Agus Sunarto
http://www.suarakarya-online.com/
Semalam saya bermimpi begitu indah, Kang,” kata Rofiq kepada tetangganya. “Saya memasuki kehidupan yang begitu dinamis, tapi tenang dan menggetarkan. Segalanya penuh dengan cinta.”
“Seperti dalam sinetron atau film itu?”
“Bukan tentang manusia baik dan manusia jahat seperti itu. Manusia dalam impian saya, ada dalam ketegangan baik dan buruk. Semua tindakan didukung oleh sebab sosiologis dan psikologis.”
“Ceritanya tentang apa?”
“Tentang sebuah negara yang damai. Tentang masyarakat yang saling membantu.
Tentang kekuasaan yang saling melindungi. Tentang orang pintar yang mendidik. Tentang orang kaya yang menolong. Tentang orang miskin yang optimis. Tentang alam yang begitu indah. Tentang puasa dari nafsu berlebihan.”
Rofiq menerawang mengingat kembali apa yang pernah diimpikannya. Pikiran dan hatinya begitu khusuk merasakan kembali angin kedamaian yang pernah menyentuhnya, kehangatan api yang pernah mengelusnya, kesuburan tanah yang pernah menggembirakannya.
Saking menakjubkannya mimpi yang diingat kembali itu, wajah Rofiq bercahaya. Senyumnya mengembang, matanya bersinar, pipinya berseri, baju dan segala yang dipakainya tiba-tiba begitu serasi.
Kang Oman begitu takjub melihat perubahan wajah Rofiq. Baru kali ini ia melihat Rofiq secakep itu. Kang Oman menepuk-nepuk bahunya, ingin segera mengetahui mimpi yang pernah dialami Rofiq.
“Ceritakanlah selengkapnya, seperti apa keindahan mimpimu itu.”
Lama Rofiq mereka-reka kata untuk merasakan kembali mimpinya.
“Ceritakanlah Rofiq.”
“Sekali waktu, ketika semua manusia mempraktekkan hidupnya seperti alam, di dunia ini tidak dikenal perselisihan sampai bunuh-bunuhan, tipu menipu, saling mementingkan individu atau golongan. Semuanya mengalir seperti air, datang dan pergi seperti matahari yang menerangi dan menggelapkan tanpa direkayasa, berembus seperti angin tanpa dibebani kepentingan, subur dan gersang seperti tanah tanpa melihat golongan atau ras atau perbedaan lainnya. Kalaupun ada badai, topan, gunung meletus, semua itu dipahami sebagai takdir yang tak bisa dimungkiri. Itu semua malah mendekatkan manusia akan keagungan Tuhan.”
“Terus?”
“Semua peraturan diatasi oleh semua orang. Wah, pokoknya begitu menakjubkan, Kang Oman. Semuanya penuh cinta. Saya tidak bisa menceritakannya lebih lanjut. Barangkali semua perbendaharaan kata-kata saya habis pun tidak bisa menggambarkan mimpi saya itu.”
Rofiq mengingat kembali mimpi menakjubkan itu. Wajahnya bercahaya, matanya bersinar, bibirnya berseri. Kang Oman terpesona melihat wajah Rofiq. Dia seperti melihat pegunungan dengan lekuk-lekuk lembahnya, semilir anginnya, kebeningan telaganya, kemerduan kicau burungnya, kelincahan kijang, dan keberagaman binatangnya.
“Ceritakanlah, Rofiq, saya ingin mendengarkan mimpimu selengkapnya. Sejujurnya, sudah lama saya merindukan cerita seperti itu.”
“Tapi saya merasa tidak akan mampu menceritakan kembali, Kang. Saya hanya bisa merasakannya.”
Kang Oman menyesal mendengarkannya.
* * *
Dalam setiap obrolan di warung kopi, pos ronda, tukang kue serabi, Kang Oman selalu menceritakan keterpesonaannya melihat Rofiq. Rofiq diceritakan dengan begitu memesona: wajah bercahaya, senyum menawan, mata sesejuk telaga, pakaian serasi dengan tubuh yang tegap.
“Cakepan mana dengan pemain sinetron yang sering muncul di televisi itu, Kang Oman?” tanya salah seorang peserta obrolan di warung kopi, suatu senja.
