Si Bunian

DTA Piliang
http://www.suarakarya-online.com/

GEMURUH suara tambur diselingi suara genderang kecil atau kami sebut tasa yang bersuara menusuk telinga, menggambarkan bagaimana meriahnya pesta. Suara itu kadang seperti berasal dari arah utara, dari kaki Gunung Gadang, selanjutnya seperti berasal dari arah barat laut, dari Gunung Tigo. Kemudian suara tambur dan tasa terasa sangat dekat, dari Bukit Salasiah, Ujuang Gunuang, Sungai Sariak, di arah selatan. Selanjutnya pindah ke barat daya, seperti berasal dari Ampalu, Kampuang Dalam, atau dari Padang Sago. Kemudian bergeser ke arah barat, Tandikek atau Malalak.

Semasa kecil di kampung, di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, suara tambur dan tasa memang sering aku dengar. Asal suara memang sulit ditebak, berpindah-pindah. Yang pasti, esok paginya ada saja kejadian yang menggegerkan, meski sudah sering terjadi, ditemukannya seorang perjaka di atas pohon besar di tengah hutan penuh semak belukar, di puncak bukit, atau di pinggang gunung.

Aku tak pernah melihat langsung anak atau perjaka pulas terlelap di atas pohon besar. Tapi dari cerita-cerita, korban tak mungkin bisa naik ke dahan pohon dimana dia tertidur. Dia konon dibawa Bunian yang kerap kami sebut sebagai orang Bunian atau si Bunian, makluk halus yang berusaha menculik si perjaka untuk dikawinkan dengan salah satu putri mereka, tapi gagal karena keburu pagi. Konon, menurut cerita mulut ke mulut, bila sempat dikawinkan dengan putri si Bunian, lelaki korbannya tak pernah kembali, bagai hilang ditelan bumi.

Setiap mendengar cerita itu, buluk kudukku merinding. Karena alasan itu lah aku tak berniat melihat langsung ditemukannya orang terlelap di dahan pohon setelah batal dinikahkan keluarga si Bunian dengan salah satu putrinya. Tapi, sebagai lelaki yang menanjak remaja aku kadang ingin juga menjadi korban Bunian, karena konon gadis Bunian jauh melebihi kecantikan manusia. Namun setiap keinginan itu muncul, langsung ku tekan.

Teror si Bunian begitu mempengaruhi masa remaja ku. Betapa tidak, setiap suara pesta-bebunyian tambur yang ditingkahi tasa-muncul, biasanya setelah lewat isya sekitar pukul 10.00 malam, orang-orang yang sedang bercengkerama di lapau(*), yang sedang duduk-duduk di loneang(*) di pinggir persimpangan jalan desa, langsung terdiam, kemudian bisik-bisik. Satu per satu pergi, pulang, selanjutnya tenggelam di bawah selimut.

Para peronda pun enggan keliling, mereka lebih memilih duduk berdekatan satu sama lain atau tidur berdempetan. Mereka bukan sedang berusaha mengusir hawa dingin menusuk, tetapi merapat satu sama lainnya, khawatir menjadi korban Bunian.

Suara gemuruh tambur dan keciprakan tasa biasanya berlangsung sepanjang malam, baru kemudian hilang menjelang subuh. Setelah pagi, seperti biasa, satu sama lain masyarakat bertanya-tanya apa gerangan yang telah terjadi. Anak siapa yang telah hilang, atau adakah bencana yang terjadi tadi malam. Itulah kebiasaan, bila pada malam hari ada pesta si Bunian, paginya ada remaja yang hilang, entah di desa mana. Jika tidak, biasanya ada musibah, air bah, longsor, atau binatang ternak yang hilang.

Tapi tak jarang masyarakat kecele, ternyata pesta tambur dan tasa tadi malam berasal dari sebuah pesta pernikahan yang digelar di desa di sebuah kaki bukit. Namun itu jarang terjadi.

Ketika ramai-ramainya penumpasan anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), ketika anggota Gestapu (gerakan 30 September) diburu-di mana-mana, di kampung kami pesta si Bunian dikabarkan kerap terjadi, hampir setiap malam. Setiap ada kejadian mengerikan, seperti orang yang mendadak hilang, atau mati mengenaskan, masyarakat percaya itu adalah pekerjaan si Bunian.

* * *

Setiap ada pesta pernikahan menggunakan adat Minangkabau (Sumatera Barat) aku sering terkenang pengalaman masa kecil. Ingat si Bunian, karena di tempat pesta itu kerap disuguhkan acara musik tambur ditingkahi suara tasa untuk mengiringi pasangan pengantin, kemudian diikuti derap langkah penari piring.

Di desa, di daerah kami di Padang Pariaman, pesta dengan kesenian tambur dan tasa sudah lama hilang. Sejalan dengan itu cerita tentang si Bunian juga raib, tak lagi mempengaruhi anak-anak remaja seperti kami dulu. Pesta-pesta dikampung umumnya tak lagi diramaikan tabuhan tambur dan pukulan tasa, tetapi digantikan orkes, penyanyi dangdut, organ tunggal, bahkan band.

Kesenian tambur di kampung sudah mati suri, hanya disuguhkan dalam acara kesenian di kota-kota, atau acara adat. Tapi di Jakarta, tempat aku merantau, kesenian tambur justru kerap disuguhkan dalam pesta perkawinan yang digelar di pemukiman sampai ke gedung-gedung mewah.

Tapi dugaan ku bahwa si Bunian benar-benar sudah dilupakan masyarakat di desa kami, ternyata salah. Itu aku ketahui ketika pulang kampung.

“Beberapa malam terakhir ini pesta si Bunian kembali terdengar. Entah apa yang bakal terjadi di negeri kita,” kata Darman, teman sepermainanku masa kecil.

“Apa sudah ada korban?”
Darman menggeleng.

“Mungkin orang Bunian tidak butuh perjaka lagi, mereka barangkali berhasil menerapkan program keluarga berencana. Jadi nggak ada lagi anak gadis Bunian yang akan dinikahkan,” kataku coba melucu. Tapi Darman tak terpancing.

Sejak kepulanganku ke kampung untuk urusan mengurus surat-surat harta pusaka peninggalan orangtua kami, Darman yang sering menemaniku kerap terlihat serius. Padahal dulunya, diantara kami sebaya, dia paling konyol, bercanda sering keterlaluan.

“Tapi Buya Hamzah nggak percaya. Dia bilang anggapan masyarakat itu pertanda akhir zaman. Masyarakat perlu diingatkan agar tak percaya lagi yang tidak-tidak. Mungkin tak lama lagi ada kejadian besar,” kata Darman.

Namun dari mulut ke mulut cerita tentang pesta si Bunian terus menyebar. Tidak hanya di tempat kami di sebuah pasar desa yang dikenal dengan Pasar Jumat, tetapi juga di desa-desa di sekitar. Meski belum terdengar ada anak remaja yang mendadak hilang, para anak laki-laki di berbagai kampung dipingit orangtua mereka, tak boleh keluar malam, khawatir dimangsa si Bunian.

“Ini semua harus diluruskan. Itu tahayul, tak ada si Bunian, tak ada pesta-pesta tambur dan tasa. Anda harus membantu saya. Darman juga. Ajak teman-teman lain,” kata Buya Hamzah.
“Apa tugas saya?”

“Kamu upayakan meyakinkan pemuka di desa kita. Mereka harus ikut mengaktifkan pengajian, kegiatan ceramah agama di mesjid-mesjid. Bergiliran seperti ketika kamu kecil dulu.”
“Apa maksud Buya?”

Darman kemudian menjelaskan bahwa di kampung kami, juga di banyak kampung tetangga masyarakatnya kini sangat labil, mudah terpengaruh isu. Hidup bermasyarakat yang pernah terjalin sepertinya tak berbekas. Sibuk sendiri-sendiri. Mamak tak lagi mengurusi kemenakan, antara satu saudara banyak yang tak lagi bertegur sapa akibat perebutan harta pusaka.

Mesjid-mesjid kosong melompong, merana, sangat jarang yang mengumandangkan azan tiap waktu shalat seperti masa lalu. Masyarakat lebih memikirkan dunia ketimbang hari akhir. Pengajian mingguan dari satu mesjid ke mesjid sudah lama hilang.

Semua orang larut dalam kesibukan masing-masing. Lagu-lagu dangdut mendayu-dayu yang menyuarakan soal cinta dan kesengsaraan, lengkingan lagu-lagu India, serta tangis dan kemarahan dalam sinetron dari pesawat televisi, atau dari putaran cakram VCD, telah membuat semuanya tenggelam dalam ego masing-masing. Bapak-bapak lebih memilih memanfaatkan waktu senggang bermain domino atau berjudi di lapau-lapau, lupa tanggungjawab sebagai kepala keluarga. Mereka pikir hanya dengan memenuhi kebutuhan dapur keluarga berarti semua tanggungjawab selesai.

Tak ada lagi anak gembala duduk di punggung kerbau dengan seruling di tangan. Puput batang padi sudah tak pernah lagi dimainkan. Cendawan jerami sudah sulit ditemukan karena sawah memang sudah berubah fungsi menjadi tanah terlantar. Ayah mengantar anak mengaji ke surau sudah kejadian langka.

“Masyarakat kita sudah jadi korban modrenisasi, meniru-niru hidup orang kota. Kamu bisa lihat sendiri, banyak remaja putri yang lalu lalang sudah jadi korban mode, tak malu pusarnya jadi tontonan,” kata Darman.
“Soal Bunian itu apa memang ada Buya?”
Buya Hamzah diam sesaat, memegang jenggot tipisnya, manggut-manggut, kemudian menggeleng.

