Noor Amanah
http://www.suarakarya-online.com/
Jangan pernah mengutuki kenyataan, betapun perihnya. Jika ada yang tanya siapa bapakmu, bilang saja ia sudah mati sebelum kamu lahir. Jangan ditambah-tambahi pesanku itu, jangan juga dikurangi. Ingat itu ya?
Demikian pesan yang disampaikan Emak beberapa tahun silam. Aku ingat betul pesan itu. Emak mengucapkan kalimatitu dengan nada bergetar. Getar yang tak pernah saya mengerti bahwa itu getar kemarahan seorang ibu, kemarahan yang bercampur kesedihan. Makanya saya tak berani bertanya lebih jauh lagi. Tepatnya saya tidak tega.
Ya. Emak benar dengan nasehatnya agar saya tak usah lagi bertanya siapa bapakkandung saya. Di mana pun, kalau saya mau, saya bisa memilih sosok bapak yang saya suka dan inginkan, atau membuangnya kapan saja saya mau.
Ditempat saya menghabiskan masa kecil saya ini, sosok bapak dan bermacam lelaki selalu bisa saya rasakan kehadirannya setiap malam. Ya hanya bisa merasakan. Walau berbaur dengan keperihan.
Saya tahu, rasa perih yang menghuni dada saya ini bukan semata karena saya tidak pernah mengenal bapak atau karena kebutaan yang saya derita sejak lahir. Bukan. Tapi sepisau perih yang menghujam jauh di kegelapan jiwa saya, yang terus bertukar tempat antara penerimaan dan keputusasaan.
Untungnya, Emak telah menunjukkan cara tepat untuk mengakrabi rasa perih itu, dan tidak berlari menjauhinya. Apalagi bermimpi untuk melepaskan diri.
“Pergilah. Itulah Ibu ini. Patuhilah Beliau seperti kamu mematuhiku dulu. Dan jangan pernah mendekati tempat ini lagi kecuali untuk satu alasan. Aku mati! Dan ini…. ” ucap Emak membimbing tangan saya untuk menyentuh tumpukan buku Braille yang hampir semuanya berbentuk bujur sangkar. “Buku ini adalah nyawamu. Di tempat barumu nanti, ada lebih banyak buku seperti ini yang bisa kamu baca sesukamu.”
Saya ingin menangis waktu itu. Namun tak bisa. Saya ingin teriak. Tapi tak kuasa, bahkan tidak untuk melewatkan sepotong pun suara serak, Emak. Sekalipun bukan gadis yang bisa berpura-pura senang ketika dilanda kesedihan, saya sudah terlatih untuk tidak terlalu lama dicengkeram kesedihan.
Maka pada saat seseorang menelepon saya di yayasan tempat saya bekerja dan mengabarkan Emak meninggal dunia, saya justru merasa lega dan bahagia. Dalam kegelapan pandangan mata saya, terlihat cahaya berpendar seperti kembang api raksasa yang pecah beterbangan dari segala arah. Gelap saya diselimuti terang yang menggetarkan, sekaligus mengantarkan rasa damai membayangkan kebahagiaan abadi Emak. Tuhan sudah berkenan merenggut Emak dari keperihannya menjalani kepalsuan dunia yang fana ini. Selamat jalan Mak. Selamat berbahagia.
“Dan anu, Mbak …” suara di seberang telepon terdengar patah, “… ehmmm, Mbak juga diminta secepatnya pulang. kalau bisa sekarang.”
“Oh, pasti, Mas. Habis ini saya mau langsung ke stasiun. Paling nyampe sana besok pagi. Tapi saya pikir, Emak bisa langsung dimakamkan. Tidak usah menunggu sampai saya datang.”
“Tapi Mbak, kata pak polisi, sebaiknya menunggu Mbak kedatangan Mbak sebagai anak kandung satu-satunya,”
“Hah? Pak Polisi? Diperpanjang lagi?”
