Penyair Lampung dan Kritikus Sastra

Anton Kurniawan *
Lampung Post, 22 Juli 2007

“Lampung kini dikenal sebagai daerah produsen penyair, hal ini disebabkan banyaknya penyair yang lahir di daerah ini beberapa tahun belakangan. Saya mencatat lebih dari 20 penyair. Dalam puisi Lampung kontemporer yang umumnya berbentuk prosa, akulirik tidak lagi mengacu pada penulis cerita, tapi mengacu kepada cerita itu sendiri. Dan yang lebih berat lagi bagaimana bertahan dalam ketegangan antara prosa dan puisi yang memakai bayang-bayang cerita”.

Pernyataan ini disampaikan “Begawan Sastra Lampung” (saya menyebutnya demikian) Iswadi Pratama, Jumat (13-7), di Unila, yakni pada sesi dialog usai pembacaan puisi oleh Isbedy Stiawan Z.S., Edi Samudera Kertagama, Syaiful Irba Tanpaka, Inggit Putria Marga, dan Lupita Lukman dalam acara Panggung Penyair Lampung yang bertajuk Puisi Lampung Kontemporer, Mau ke mana? Menurut Iswadi, puisi-puisi penyair Lampung yang lahir pada generasi mutakhir berbeda dibanding dengan puisi-puisi dari generasi sebelumnya serta memiliki keragaman baik dari gaya maupun tema.

Merenungkan ungkapan Sang Begawan Sastra tersebut, saya teringat sebuah acara yang digelar Harian Umum Lampung Post yang konon diberi judul Temu Penyair Lampung. Dalam acara yang dihadiri Jamal D. Rahman, Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, Edi Efendi, Ari Pahala Hutabarat, dan beberapa penyair Lampung lain, seniman yang juga Pemimpin Redaksi Harian Media Indonesia, Djadjat Sudradjat mengatakan, “Tak ada lagi yang bisa dibanggakan provinsi ini yang tingkat kehidupan sosial masyarakatnya tidak menentu dan tingkat kriminalnya sangat tinggi. Beruntung daerah ini masih memiliki penyair dan seniman-seniman yang terus melahirkan karya”.

Kenyataan ini patut membuat kita bangga karena dengan banyaknya sastrawan (penyair) dan banyaknya karya yang mereka lahirkan membuat kondisi kesusastraan di tanah ini dapat terjaga. Meminjam istilah George Lukas dalam hubungan sebab akibat, sebuah karya sastra dapat berperan sebagai refleksi atau pantulan kembali dari situasi masyarakatnya, baik dengan menjadi semacam salinan atau kopi suatu struktur masyarakat maupun menjadi tiruan atau mimesis masyarakatnya.

Sayang, kelahiran para penyair dan sastrawan tersebut tidak dibarengi lahirnya para pengamat sastra yang mampu memberikan kritik dan saran secara terbuka terhadap setiap karya yang dilahirkan. Kalaupun ada kritik dan saran, itu dari mereka yang juga berproses melahirkan karya, sehingga sangat sulit memberikan kritik yang sesungguhnya yang pada akhirnya setiap karya sastra yang menetas hanya disambut puji-pujian. Akibatnya, karya-karya yang lahir tak dapat diketahui secara jelas kualitasnya; baik atau buruk.

Selain itu yang lebih penting lagi, perkembangan sastra sebenarnya tak dapat dipisahkan dari “persaingan” sastrawan yang melahirkan karya dengan para kritikus sastra, meskipun menurut Ignas Kleden dalam pengantar bukunya Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan, terkadang penulis kreatif merasa keberatan karena kajian analitis tentang sebuah karya telah mengubah sebuah karya yang hidup menjadi mayat yang dipotong-potong untuk memahami anatomi dan fisiologi karya tersebut.

Dalam hal ini para sastrawan kreatif merasa para kritikus sastra hanya berusaha memahami hubungan-hubungan fisik, tapi kebutuhan dalam tubuh itu telah lepas dari suatu keseluruhan yang telah dibongkar-bongkar karena itu tidak tertangkap lagi dalam pengamatan.

Namun, hal tersebut bukanlah masalah jika seorang kritikus mampu meluangkan waktu untuk memebaca buku tersebut secara keseluruhan, lalu dengan ikhlas membiarkan dirinya dipengaruhi dan diresapi buku tersebut (Goethe, 1749–1832).

Pentingnya peran kritikus sastra untuk memberi penilaian dalam proses lahirnya sebuah karya yang baik tak dapat kita sangkal, hal ini disebabkan penulis kreatif memiliki keterbatasan (baca tidak mampu) bersikap adil untuk mengkritik karya rekannya sesama penulis kreatif.

