Puisi-Puisi Muhammad Alif Mahmudi

Tanyaku

Apa ini?
Setelah kudengar sorakan jargon-jargon keadilan,
Masih saja aku melihat bayi-bayi kucing yang dipelihara pengemis yang di tinggal pergi tuannya

Apa ini?
Setelah sering kulihat poster-poster bertuliskan kepedulian,
masih saja kudapati para cacat yang menjual rokok di tepi jalan

Apa ini?
Disaat kata-kata kesantunan masih terngiang di telingaku,
masih saja kudapati nenek-nenek renta memanggul karung kotor berisikan sampah plastik

Apa ini?
Apa hatimu telah mati oleh perasaan dalam otakmu?
Ataukah hatiku yang telah tertinggal atas kematian mereka?

Malioboro, 01/02/2010

Jeritan Alam

Ribuan batu kerikil merintih kesakitan,
Sebab ditimpa jutaan, miliyaran, bahkan triliun triliun triliun tetesan air dari atas tebing
Menyibak duka-duka pendaki yang kakinya telah lecet oleh duri-duri kemesraan,
Mengayun bersama kepakan bulu-bulu penyebar berita.
bersama singa, kadal, curut, kecoa, dan nyamuk, dan kutu-kutu kecil yang ikut menjerit
Kala tahu pinus-pinus itu akan segera tertulis dalam buku-buku sya?ir murahan.
Jiwaku menari bersama tetesan getah pinus yang membanjiri batok-batok manusia
Kabut yang datang dengan membawa ketakutan, perlahan menghantam hutan-hutan dalam bola mataku.
Binatang malam melantunkan musik-musiknya dengan semarak, dan telah membalikan bumiku menjadi hamparan surga yang dulu pernah dijantungku
Gunung-gunung membanjiri kepalaku dan mengguncangnya hingga porak-poranda, tenggelam bersama tarian gelap malam yang telah murka, duka atas daun-daun yang sempat hidup di atas batok-batok yang berserakan

Apakah itu lestari?
Apakah itu harga diri?
Apakah itu kasih sayang?
Apakah itu pengabdian?

Coban Manten, 27/01/2010

Genting Bocor

Ketika malam menyumbu,
Dapat kulihat bintang-bintang bersinar bagai mutiara yang berserakan, beterbangan, berhamburan, dari sela-sela genting yang bocor

Cangkul tergantung di atas dinding bambu meneteskan butir demi butir mutiara yang mengalir dari sela-sela genting yang bocor

Ribuan do?a, Dihantamkan, Dilontarkan, Ditembakkan
Melalui sela-sela genting yang bocor

Adatku,
Adat genting bocor
Budayaku,
Budaya genting bocor
Peradabanku,
Peradaban genting bocor,
yang jatuh, terpecah belah bersama alunan musik jeritan saudara-saudaraku

Taukah kamu bahwa gentingmu bocor oleh rudal-rudal yang kau semayamkan sendiri dalam kening anakmu

Jelaskan padaku, tentang bau busuk yang kau ledakkan dalam kepala dan dada saudaramu sendiri, hingga jerit yang tertinggal bersama petir-petir yang menyambar melalui sela-sela genting yang bocor

Babat, 21/01/2010

Sepanjang Jalan Malioboro

Dimana kau tusukkan sajak-sajakku
Berkorban demi kelahiran masa lalu
Jabang bayi bapak tua yang menangis
Demi butiran-butiran nyawa anaknya
Disela-sela tarian burung-burung yang bosan dengan gemuruh petir
Sepanjang jalan Malioboro

Pencakar langit mendongak dengan sombong
Bersama putaran roda-roda kematian
Menghujani aspal-aspal kehidupan pengayuh becak

Langit memandangku sinis
Sambil membuka lebar-lebar mulutnya yang penuh darah kecongkakan manusia
Mencengkram cakrawala penghidupan
Sebab amarah asap-asap yang keluar dari liang-liang penghancuran
Di sepanjang jalan Malioboro

Aku dongakkan kepalaku
Memohon kelak hendak tidak membungkam mulut-mulut anjing beradab
Yang telah terperangkap dalam roda malaikat

Kulihat rombongan burung kecil yang berputar di langit
Sambil berdo?a memohon kehancuran kota
Dan mereka terjatuh satu-persatu dalam letusan ayam merah
Yang telah menggusur surau-surau kecil dalam anganku

Di depan singgasana sana
Berjalan sebuah gerobak kuning yang memandangku dengan gembira
Walau kutahu, sebenarnya punggungnya menangis
Ditikam tuntutan darah daging
Sehingga dapat kulihat darah menetes dari liang matanya
Menyemburkan percik api permohonan

Saat gelap semakin kelap
Keterangan pun tak kunjung kudapat
Hanya seekor kunang-kunang yang telah menggerogoti bumi tuhanku
Demi bokongnya yang menyala

Ribuan pertanyaan menghampiri
Bak hujan anak panah pada perang Sparta
Menusuk jubah kebesaran Raja, menembus sutra kekuasaan
Sepanjang jalan Malioboro

Malioboro, 08/12/2009

Tertawa

Bolehkah aku tertawa?
Sebab melihat kehidupan telah menjadi benar-benar drama, meskipun dari dulu memang drama.

Mengapa aku tidak kau perbolehkan tertawa?
Padahal melihat wajahmu pun aku menahan tawa hingga perutku kaku
Belum lagi melihat pekerjaanmu

Dimana seharusnya aku tidak tertawa?
Ketika kini di gedung, rumah, rumah, jalan, bahkan tong sampah dapat dilihat banyak lawak-lawak menggelitik

Saat dia jatuh kutertawa, saat aku jatuh mereka tertawa, saat mereka jatuh dia tertawa, saat mereka menangis aku tertawa, saat dia telah mati mereka tertawa, saat aku terjatuh mereka tertawa.
Sebenarnya aku ingin merubah nama dunia menjadi ?tertawa?
Tapi aku takut nanti kau, dia, dan mereka akan tertawa.

Sorowajan 18/02/2010

*) dari buku Antologi Puisi ?Mazhab Kutub? terbitan PUstaka puJAngga 2010.

Leave a Reply

Bahasa ยป