Cakra
tibatiba aku yang tenggelam di mata sedihku tertawa
dengan nafas masih detak
urat nadi belum putus
kupahami kehidupan mempunyai jalan hidupnya sendiri
biar saat itu mata dibenturkan dengan beriburibu kedukaan
yang bahkan hutan-hutan api melingkar, berkobar
dengan lidah api siap membakar setiap jengkal langkah
tak kuijinkan ketakutan memuja nasib
sebab saat kutanya
nasib itu sendiri pecah tak tahu masa depannya
dan jikalau kini aku dibekap sunyi
kan kukepakkan bulu-bulu sayap
yang aku sulam dari bulu mata kekasih
hingga langit dan malaikat terus bertasbih
memohon pada Khalikul alam
menyematkan mahkota dari untaian doa-doa sulaiman
menjadikan kecantikan balqis telimpuh
di altar Cinta
nasib adalah esok
2009
Perburuan di Nyala Lilin
Aku bukan matahari yang melaut cahaya
Kalau inginku mengurai rasa
Padamu. Segala
Degup jantung ini
Ah, engkau kekasih
Tingkapan mata
berebut kecup
berebut tawa
juga pendar lilin yang diam-diam seringai
Tidakkah kau dengar?
Di surga lonceng berdentang dengan
airmata mengurai beriburibu lalu
waktuwaktu mengambil, memendekkan
seberapa sayapsayap bisa berkepak
di rentang jarak
masamasa
21 Juni 2010
Golak
puncak laku itu diawali dari
panas bumi yang menyembur
di ranah kemaluan dan
kesejatian alam manusia
yang terletak di pusar
adalah tiga hitungan telapak tangan
dari pusar sampai kepala—segala
tiada ke ada kembali ke tiada
rahayu apa kemalangan?
20 Juni 2010
Bila Aku Bercerita Tentang Sosok Ayah
pernah aku berfikir kenapa
di matanya matahari merurut peluh
juga asa yang berkhalwat
—di rahim ibu
lalu satu satu uban di rambutnya bercerita
tentang lelaki yang merelakan dirinya menjadi kuda-kudaan
dan senyumnya itu tangan serupa midas
mengubah tangismu dengan bersandar doa
—sepenuh mestika
18 Juni 2010