“Iya. Emak… Emak …”
Suara Mas Manto di telepon bercampur isakan tangis.Katanya, Emak minum racun serangga sehabis subuh.
“Mungkin Emak tidak ingin membebani siapa pun sehingga Emak memilih … ” Lagi-lagi isakan tangis terdengar di sela kata yang terdengar makin terbata.
Beberapa saat kemudian telepon terputus.
Keterpanaan saya, antara percaya dan tidak percaya memahami cerita Mas Manto, belum juga pupus. Saya bahkan tak mampu meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Saya masih terpaku. Beku. Ngilu. Luka terasa di dalam tubuh ini. Makin lama makin nganga saja luka itu. Perih. Dan, saya harus mengakui, luka itu telah gagal saya batukan di hati.
Mau tidak mau, suka atau terpaksa, saya harus menerima kenyataan ini. Kenyataan bahwa segala pencapaian yang telah saya raih sekarang tidak pernah bisa menimbun liang luka saya. Liang luka yang pernah rapat menyembunyikan keperihan kami. Saya dan Emak. Kini luka itu juga dirasakan oleh Mas Manto. Nganga luka itu kini seakan begitu angkuh menunjukkan kepekatan dan kedalamannya yang tak mampu saya selami dasarnya. Kendati begitu, sebagaimana pesan Emak, saya tidk boleh menjadi seorang perempuan yang cengeng, lalu lari dan lari menghadapi kenyataan pahit.
Ya, saya harus segera pulang. Saatnya membuktikan diri kepada Emak kalau saya tak pernah mengutuki kegelapan. Dan sekarang, setelah hampir delapan tahun meninggalkan Emak demi sebuah cita-cita basi, saya menjejakkan kaki saya di tempat ini dengan perasaan yang gagah.
Beberapa kali tulang kering kaki saya membentur sebuah benda. Entah tiang, entar pagar bangunan baru ditempat yang dulu sangat saya kenali tiap incinya. Sudah banyak yang berubah, rupanya. Banyak bangunan baru yang bermunculan. Tapi saya masih yakin arah jalan menuju pulang.
“Sasti! Itu Mbak Sasti!” terdengar teriakan seorang perempuan yang kemudian tertahan oleh tangis yang mengiris. “Gusti Allah.Kamu Sasti!” Saya tahu benar itu suara Mbakyu Nirah, perempuan yang dulu sering menghadiahi saya getuk lindri dan sebagai gantinya saya harus memberi ciuman di pipi yang penuh jerawat itu.
Mbakyu Nirah menghampiri saya. Saya rasakan ia memegang lengan saya, lalu memeluk saya, dan menghamburkan tangisnya. Terus terang saya menjadi jengah dengan tangisnya. Walau sebenarnya ingin, tapi saya tak tega menepis tubuhnya saat memeluk saya.
“Sudah Yu. Aku baik-baik saja.”
Saya merasa tak perlu menanyakan sesuatu yang tak penting kepada Yu Nirah. Toh, satu-satunya pertanyaan penting saya tentang bapak sudah beroleh jawaban yang jelas dan tegas dari Emak. Bapak saya sudah mati sebelum saya lahir. Titik! Jawaban yang saya terima tapi sesungguhnya tidak pernah saya percayai.
Ya, saya mengaku sekarang. Sekalipun saya mengagumi Emak, diam-diam saya juga menyimpan rasa tidak begitu saja percaya atas semua cerita dari dan tentang Emak.
Saya sadar betul, di tempat tinggal kami, perempuan bisa menciptakan seribu cerita tentang siapa dirinya. Memilih apa pun nama yang diinginkannya. Mungkin saja Mas Manto mengarang-ngarang cerita tentang dirinya dan keadaan Emak, sebagaimana yang dia ceritakan di telepon. Atau malah semua cerita ini ternyata hasil rekaan Emak agar saya mau pulang untuk menengoknya.
