tak ada lagi yang punya”

(Dari: kusanjak: Etsa)
Atau Chairil Anwar dalam sanjaknya “Cintaku Jauh Di Pulau”:

“cintaku jauh di pulau
di leher kukalungkan oleh-oleh buat si pacar”

Yang ingin saya katakan dengan contoh-contoh di atas bahwa irama memang bisa dieksploitasi oleh penyair untuk mendukung pikiran dan rasa yang ingin ia tuangkan, dan Cecil dalam sanjaknya di atas telah mengeksploitasi kemungkinan ini secara maksimal. Irama ini biasanya bersesuaian dengan suasana hati. Benarkah demikian, Cecil?

Perjalanan 2003

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *