Mo Yan dan ‘Posmodernisme Kampung’

Hikmat Darmawan
ruangbaca.com

Karya-karyanya bermula dari rasa lapar. Canggih, sekaligus kampungan.
Kau harus mencicipi kepahitan hidup. Baru setelah itulah kau bisa menulis.
(Mo Yan, wawancara)

Kenzaburo Oe, pemenang Nobel Sastra 1994, haqul yakin bahwa Mo Yan adalah pengarang Cina yang pantas memenangi Nobel Sastra. Apakah Mo Yan lebih pantas daripada Gao Xinjian, pemenang Nobel Sastra 2000? The Economist (2001) setidaknya meragukan apakah Gao cukup mewakili perkembangan mutakhir sastra Cina.

Majalah Time (2005) malah meragukan apakah Mo Yan bakal mendapat Nobel, bukan karena ia tak layak, tapi karena ia adalah salah satu sastrawan Cina kontemporer paling sukses di dalam maupun luar negeri, sementara (menurut Time), para juri Nobel kan cenderung alergi pada pengarang sukses. Mo Yan, sebuah nama pena yang berarti Jangan Bicara, memang laris manis buku-bukunya.

Sukses pertamanya adalah Red Shorgum (1987, terjemahan Inggris). Novel historis ini difilmkan oleh Zang Yimou pada 1986 dan melejitkan pamor sang sutradara serta bintangnya, Gong Li, di aras internasional (Barat). Pada 1996, jajak pendapat di Cina menunjukkan bahwa novel ini adalah novel paling disukai masyarakat Cina masa kini.

Novel berikutnya, The Garlic Ballads, dilarang di Cina tapi sukses di Barat. Sukses besar selanjutnya dari segi pasar dan, lebih-lebih, dari segi estetik, dicapai Mo Yan lewat novel berikutnya: Republic of Wine (2001, terjemahan Inggris). Lewat novel inilah Mo Yan mendapat reputasi sebagai seorang magic realist Cina paling kuat, dan salah seorang sastrawan Cina kontemporer paling ulung.

Dengan piawai dan dalam sebuah struktur cerita yang indah, Mo Yan mempermainkan fakta dan fiksi dalam satire yang menggigit. Bercerita tentang Ding Gouer yang menyelidiki praktik kanibalisme di sebuah distrik, dan tenggelam dalam alam mabuk yang membaurkan kenyataan. Jebulnya, petualangan Ding ini adalah bab-bab novel terbaru Mo Yan, berjudul Republic of Wine.

Sesungguhnya, novel ini adalah pembedahan tajam atas budaya korupsi. Mo Yan mengemas pembedahan ini lewat sebuah horor: tradisi kuliner daging bayi manusia, yang hanya dinikmati oleh elite penguasa atau pengusaha. Seolah mempermainkan adagium Feurbach, Kau adalah apa yang kaumakan, Mo Yan membuat kita berpikir: orang macam apakah yang gemar makan bayi? Monster?

Tak hanya itu, rupanya. Para kanibal dalam novel ini digambarkan berkuasa tanpa batas, birokrat dan elite politiknya munafik. Namun ambisi terbesar Mo Yan tampak dalam novel terakhirnya, Big Breasts and Wide Hip. Kau boleh melewatkan novel-novelku yang lain, tapi jangan yang ini, kata Mo Yan seperti dikutip Time. Novel ini merangkum nyaris seluruh sejarah Cina modern dalam kisah seorang perempuan Cina jelata.

Sejak masa akhir Dinasi Qing, hingga era pasca-Mao, tujuh periode Cina Modern diwujudkan dalam tujuh bab cerita novel ini. Mo Yan juga menakik sukses dalam format cerita pendek. Delapan dari 70-an cerita pendeknya dipilih dan diterjemahkan ke bahasa Inggris serta dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Shifu, You’ll Do Anything For Laugh. Kumpulan cerpen ini menampakkan bahwa Mo Yan adalah juga kampiun cerpen Cina kontemporer.