“Jangan bandingkan dengan pemain sinetron, karena kelasnya memang beda. Wajah bercahaya Rofiq tidak bisa dibuat-buat, dengan kosmetik yang paling modern dan paling mahal sekalipun.”
“Lalu, bandingannya dengn apa?”
“Ya, jangan dibandingkan. Terlalu riskan kalau senyum menawan Rofiq harus dibandingkan dengan senyum lainnya. Itu baru Rofiq-nya. Belum lagi dengan mimpinya, yang Rofiq sendiri merasa terpesona. Ah, ingin sekali saya mendengar cerita yang sesungguhnya dalam mimpi-mimpi itu.”
Orang orang menanggapi obrolan Kang Oman dengan berbagai macam sikap. Ada yang tersenyum, mengangguk-angguk, berdecak, ada juga yang tidak peduli, berkali-kali dia malah makan pisang goreng dan menyeruputnya.
Obrolan itu berkembang ke obrolan obrolan lain di tempat-tempat lainnya. Cerita dari mulut ke mulut memang kadang lebih hebat dari cerita aslinya. Beberapa hari setelah Rofiq bercerita kepada Kang Oman, orang sekampung tahu cerita tentang Rofiq dan mimpinya.
Obrolan-obrolan yang menghangat menjadi kepenasaran yang perlu pembuktian. Sekali waktu orang-orang sepakat untuk mendatangi rumah Rofiq dan menanyakan secara langsung mimpinya itu. Memang banyak yang percaya dengan cerita Kang Oman, tapi tidak sedikit yang setengah-setengah dan yang tidak percaya sama sekali.
Mereka yang percaya berdasar pada pengetahuan mereka tentang Rofiq selama ini. Rofiq dikenal sebagai warga yang tidak banyak omong. Ke mana-mana ia selalu tidak lupa menyunggingkan senyum buat siapa saja yang berpapasan dengannya.
Rofiq ramah kepada siapa saja. Tidak jarang orang yang punya kebutuhan mendesak meminta tolong kepada Rofiq. Biasanya Rofiq mengusahakan, meski barangkali hasilnya tidak maksimal.
Rofiq memang bukan orang yang kaya. Dia hidup biasa saja bersama istrinya yang juga sederhana, bertani dengan kebun dan sawah yang tidak begitu luas.
Pernah sekali waktu ada anak yatim yang sakit parah. Orang orang angkat tangan untuk menolongnya, termasuk orang orang kaya di kampung, karena memerlukan biaya yang besar. Tanpa banyak omong, Rofiq mengantar anak itu ke rumah sakit, menjual hartanya untuk biaya, termasuk baju-baju bagusnya dan televisi yang dimilikinya.
Tapi, tidak juga berarti Rofiq jarang bicara. Rifiq pernah berbantah-bantah dengan Pak Camat saat pak Camat bersikeras menganjurkan (tentu dengan sedikit memaksa) agar warga menjual tanah di lereng gunung yang ada mata air besarnya kepada orang kota. Kata Rofiq, kalau tanah di seputar itu dijual, artinya sumber air pun terjual. Mau dari mana warga kampung memenuhi kebutuhan airnya nanti?
Warga kampung yang asalnya diam saja mendukung Rofiq waktu itu. Mereka protes dan berani menjaga lereng gunung bermata air besar itu setiap hari, sampai orang kota itu membatalkan rencananya.
Setelah peristiwa itulah orang-orang segan kepada Rofiq. Rofiq yang petani kecil itu lebih dihormati dibanding orang kaya lainnya yang punya tanah lebih luas, atau pegawai kantoran yang pakaiannya selalu bagus.
“Jadi, memang tidak ada yang diragukan kalau Rofiq mengalami mimpi seperti itu,” kata seseorang. Orang menanggapinya ada yang mengangguk, berdecak, tak acuh, dan sebagainya.
* * *
Malam begitu sunyi. Angin berembus pelan, hinggap dari daun ke daun, membunyikan suara kresek-kresek-kresek yang bersahutan dengan suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tidak ada orang yang keluar rumah kecuali tiga orang yang terkantuk-kantuk di pos ronda itu. Di sebelah utara, gunung yang begitu banyak menghasilkan air itu berdiri gagah.