Friedrich Schlegel pernah menulis, “Siapa gerangan yang lebih gagap untuk menilai sebuah puisi daripada seorang penyair?”. Alasannya setiap penyair menghayati suatu konsep kesenian dan dengan demikian tercekam gagasan sendiri, sehingga sering tidak sangggup berlaku adil terhadap penyair lain.

Terkait kritik terhadap sebuah karya sastra, Gotthold Epraim Lessing mengatakan seorang pengarang yang karyanya dibicarakan lebih baik mendapat celaan yang pantas daripada pujian yang tidak layak diberikan padanya, apalagi jika orang yang memberi pujian tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan selain puji-pujian. Menurut perintis kritik sastra Jerman ini, kritik terhadap sebuah karya harus berani menguraikan dan menganalisis karena yang umum hanya terdapat dalam yang khusus dan hanya dapat divisualisasikan dalam yang partikular.

Sementara itu, S. Sinansari Ecip dalam esainya “Perlukah Kritik Atas Karya Sastra” mengatakan para spesialis kritik menghasilkan karya kritik sastra. Mereka mengenal teori-teori sastra, lalu dengan perantinya tersebut kritikus mengupas karya sastra agar karya sastra tersebut tersaji di piring dan siap dihidangkan bak buah mangga yang siap ditusuk garpu.

Peran ini, bahwa kritikus sastra merupakan opinion leader haruslah dipahami benar semua pihak, utamanya oleh kritikus sendiri.

Jadi jelas peran kritikus sastra sebenarnya sangat penting seiring lahir dan tumbuh kembangnya sastra itu sendiri, sehingga sebuah karya sastra yang disajikan kepada masyarakat benar-benar bermanfaat bagi masyarakat pembacanya, meskipun sebenarnya karya sastra yang baik akan tersaji dengan baik tanpa diantarkan kritik.

Pertanyaannya, dalam kondisi seperti ini apakah kritik masih diperlukan? Kritik tetap diperlukan untuk kajian yang lebih dalam untuk pemahaman bagi orang awam dan untuk krtitikus senidiri. Selain itu, pengkajian tentang sebuah karya sastra tidaklah dilarang bahkan dianjurkan kalau tidak boleh disebut diharuskan oleh disiplin keilmuan, tapi harus menggunakan metodologi yang tepat dan penghayatan yang kreatif.

Mengaca pada kenyataan betapa penting peran kritikus sastra dalam perkembangan kesusastraan, mengapa hingga hari ini Lampung tidak memiliki seorang yang benar-benar memosisikan diri sebagai kritikus sastra?

Lalu pasal apa yang membuat kita seperti tak mampu melahirkan seorang kritikus sastra, padahal provinsi ini memiliki Universitas Lampung dan sekolah tinggi lain yang memiliki jurusan bahasa dan seni yang setiap tahun mewisuda puluhan sarjana. Apakah dari sekian banyak akademisi (dosen) bahasa dan sastra yang secara intens bergelut dengan sastra dan telah pula “memahaminya” secara teoretis, tak berani (atau barangkali tidak mampu) mengikhlaskan diri mendapat predikat sebagai kritikus sastra. Mengapa?

Ataukah media massa, khususnya media lokal, enggan menginformasikan kepada masyarakat pembaca tentang sebuah karya sastra yang mendapat kritikan. Atau mungkin para penulis kreatif yang merasa sudah berusaha keras melahirkan karya memang tak ingin (kalau boleh dikatakan tak bisa) mendapat kritikan.

Jika benar, mungkin kita harus banyak membaca karena kita belum termasuk masyarakat modern. Sebab, menurut filsuf pendidikan Paulo Freire, proses menjadi manusia modern harus melalui tiga tahap: Pertama kesadaran magis yang ditandai dengam sikap fatalisme yang menuntun orang menyerah pada keadaan; Kedua, kesadaran naif yang ditandai dengan menyederhanakan masalah secara berlebihan, meremehkan orang lain, lemah argumentasi, suka menonjolkan polemik; Ketiga kesadaran kritis, pada tahap ini manusia mampu mengkritik realitasnya sendiri dan berpraksis terhadapnya. Lalu, di mana posisi kita kini?
***

*) Anton Kurniawan, pencinta sastra. Bergiat di Sanggar Komunitas Akasia SMA Negeri 1 Abung Semuli, Lampung Utara.

Leave a Reply

Bahasa ยป