Saya nyatanya masih seperti dulu, begitu mudah diombang-ambingkan oleh duga dan prasangka. Bahkan kepada Emak yang saya puja sejak kecil.
Ketika tangan saya bisa menyentuh daun pintu rumah, saya tepiskan tangan Yu Nirah yang sepertinya ingin menuntun saya. Bau minyak wangi yang menusuk, harum melati yang berbaur semerbak bunga kenanga, menjadi penuntun arah ke mana saya harus melangkah. Saya bahkan tak perlu menggunakan tongkat penunjuk jalan saya untuk mencapai tiap sudut rumah ini. Aroma magis bau kematian di rumah ini bukan hanya menuntun, tapi seolah mengisap tubuh saya.
ketika perlahan saya makin mendekati sumber wangi bunga kematian yang menusuk hidung ini, saya dengar tangis Yu Nirah pecah menjadi-jadi. Kalau begitu, Mas Manto tidak bohong dan mengarang cerita. Emak mungkin telah meninggal dunia.
Tapi tunggu dulu. Memang benar saya mencium bau kematian di sini. Tapi bisa saja orang yan meninggal itu bukan Emak. Setelah yakin jarak saya tinggal selangkah dengan sumber bau kematian itu, saya menghentikan langkah. Berdiri. Memaku. Ngilu.
Entah dari mana arah datangnya, saya merasakan sebuah sentuhan lembut di pundak saya. Hangat. Saya hapal betul siapa pemilik tangan lembut ini. Tak siapapun bisa menyalurkan kelembutan sekaligus keperkasaan kecuali perempuan pemilik tangan ini. Sering saya mengalami, terperosok di lembah pasir isap keperihan yang tak terjelaskan dari mana datangnya. Dan tangan perempuan inilah yang mengeluarkan saya dari sana. Ia ajarkan cara melihat terang dalam kegelapan pandangan mata saya. Bukan hanya itu, perempuan pemilik tangan ini mampu membukakan kisi-kisi ketakjuban saya akan keindahan cahaya yang sesungguhnya.
Dengan segenap kekuatan yang saya miliki, perlahan saya menggenggam telapak tangan yang masih lekat di pundak saya. Tapi kehangatan yang sempat menjalari pundak saya perlahan-lahan memudar. Lalu dingin, dan semakin dingin. Bahkan bercampur beku yang menusuki kulit jari.
Saya raih tangannya. Memeluknya, menciumnya, dan melekatkannya di kedua pelupuk mata saya. Saya lalu bersimpuh menghaturkan sembah sungkem dengan mencium punggung tangannya.
“Tabah, Sasti.Emakmu meninggal dengan tenang,” suara seorang perempuan, entah siapa, terdengar. Saya tak peduli dan benci mendengar kata-kata itu. Saya ingin mendengar suara Emak.
Dan aku bisa melihat. Aku melihat Emak bergeming dalam diam. Wajahnya berseri. Tubuhnya terbalut kain sutera putih serupa baju sari. Tapi kenapa dia hanya diam saja?
“Mak, jasad siapa yang terbujur kaku di depanku ini. Bicaralah, Mak.” Kuguncang-guncangkan tubuhnya, dan berhenti ketika tiba-tiba telingaku menangkap suara musik berdentam keras.
Mak, apa-apaan ini? Tak tahukah mereka ada orang yang meninggal? Kenapa Emak tak melarang mereka? Bukankah Emak orang yang dituakan di tempat ini? Ayo, Mak, kita datangi mereka.
Aku berlari ke luar rumah. Kulihat kerlip lampu yang didominasi warna merah jambu, hijau dan ungu berkedip bergantian di sepanjang teras rumah petak yang berjajar rapi. Suara musik makin menggelegar, dan kulihat begitu banyak orang berdatangan. Aku berteriak, memaki, dan berlari ke sana kemari.
“Sasti, sadar. Emakmu gak bakal tenang kalau kamu seeperti ini,” sayup-sayup saya mendengar suara Yu Nirah.
Kemudian satu persatu benda yang memancarkan cahaya itu tiba-tiba pecah diikuti sebuah ledakan dahsyat yang memekakkan gendang telinga. Dan gelap kini mengurung tempat ini. Tak di lyar. Tak di dalam. Gelap. Kecuali di dalam rumahku, yang lampunya tetap menyala.
Tapi, Yu Nirah, kenapa Yu Nirah menangis? Yu Nirah menangisi jasad ini? Jasad siapa ini, Yu? Kenapa Emak tak mau bicara kepadaku dan hanya berdiri memaku?
“Nyebut, Sasti, nyebut… Oalah nyebut”
Dan siapa laki-laki ganteng dengan bayi di gendongannya itu? Diakah Mas Manto? Jawab Mak. Itukah pria yang menjemputku pulang? Wah, ganteng banget. Dia pasti banyak yang suka. Bolehkah aku menikahinya, Mak? Lihat, Mak. Aku langsung memberimu seorang cucu yang lucu.
Emak tak menjawab. Tapi kali ini kulihat ia tersenyum seraya mengelus-elus kepalaku. Sambil memejam, kuhirup lembutnya wangi Burberry London yang meruap dari tubuh Emak. Tapi aneh, ketika aku membuka mata, Emak tiba-tiba sudah lenyap dari hadapanku. Juga bau parfum wangi itu sedikitpun tak menyisakan semerbaknya. Sirna. Dan satu-satunya lampu yang menyala di rumahku itu juga tiba-tiba padam.
Gelapku lembali menyergap. Pekat. Lalu aku hanya bisa memaku. Ngilu.
Dan saya mash berdiri di tempat ini. Berjarak kurang lebih satu langkah dari sumber bau kenanga dan melati. Tak beranjak atau bergerak sama sekali. Entah berapa lama saya diam di depan jasad Emak.
“Mbak Sasti, saya Manto,” suaranya terisak. Sejenak terhenyak, saya membalas jabat tangannya. Tapi ketika saya merasakan sengatan halus di ujung jemarinya, saya tersentak. Tak paham.
Lagi, seperti yang sudah dikatakannya ditelepon, Manto merasa dialah yang menjadi penyebab kemarian Emak yang mengenaskan ini. Manto ayang suaranaya pernah sekali saya dengar dalam percakapan di telepon itu kini tenggelam dalam isak yang makin menjadi.
Saya tak tahu harus bilang apa kepada Manto agar tidak menyalahkan dirinya seperti itu. Saya tahu benar ia tidak semestinya menghukum diri atas kematian Emak. Tapi tak sepatah pun kata mampu saya suarakan.
“Dan ini anak saya, Mbak Sasti. Tak tahu siapa bapaknya.” Manto membimbing tangan saya menyentuh kepala bayi ini. “Kata Emak, jika nanti dia bertanya siapa bapaknya, saya diminta menjawab, bapaknya sudah mati sebelum dia lahir. Titik.”
Mendengar kalimat itu, saya tergetar. Saya gentar. Lelaki yang dipanggil Manto itu juga gemetar, bersimpuh di depan jenazah emaknya. Tapi aku, dan hanya aku yang tak mau memudar.
Namun aku merasa sudah terlalu lama menunggu. Tapi Emak masih saja diam. Hanya berdiri. Menatapku sedih bercampur dengan, mungkin, kemarahan. Maka aku putuskan untuk membalikkan badan melangkah keluar.
Mungkin Emak marah, setidaknya kesal, sehingga tak mau bicara kepadaku lagi. Ya, seharusnya aku menuruti kata-kata Emak dulu. Pulang hanya untuk satu alasan. Yakni jika Emak sudah mati.
Aku pun kembali ke Jakarta. Menumpang sebuah rembulan, membawa misteri tentang Emak. ***