Sebenarnya, tidak ada yang istimewa malam itu, kecuali bagi Kang Oman. Sejak tengah malam, Kang Oman mendengar ada orang yang menangis. Setelah menajamkan telinganya dan menyusuri asal suara tangis, Kang Oman berkesimpulan bahwa suara itu datang dari rumah Rofiq, tetangganya itu.
Kang Oman mengintip dari celah-celah bilik. Di dalam rumah kecil yang diterangi lampu tempel itu, Kang Oman melihat Rofiq sedang bersimpuh di lantai yang beralaskan tikar.
Guncangan badan dan suara tangis itu seperti ditahan, tapi mungkin Rofiq tak bisa menahan air mata yang berjatuhan. Kang Oman melihat butiran butiran air itu bercahaya. Tiba-tiba Kang Oman merasa begitu senyap dan rendah diri. Semalaman Kang Oman tidak bisa tidur.
“Kenapa menangis, Rofiq?” tanya Kang Oman besok siangnya.
Rofiq yang sejak semula tidak mau membicarakan hal itu, diam saja.
“Semalam saya mendengar dan melihat kamu menangis. Ceritakanlah, jangan sungkan-sungkan.”
Rofiq menarik napas panjang sebelum kemudian bicara. “Sesungguhnya, dalam pengakuan yang paling dalam, kita hanyalah kumpulan kekalahan dan air mata.”
Kang Oman tidak lagi bertanya. Pertanyaan yang telah disiapkan sejak semalam tiba-tiba menjadi pertanyaan yang sebenarnya mesti dijawab oleh dirinya sendiri.
* * *
Suatu siang, orang orang mendatangi rumah Rofiq. Mereka ingin membuktikan cerita Kang Oman yang ditambah lagi cerita air mata Rofiq yang bercahaya. Mereka mengetuk pintu. Tapi tidak ada jawaban. Mereka kemudian mengintip.
Mereka melihat Rofiq bersama istrinya sedang bersimpuh di tikar. Mereka tidak berani lagi mengetuk pintu. Mereka terpesona dengan cahaya yang memancar dari wajah suami istri itu. Mereka bertekad untuk menunggu sampai Rofiq membuka pintu. Tapi siang itu Rofiq tidak membuka pintu.
Setelah menjelang senja, orang-orang terkejut saat melihat Rofiq bersama istrinya datang dari kebun. Rofiq menyapa dengan ramah dan mempersilakan orang orang masuk.
Senyumnya mengembang, senyum tidak akan bisa dilupakan oleh orang-orang yang menyaksikannya. Rofiq menanyakan, apakah kedatangan warga kampung itu ada satu keperluan atau hanya bertandang biasa.
Orang orang tidak menjawab. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepala mereka tidak bisa keluar dari mulutnya. Mereka terpesona oleh senyum dan cahaya wajah Rofiq, dan sejuknya udara di dalam rumah Rofiq. Semuanya merasakan begitu tenang dan indah.
Orang orang pulang dengan menyimpan berbagai pertanyaan: jadi, siapa yang tadi berada di rumah Rofiq? Cahaya apa yang terpancar dari wajahnya? Senyuman yang menawan seperti itu kapan bisa dilihatnya lagi? Udara apa yang begitu sejuk di rumah Rofiq?
Setumpuk pertanyaan itu masih tetap tidak terjawab bertahun-tahun kemudian, juga setelah Rofiq dan istrinya meninggal dunia. Orang orang yang pernah menyaksikan cahaya wajah Rofiq, senyum menawannya, butir-butir air matanya yang menggetarkan, sejuknya udara rumah Rofiq, menceritakan pengetahuan itu dari mulut ke mulut.
Bertahun-tahun kemudian, syahdan, untuk mewujudkan kedamaian seperti yang dialami Rofiq itu, orang orang kampung itu mau melakukan apa saja. Termasuk bertikai, berperang, merampok, mencuri, menindas, dan sebagainya. Seluruhnya untuk kedamaian dan keindahan yang pernah diperlihatkan Rofiq. ***