http://www.korantempo.com/
TUNAWICARA
bila sekadar decak-kecap
tiada lagi sanggup
ditanggung langit-langit lidah
heninglah
genap kilap kilat
dan getar guruh
dilontarkan selisih awan
kilau batang-batang air
sempurna tertuang
disesap bibir tanah
saksikan lengan
yang menunggu setia, terulur
menyisip dari gelap celah
membentangkan daun pertama
bisulah
(2009)
SEPATU LAMA
mereka melindungi kakiku dari dekil, beling, tahi ayam
atau lain gangguan, ketika cahaya bulan berpendaran
dari daratan, tampak semacam kilau cawan: keemasan
penghujung minggu gegas berkemas, hari-hari seranum hijau pipi anggur
gemas–menetas di pojok bibir, manis: tanpa rasa was-was
helai-helai tanggalan, runtuh
tanpa butuh lingkaran merah
(yang melulu cemas)
tanda awas pada yang siap menyergap
bersembunyi, menanti mahluk
di puncak mabuk:
absen pada riak rupa sendiri
ia ingin istirah, alasnya terkelupas
wajahnya pecah
kini ia menjadi kediaman baru sekawanan serangga
(aku tak tahu mereka harus diberi nama apa)
salah satunya, spesies laba-laba yang mengulur
memintal sutra dari dubur, di setengah rongga mulutnya
demi memerangkap mangsa
yang bernaluri menemukan rumah
dalam dirinya
diam-diam warnanya lebur
terkubur di bawah selangkang lemari tua
yang mengandung dan merawat kenangan
begitu tekun
(tabiatnya mirip sutra sang laba-laba:
yang memandang tertegun
terpintal sarang waktu
yang menyelimuti wajah pikun si lemari)
persis kerak debu di dasarnya, membenamkan apapun
tanpa ampun
nyaris muskil tersentuh jari-jari matahari
(mungkin karena salah posisi)
kota sentosa bagi mahluk tak berbiji mata
atau bermata
tetapi buta
(atau melihat juga,
tetapi sejenis yang hanya suka pada goyang bayang
yang dihasilkan berkas sinar yang amat samar)
(2009)
Arya Winanda lahir di Kotabumi, Lampung Utara, 14 Juli 1980. Berkesenian di Komunitas Berkat Yakin dan bekerja sebagai desainer grafis di Bandar Lampung.