Segala kiprah kepenulisannya ini dianggap sebagian kritikus sastra telah mengubah arah prosa Cina kontemporer. Pendapat ini tentu bertabrakan dengan para juri Nobel yang menganggap justru Gao yang telah mengubah arah sastra kontemporer Cina. Klaim-klaim seperti ini barangkali tak penting benar, lebih menarik, barangkali, menilik seberapa bedakah karya-karya Mo Yan dari karya-karya Gao.

Solilokui Bocah Kelaparan

Gao ditabal sebagai seorang eksperimentalis. Kiprahnya di dunia teater maupun prosa cenderung pada absurdisme dan surealisme. Sedang Mo Yan lebih gemar pada karya-karya fantasi, imajinatif, dan gemar mengolah bahan-bahan dari tradisi sastra picisan (populer) Cina. Gaya bahasa Gao cenderung luhung, gaya bahasa Mo Yan cenderung menggebrak dan berlebihan. Ulasan sastra sesudah trend Pengarang Sudah Mati biasa menampik kaitan karya dengan riwayat hidup sang penulis.

Sementara fakta perbedaan latar riwayat Gao dan Mo Yan menggoda kita untuk bertanya, apakah riwayat hidup mereka yang membuat ciri-ciri karya Gao dan Mo Yan berbeda? Gao lahir dari keluarga kelas menengah yang makmur di Cina. Ayahnya adalah pejabat bank, ibunya seorang pemain teater amatir. Latar ibunya membentuk minat besar Gao pada teater dan dunia tulis- menulis.

Tentu saja, Gao pun mengalami masa sulit. Masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976) dan era Maoisme tentu menyulitkan Gao, yang mengakrabi problematika seni/budaya Barat dalam karyakaryanya. Setelah serangkaian pencekalan dan pelarangan, pada 1987 ia membelot dan menjadi warga negara Prancis meneruskan impian- impian seni modernnya yang serba eksperimental dan absurd.

Mo Yan, yang terlahir pada 1955 dengan nama Guan Moye, besar dalam kemiskinan yang mencekam. Tanah kelahirannya adalah Shandong, yang dilanda wabah kelaparan akut semasa periode 1960-an. Kami makan daun-daun yang kami comot dari pohon. Jika daun-daun telah habis, kami makan dahan. Setelah itu, kami incar batang pohonnya sekalian. Tak ada pohon yang lebih menderita daripada pohon-pohon di kampung kami.

Pada musim semi 1961, datang kiriman bantuan batu bara ke sekolah Mo Yan kecil. Karena tak mengerti benda apa itu para bocah dan penduduk lantas menggigit batu-batu bara itu. Lapar memang bumbu: ternyata, seingat Mo Yan, rasa batu bara cukup enak. Bahkan ketika tiba pejabat yang mengerti bahwa yang dimakan secara berebut oleh para penduduk itu adalah bahan bakar, sang pejabat malah diusir.

Tentu saja, pengalaman kelaparan tak dapat dengan sendirinya membuat seseorang menjadi penulis, tulis Mo Yan dalam pengantarnya untuk Shifu, You’ll Do Anything for a Laugh, namun begitu aku menjadi penulis, aku punya pemahaman lebih dalam akan hidup tersebab pengalaman kelaparan itu. Ungkapan yang seakan bual atau omong besar ini memang jadi ciri naratif Mo Yan. Dengan kata lain, ini bukan kesombongan, tapi sejenis kebawelan.

Seperti cerita Mo Yan sendiri, dalam kemiskinannya, Mo Yan harus keluar sekolah dan membantu orang tua menyawah. Dalam kesunyian sawah, ia mencoba bicara dengan kerbau, awan, aneka burung di langit biru. Tak ada yang menjawab. Akhirnya ia bicara pada diri sendiri. Kian lama, kian terlatih ia bicara sendiri. Sampai-sampai ia tumbuh jadi bocah bawel yang selalu meresahkan ibunya.

Nak, kata ibunya, apakah kamu tak bisa diam? Setelah besar, ia memilih nama pena Jangan Bicara, Mo Yan. Tapi Mo Yan tak lahir begitu saja. Ketika pertengahan 1960-an wabah kelaparan itu mereda, Revolusi Kebudayaan pun tiba. Salah satu dampak di kampung Mo Yan adalah kedatangan seorang penulis dari kota, yang berlatar budaya tinggi, yang dikirim pemerintah revolusioner Mao ke kampung Mo Yan untuk dididikulang menjadi petani.

