Mengamati Perkembangan Sastra

Matroni el-Moezany*
http://terpelanting.wordpress.com/

Mengamati kemunculan karya sastra, baik itu cerita pendek ataupun puisi di Yogyakarta (baca:Yogyakarta) sejak pertengahan tahun 2007 sampai dengan hari ini mengalami perkembangan luar biasa. Media cetak lokal, dalam hal ini Koran harian Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, dan Berita Pagi, khususnya Seputar Indonesia (Sindo) begitu konsisten dalam memuat dan memunculkan nama-nama baru yang dari segi kualitas karya bisa dikatakan baik dan hampir menyamai para senior walaupun para terdahulu mereka itu begitu berpengalaman. Jika boleh melihat dari segi usia, nama-nama baru tersebut bisa dikategorikan sebagai orang muda. Saya lebih suka menamai dengan orang muda karena usia mereka berkisar antara 20 tahun sampai 29 tahun.

Orang-orang muda itu begitu bersemangat memburu publikasi di koran-koran lokal Minggu. Tak heran lagi, jika di hari yang sama, nama-nama tertentu bisa terpajang di dua atau tiga media yang berbeda (tentunya dengan judul karya dan isi yang berbeda juga). Tiga karyanya (baik itu cerpen atau puisi) dimuat ditiga rubrik budaya Koran Minggu yang berbeda, pada hari yang sama. Mereka begitu bersemangat setiap karya muncul di koran Minggu, walau itu merupakan sebuah ketakutan pada diri saya kemudian muncul apakah dengan mengejar jumlah publikasi, tapi kualitas karya tetap diperhatikan.

Fenomena ini ternyata tidak hanya terjadi di lokal Yogyakarta saja, di media-media Nasional pun kerap kali memunculkan nama tertentu dalam beberapa media pada hari yang sama. Akan tetapi ketakutan saya cepat terjawab, orang-orang muda tersebut selain gemar menyerbu koran Minggu lokal mereka juga tidak lupa menyerbu para pendahulunya untuk sekedar bertanya tentang sebuah karya ataupun berdiskusi ringan seputar sastra itu sendiri. Sebut saja sejumlah wilayah-wilayah diskusi orang-orang muda tersebut, Institut Seni Indonesia (ISI), Pembacaan Puisi di UNY dan Fakultas Sastra UGM sebuah komunitas yang saat ini masih eksis di Yogyakarta, Kajian Sastra Kutub Yogyakarta di bawa naungan pesantren Hasyim Asy?arei asuhan Zainal Arifin Thaha (almarhum) dan beberapa wahana yang lain, maaf saya tidak mampu untuk menuliskan semua. Dengan lapang dada mereka menerima nasihat dan bersuka cita setiap menerima masukan dari para terdahulunya.

Memang produktivitas kadang-kadang tidak selamanya serta merta berarti positif bagi masa depan kepengarangan dan kepenulisan. Bila tidak hati-hati, kualitas karya akan sulit dipertahankan, energi kreatif yang diforsir amat beresiko dalam melahirkan karya-karya prematur, sukar dipertanggungjawabkan, baik secara estetik maupun tematik. Gejala ini semoga tidak cepat terjadi dengan orang-orang muda yang saat ini begitu bersemangat memburu koran Minggu maupun berdiskusi untuk memperkaya apresiasi karya sastra.

Dengan demikian peran media sangat vital. Jika berbicara peran media, semuanya tidak lepas dari redaktur budaya yang bertanggungjawab dalam setiap kemunculan karya-karya di koran Minggu. Adalah Kedaulatan Rakyat seperti yang saya singgung sebelumnya begitu konsisten memunculkan nama dan karya orang-orang muda tersebut (mohon maaf kepada koran-koran lokal lainnya, bukan maksud untuk mengistimewakan). Orang muda tentu ingin karyanya dibaca orang terlebih para terdahulunya, dan kalau mau dibaca tentu harus dipublikasi?koran Minggu adalah jawaban, lalu apakah salah jika karya-karya mereka begitu banyak bertebaran di Minggu lokal. Mungkin kesalahannya karena sering bahkan terlalu sering mencaplok lahan penulis ataupun pemburu lain.

Maklumlah, jumlah koran yang menyediakan ruang publikasi puisi, cerita pendek, dan esai budaya amat terbatas, sementara jumlah peminatnya makin membeludak. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah kebijakan redaksional setiap media selalu didasarkan pada mekanisme seleksi artinya redaktur sangat selektif dalam memilih karya-karya atau tulisan yang masuk di meja redaktur. Hanya karya-karya bermutu yang akan terpilih dan dipilih sebagai pengisi rubrik budaya.

Boleh-boleh saja orang-orang muda tersebut melayangkan setiap karya mereka. Soal mereka terlalu memburu dan sudah mencandu pada publikasi koran, soal produktivitas dan soal kualitas kita serahkan kepada pembaca untuk menilai. Tugas mereka hanya menghidangkan bacaan yang renyah, gampang dicerna, enak dibaca, setelah itu terserah pembaca.

Kehadiran orang-orang muda tersebut bukan sekedar jago kandang saja, sejumlah dari mereka telah berhasil melakukan ekspansi kesejumlah media lain. Sebut saja Minggu Pagi, Seputar Indoensia, Media Indonesia, Surya, Suara Karya, Suara Pembaruan dan Jawa Pos. Karya-karya mereka pun ternyata diminati oleh para redaktur budaya pada media-media tersebut.

Jika buku yang kemudian menjadi tuntutan atau barometer, maka dengan ini dapat saya pastikan mereka telah mampu menerbitkan karya dalam sejumlah buku dari beberapa penerbitan besar seperti Grasindo, Gema Insani Press, Cinta, Zikrul?Bestari, Pustaka Pelajar, CWI dan lain-lainya. Bukan hanya itu sejumlah karya mereka seperti puisi dan cerpen acap kali diterbitkan dalam antologi bersama yang dibukukan secara nasional oleh sejumlah penerbit, walau sampai dengan hari ini niat orang-orang muda itu untuk melahirkan antologi bersama dibawah label Dewan Kesenian dan penerbitan lokal belum tercapai.

Akhirnya walau sedikit terlambat, ucapan selamat datang orang-orang muda (Raudal Tanjung Banua, Faizal Kamannubat, Wahib B.S, Mahwi Air Tawar, Muhidin M. Dahlan, Anam Khairul Anam, Salman Rusdi Anwar, Ahmad Mushlis Amrin, Mukhlis Zea Aufa, Bernando J. Sujibto, Sunlie Tomas Alexander, Saiful Sae, Komang, Retno dan masih banyak yang lainnya) dalam percaturan sastra Yogyakarta layak mereka dapatkan. Sebuah pekerja rumah yang sedang menanti didepan adalah meneruskan semangat memburu publikasi bukan hanya di media lokal tapi media nasional seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Tempo bahkan majalah sastra Horison. Kita nantikan kiprah mereka di jagad sastra Indonesia.

*) Esais, Penggiat Sastra Yogyakarta. Aktif di rumah sastra Kutub Yogyakarta.

Leave a Reply

Bahasa ยป