Tunas-Tunas
-santrihamasy
karena perihmu masih membelit akar pohonan
kubiarkan tanah ini menyerap lukanya
di langit mungkin matahari selalu muncul dari rasa gelisah,
takut dan kecemasan yang tak pernah selesai
sementara batu-batu itu masih menyimpan
gemuruh laut, tempatmu berjanji menautkan keinginan
pada lempengan waktu yang mengombak
dalam doaku
mesti kita kejar bintang itu
dan membiarkan cahayanya memintal sendiri
di dalam kegelapan yang menyayat sejarah air mata
atau biarkan saja kita tenggelam
sambil terus meneriakkan mimpi
untuk meredakan gelombang
dari sebuah jeruji malam yang begitu panjang
2006-2008
Menyentuh Langit Cintamu
seberapa tajam cadas yang hendak merobekku
saat Kau memberi ruang tunggu begitu lama
di sini, waktu menjadi jurang
tempat menampung segala gundah
berpintalan sebelum akhirnya pecah dalam darah
aku ingin pulang
pada asap yang mengalir dari rindu-Mu
membiarkan angin mengusung mautku
yang akan kembali menyala saat langit cinta-Mu berhasil kusentuh
dengan jemari air mata
mungkin juga guntur akan segera tumbuh
pada lipatan doa yang membias dari ketinggian harapku
namun siapa yang berani mengganti
kerinduanku pada serak nafas-Mu
yang kau kirim jauh sebelum aku lahir
dari garba ibu?
kunyalakan lilin pada sela-sela tulang rusukku
membiarkan seluruh darah daging mendidih
mematangkan rindu cinta dan air mata
lewat doa yang bergelantungan di ranting-ranting
malam panjangku
sujudku barangkali hanya sebatas diam
menampung keluh kesah yang Kau kirim
dalam selembar rindu yang mabuk oleh jumpa paling jeram
2007-2009
Jembatan Kecemasan
Di dadaku, jurang menepis hadir-Mu yang laut
Sebab aku lahir dari sedih yang baka
Maka tak ada kerinduan paling batu
Selain menjumpai-Mu dalam seluruh air mata
Hadirlah sesekali lewat senja
Yang selalu mengubur terik lukaku
Di perigi kenangan yang hampir rapuh
Aku masih memiliki kesempatan bertukar raga
Bawalah padaku sajak-sajak yang Kau penggal
Dengan geram gelombang
Biarkan darahnya menjelma kata
Sebelum jatuh basahnya di lambung cuaca
Meski jarak dariku kepada-Mu
Membilang renggang
Namun masih ada lukisan telanjang-Mu di mataku
Yang siap menggiring hadir-Mu
Kepadaku, utuh tanpa seutas penghalang
2008
Garba Usia
ia menyergapku dari udara
tepat ketika hujan menurunkan lendirnya
keceruk bata
dan aku, terlanjur berjanji untuk setia
pada langit lentur di rahim ibu
yang purba
sependar cahaya masih berkembang
melajukan getah getirku kegigir ruang
akupun terlupa, kapan kita bisa kembali mengulang
erang panjang
diranjang kerang
tubuhku meski masih sekokoh akasia
menanti-Mu membawa sarang-sarang usia
kita bertelur
sesudah bertegur
lalu melebur
sebelum sulur
memapah umur
ke sumur kubur
2006-2008
Percakapan
Pada malam Jum’at Kliwon yang sepi
Aku didatangi Malaikat yang penuh nyali
Ia mengajakku, menjumpai orang tua yang sudah lama sekali pergi
Dan sepertinya aku kenal orang tua itu
Jauh di masa-masa yang silam
“Kuantar manusia dekil ini menghadapmu,” kata Malaikat tanpa ragu
“Untuk apa kau bersusah payah melakukan itu?” tanya orang tua itu tak kalah ragu
“Agar kau ajari dia menulis puisi.”
“Mengapa harus diajari menulis puisi?”
“Supaya dia tahu diri.”
“Apakah dia tidak tahu diri?”
“Sangat tidak tahu diri.”
“Dari mana kau tahu?”
“Karena dia tidak bisa menulis puisi.”
“Apakah setiap orang yang bisa menulis puisi sudah pasti tahu diri?”
“Bisa ya, tetapi juga bisa tidak.”
“Kau lebih cenderung kemana, Malaikat, diantara dua kemungkinan itu?”
“Cenderung ke ya.”
“Artinya, setiap yang bisa menulis puisi sudah pasti ia manusia yang tahu diri?”
Malaikat itu mengangguk. Dan tiap-tiap anggukan kepalanya menyebabkan bumi bergoyang, angin-angin bertiup kencang.
“Kalau aku cenderung ke tidak, apa reaksimu Malaikat?”
“Terpaksa.”
“Terpaksa apa?”
“Terpaksa aku akan membawamu serta.”
“Kemana?”
“Ke sebuah tempat.”
“Sebuah tempat. Tempat apakah?”
“Tempat yang didiami oleh orang-orang yang selalu gagal menulis puisi.”
“Kenapa harus selalu gagal?”
“Karena kalau tidak selalu gagal, mereka tidak akan tahu cara terbaik untuk belajar.”
“Dimanakah tempat itu berada, Malaikat?”
“Diamlah! Kita sudah sampai dan ada di dalam tempat yang kumaksud itu.” *
2010.
* tempat yang dimaksud adalah markas Pondok Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’arie.
[Dari buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” terbitan PUstaka puJAngga 2010]