Penulis itu langsung cocok dengan Mo Yan, dan mengembangkan hobi menggambarkan makanan-makanan enak lewat lukisan kata. Sampai suatu ketika si penulis kota bercerita tentang temannya, penulis juga, yang setelah kaya lantas selalu makan somay babi nan lezat tiga kali sehari setiaphari. Mo Yan dan penduduk kampungnya tak percaya, mosok ada orang begitu kayanya sampai bisa makan siomay babi tiga kali sehari setiap hari?

Lho, dia itu penulis. Mengerti? Penulis! Sejak itu, jelas sudah cita-cita Mo Yan kecil: ia akan jadi penulis. Kehidupan apa yang lebih baik selain bisa makan siomay babi nan lezat tiga kali sehari setiap hari?

Realisme Magis mengawini Wu Xia

Apakah kisah Mo Yan di atas makan pohon, makan batu bara, jadi penulis gara-gara siomay terasa berlebihan? Tapi, itulah gaya Mo Yan! Ia sendiri, dalam sebuah wawancara di situs China.org.cn, mengakui bahwa ada tiga elemen yang sering hadir dalam karyakaryanya: karakter-karakter luarbiasa, bahasa dengan gaya lokal yang absurd, dan plot-plot bermakna simbolik.

Dengan kata lain, cerita-cerita dengan gaya-gaya yang berlebih, melambung setinggi kenakalan imajinasi melenting bak pendekar ber-gin kang. Gin kang (ilmu peringan tubuh, meloncat seperti terbang) terasa benar dalam gaya bahasa Mo Yan. Diksinya (paling tidak, yang tertangkap dari terjemahan sang penerjemah setianya, Howard Goldblatt, yang banyak dipuji kritikus itu) melambung ringan.

Misalnya, acak saja: Aroma arak meruap dari Negeri Arak, dapat tercium dari jarak seratus li dari arah mana pun, dan bahkan orangorang yang berpenciuman tumpul akan mampu membauinya pada jarak lima puluh li. (Republic of Wine). Adegan-adegan pun meloncat ringan: adegan pipis di olahan anggur dalam Red Shorgum mengejutkan banyak orang (di dunia nyata).

Eh, enak saja tokoh fiktif Li Yidou berkomentar positif dengan dasar saintifik tentang adegan itu kepada Mo Yan dalam sebuah adegan di Republic of Wine. Tidakkah gaya ini mengingatkan pada modus bercerita wu xia, atau cersil (cerita silat)? Ada bagian yang khusus dalam Republic of Wine yang membahas pengaruh cersil pada sastra Cina klasik dan modern, dan pada Mo Yan sendiri.

Gaya wu xia ini dikawinkan dengan pengaru sastra Barat/dunia yang disukai Mo Yan, khususnya aliran realisme magis. Maka, begitulah: realisme magis, gaya Cina! Sungguh beda dengan Gao. Gaya bahasa Gao cenderung luhung dan murung. Persoalan-persoalan yang menjadi obsesi estetis karyakarya Gao sungguh Eropa -dalam arti, lebih hendak menjawab problematika seni Eropa (Cina hanya sebagai altar pinjaman bagi dialog itu) ketimbang berkubang dalam soal-soal di jantung masyarakat Cina itu sendiri.

Gaya Mo Yan, lepas dari segala rancangan struktur kisahannya yang posmodernis itu, nyatanya pas benar dengan selera masyarakat Cina: karya- karyanya laris. (Hal serupa terjadi pada Orhan Pamuk, sastrawan garda depan Turki yang menikmati sukses komersial lewat My Name Is Red, Snow, dan sebagainya.) Sebuah posmodernisme yang merakyat, yang berangkat dari latar kampung yang nyata bukankah itu sebuah kemungkinan menarik?

Hanya, mungkin benar juga sinisme Time: justru karena merakyat itulah, Mo Yan tak mendapat Nobel; dan Gao mendapat. Gao telah diterjemah ke bahasa Indonesia, dan Mo Yan tak. Apakah diam-diam kita masih terintimidasi oleh yang luhung?

***

Leave a Reply

Bahasa »