“Saya tak percaya. Dari dulu hingga kini saya tak percaya sedikit pun. Semua itu hanya fatamorgana, terpengaruh alam pikiran.”

Buya selanjutnya mengatakan, dulu puluhan tahun silam, memang banyak yang mendengar tetabuhan tambur diselingi tasa pada malam hari. Tapi itu pasti suara tambur dan tasa sungguhan.

“Waktu itu tambur dan tasa kan memang lagi musim. Di mana-mana ada kelompok kesenian tambur, dan disetiap ada pesta, pasar malam, kehadiran tambur tak pernah ketinggalan. Bahkan ada perlombaan tambur.” “Lalu bagaimana dengan remaja yang ditemukan di pohon-pohon besar?”

“Ah, itu bisa saja. Kan di dunia majupun ada kejadian seperti itu. Pernah baca kan, seorang pemuda tiba-tiba terbangun di puncak gedung, karena mengalami mimpi berjalan?”

“Terus kenapa kita harus repot-repot mengajak masyarakat agar bersedia ikut pengajian, agar sekali seminggu hadir dalam acara ceramah agama?”

* * *

Rasanya baru kemarin aku menenami Buya Hamzah mempersiapkan hingga terlaksananya kegiatan pengajian dan ceramah agama untuk pertamakalinya di Pasar Jumat, setelah kegiatan serupa sangat lama terhenti. Kami mendatangkan pencermah dari kota Padang. Acara pembukaan kegiatan pengajajian dan ceramah mingguan itu berlangsung meriah. Selain masyarakat, para tokoh seperti niniak mamak, wali nagari, dan camat juga datang.

Setelah kembali ke Jakarta, ketika sedang duduk-duduk di berada rumah kami di suatu sore, sambil bercerita kepada istri dan anak-anak tentang kegiatan di kampung membantu Buaya menggerakkan massa agar mengikuti pengajian dan ceramah agama, tiba-tiba dari arah ruang keluarga terdengar sayup-sayup warta berita televisi.

“Gempa bumi berskala 7,6 skala Richter yang mengguncang beberapa wilayah Sumatera Barat, Rabu, 30 September 2009 hari ini, pukul 17.16 WIB, mengakibatkan Kota Padang porak poranda, diikuti sejumlah kebakaran.”

Duh. Bagaimana dengan kampung kami. Bagaimana nasib Buya, Darman, dan teman-teman ku yang lain. Bagaimana dengan mesjid yang baru saja kami rapikan?

Saya begegas menuju pesawat telepon, menghubungi Buya, tapi nggak bisa nyambung. Darman, juga sama. Mak Saripah-mande ku yang menunggui rumah peninggalan orangtua kami-juga tak bisa dihubungi. Komunikasi terputus total.
“Apakah ini bentuk dari peringatan si Bunian? Bagaimana dengan kampung kita?”
Pertanyaan Suni, istriku yang tiba-tiba saja sudah berada di samping ku, tak bisa ku jawab.
“Tak ada sambungan telepon. Semua terputus,” kata ku.

Aku dan istri, juga tiga anak kami akhirnya duduk di depan televisi. Sejak sore hingga larut berita tentang gempa Sumbar terus menjadi berita utama beberapa stasiun televisi.
Beberapa hari kemudian baru aku bisa menghubungi Buya.

“Kampung kita hancur. Kota Padang, Pariaman, dan daerah di Kabupaten Padang Pariaman paling parah. Di Gunung Tigo, Malalak, Tandikek ratusan orang mati terkubur,” kata Buya. “Bagaimana dengan mesjid kita?

“Ini bukan ulah si Bunian. Ini bencana alam, gempa, peringatan Allah karena umatnya sudah banyak yang mungkar. Doakan kami,” kata Buya dan tiba-tiba pembicaraan kami terputus. Saya coba berulangkali menghubunginya lagi, tapi tak bisa.

“Ternyata gempa Sumbar bukan 7,6 skala Richter, tapi 7,9 skala Richter. Reruntuhan Hotel Ambacang di Kota Padang terus diberisihkan, sementara penggalian tanah longsor di Desa Cumanak, Malalak, kemungkinan dihentikan. Puluhan, mungkinan ratusan mayat akan dibiarkan tertimbun sebagai kuburan massal,” kata penyiar televisi.

Saya, juga istri, dan anak-anak kami tak henti-hentinya berlinang air mata setiap mendengar kabar sedih dari televisi.

“Si Bunian itu apa sih pa. Kok nggak pernah disebut-sebut dalam laporan televisi?”, kata Putri, salah satu anak kami.***

Jakarta, November 2009

* lapau = warung kopi
* loneang = bangku panjang dari beton

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *