Mengintip Kerja Kreator Film Indie

Sepuluh Film Diproduksi Selama Empat tahun

Imron Arlado
jawapos.co.id

Pembuatan film indie di negeri ini, kerap mendapat komentar pedas dari berbagai kalangan. Mulai dari pembuatan yang dianggap kurang bermodal, sampai pada tingkat keseriusan.

HANYA gara-gara ingin membahagiakan orang tuanya, Sukarti nekat menjadi seorang tenaga kerja wanita (TKW) di negeri seberang. Ia hanyalah seorang anak seorang penambang pasir yang mengigau menjadi orang kaya tanpa pikir panjang.

Keberangkatan Sukarti ke luar negeri, tentu membuat kedua orang tuanya sedih. Proses izin yang dilakukan terhadap kedua orang tuanya itu, mendapat penolakan. Sukarti memang keras kepala. Meski izin tak diberikan kepadanya, ia tetap mendesak orang tuanya. Izin pun akhirnya diberikan kepadanya.

Senang bukan kepalang. Sukarti yang tak pernah mengenyam bangku kuliah itu pun berangkat ke luar negeri. Ritual pun dilakukan. Sukarti harus merangkak di tengah selangkangan Mak Karti, ibunya.

Selang beberapa lama kemudian, keresahan tiba-tiba muncul dari Pak Karti, ayah Sukarti. Kabar dari anak tercintanya, tak pernah inggap ke kedua telinganya. ”Sudah lama sekali anakku pergi. Sampai sekarang, tidak pernah memberikan kabar ke rumah,” tukasnya.

Suatu saat, harapan itu tiba-tiba muncul. Ia mendapat kabar bahwa Sukarti bakal pulang kampung dengan menaiki sebuah kereta. Di tunggunya, ia sampai menghabiskan puluhan putung rokok di sebuah terminal.

Hasilnya? Kereta yang diharap kedatangannya itu pun muncul. Namun, bukan Sukarti yang turun, tapi hanya selembar kertas yang dibungkus rapi dalam sebuah amplop. Sebuah surat yang mengabarkan tentang kondisi Sukarti.

”Gak ada kejelasan. Apakah Sukarti meninggal atau tidak. Yang jelas, kepergian Sukarti, nasib Sukarti, masih misteri,” kata Tophantohary, sutradara film Sukarti kepada Darmo, usai bedah film indie di Jalan Ahmad Yani, Mojolegi, Mojoagung, Jombang, Sabtu (12/12) malam.

Daripada hujan emas di negeri orang, lebih baik hujan batu di negeri sendiri. Itulah kalimat indah yang mengkritik pemerintah tentang nasib TKI yang tak pernah mendapat respons khusus dari pemerintah.

”Kalau memang pemerintah serius menangani TKI, hendaknya, pemerintah memberikan jaminan khusus kepada mereka,” tutur mahasiswa semester 5 di Unisda, Lamongan ini. Film berdurasi 15.57 detik tersebut merupakan karya teranyarnya pria kelahiran Majalengka, Jawa Barat, 23 silam itu.

Jika ditotal, Thopan telah menggarap sembilan film indie. Yakni Kacamata, Kado Buat Emak, Jombang EXYZ, SMS, Si Tompel, Namaku Selebriti, Omah Debog, dan Remaja Membara. ”Rata-rata Jombang sebagai lokasi syutingnya,” ungkapnya. Film-film itu ia buat sejak empat tahun silam. Dananya? ”Kita selalu swadaya. Tak ada bantuan dari siapa pun,” ujarnya.

Thopantohari, merupakan satu dari beberapa sutradara film indie yang diputar malam itu. Mereka adalah Amalia Choirun Nafiah, Yurif, QY. Indraswari, dan Mustakim.

Kritik pedas muncul dari tiga kritikus sastra dan film Jombang yang hadir pada malam itu. Mereka adalah Bambang Irawan, Robin Al-Kautsar, dan Fahrudin Nasrullah. Bambang Irawan misalnya. Ia mengkritik bahwa selama ini film Indie hanya bingung dan berkutat pada keapikan gambar. Kualitas visualisasi masih kerap kurang. ”Parahnya, masih banyak film Indie yang kurang memperhatikan kualitas misi, dan jalan cerita yang ada dalam film tersebut,” tukasnya.

Tak jauh beda, Robin Al-Kautsar dan Fahrudin Nasrullah. Keduanya juga sepakat jika film indie adalah kreativitas karya anak muda di negeri ini dan harus didukung oleh semua pihak.

Selain melakukan diskusi dan bedah film Indie, puluhan peserta yang berasal dari Majavanjava Cinema dan Komunitas Lembah Pring tersebut juga diajak nonton bareng empat film Indie karya anak negeri. (yr)

Leave a Reply

Bahasa ยป