Karya: Sevgi Soysal (1936-1976)
Terjemah versi Inggris: Amy Spangler
Terjemah versi Indonesia: Anton Kurnia
korantempo.com
PADA umur sebelas, Tante Rosa membaca tulisan di bawah foto Ratu Victoria dalam majalah mingguan Kau dan Dirimu: “Ratu Victoria yang berumur 18 tahun menginspeksi Pasukan Kavaleri Kerajaan. Sekali lagi Yang Mulia berhasil menaklukkan hati pasukan kavaleri dan rakyat seluruh negeri.”
Tak lama setelah mematri dalam memorinya frasa “menaklukkan hati” bersama gambar kuda-kuda yang tampak di dalam foto itu, Tante Rosa memutuskan untuk menjadi pemain akrobat sirkus kuda.
Ketika Rosa memberitahukan keputusannya kepada ibunya, sang ibu sedang membaca kalimat-kalimat berikut dalam cerita bersambung di majalah Kau dan Dirimu: “Bulan demi bulan berlalu, hari berganti minggu, dan lelaki itu, agar tak melihat perut membuncit adik perempuannya dengan hati dicekam dosa, memalingkan pandangannya yang terbakar oleh hasrat bertarung melawan makhluk-makhluk buas. Dan disertai aib atas air mata yang menetes untuk sebab yang tak pantas, serta demi mengeraskan hatinya–yang sebenarnya amat lembut–terhadap bayi tak berdosa yang batal dilahirkan, ia…”
Dengan ngeri ibunda Rosa melempar majalah itu dan berlari menghampiri ayah Rosa, sumber kebahagiaan Rosa selama ini. Ayahnya lelaki yang tegas, tapi selalu seolah tak berdaya di hadapan rengekan Rosa, dan ia memutuskan untuk mengizinkan Rosa bergabung dengan sirkus. Ia memastikan dengan kata-kata tegas mengenai keselamatan Rosa kepada pimpinan kelompok sirkus itu sebelum menyerahkan putrinya.
Pada hari pertama, mereka menunggangkan Rosa di punggung kuda paling liar di sirkus itu. Walaupun dia berkali-kali terjatuh dari kuda hari itu, Rosa kecil yang malang begitu terpesona oleh rok lipit-lipit dan baju pentas yang indah sehingga saat dia pulang dia lupa pada segala rasa sakit tak tertahankan yang mendera bokongnya yang memar-memar dan dengan keras kepala bersikeras tentang mimpinya menjadi pemain akrobat sirkus kuda.
Barulah dia seakan-akan berhenti bermimpi menjadi pemain sirkus kuda setelah ayahnya menampar bokongnya dua kali sebagai pelajaran moral. Namun, ketika ayah Rosa meninggal dunia, ibunda Rosa segera mengubah sikap dan membuat kebijakan baru untuk menjamin kebahagiaan Rosa dengan kawin lagi.
Ayah baru Rosa tak keberatan dengan keinginan Rosa menjadi pemain akrobat sirkus kuda. Maka, Rosa pun kembali ke sirkus. Kali ini Rosa diserahkan kepada pemimpin sirkus tanpa upaya untuk berkata tegas sehingga jelaslah bagi si pemimpin sirkus bahwa kulit bokong Rosa berharga lebih murah daripada buku-buku sekolahnya.
Kini Rosa disambut dengan tangan terbuka. Ketika seorang gadis tak diinginkan menjadi pemain sirkus kuda, dia akan segera ditunggangkan ke punggung kuda liar. Namun, seorang gadis yang dipersiapkan menjadi pemain akrobat sirkus kuda justru tak diizinkan menunggang kuda.
Rosa tak lagi jatuh dari kuda. Alih-alih, dia disuruh mengumpulkan tahi binatang-binatang sirkus dan menjualnya kepada penduduk sekitar sebagai pupuk. Rosa menangis. Dia terus menangis. Pertama, dia membenci kotoran binatang, kedua dia membenci kuda, ketiga dia membenci tulang ekornya karena rasa sakit di bagian itu akibat terhantam tanah adalah satu-satunya kenangan yang bisa diingatnya dari kuda.
Walaupun para psikolog mungkin akan menyatakan bahwa kasus sembelit parah akan diidapnya pada usia tua karena trauma jatuh dari kuda ini, insiden yang berdampak paling dahsyat terhadap hidup Rosa sesungguhnya terjadi pada awal pecah perang yang paling populer pada masa itu.
Pada tahun pertama perang, ketika seragam para opsir masih amat kemilau dan semangat mereka masih berkobar-kobar, suatu malam Rosa menonton pemain akrobat kuda menampilkan jurus-jurusnya melalui sebuah lubang di tenda sirkus seperti yang dia lakukan setiap malam. Dengan dibingkai jari-jari mungilnya untuk mengangakan lubang kecil itu agar menjadi lebih lebar, dia menyaksikan semuanya. Bahkan, bau tahi yang tersisa di jari-jemarinya tak mampu menyadarkannya dari fantasi di kepalanya bahwa dialah yang sedang menampilkan jurus-jurus akrobat kuda di dalam tenda.
Aku melompat di udara dan kini aku mendarat. Aku menunggang punggung kuda. Kuangkat kakiku dan kudengar tepuk tangan membahana. Siapa itu, letnan muda di baris depan yang matanya lebih cemerlang daripada kancing jasnya yang berkilat-kilat? Lelaki itu menatapku. Dia jatuh cinta kepadaku. Dia datang kemari setiap malam, menontonku, lalu pergi. Kini aku akan menampilkan pertunjukan puncak. Hanya untuknya. Jika saja kuda ini bisa menjaga langkahnya sehingga aku punya waktu untuk jungkir balik…. Dan dia… ah, melompat!
Tiba-tiba dia mendengar suara berderak. Bunyi itu menyebar. Semua menjadi benderang. Makin terang. Lalu terdengar jeritan. Panas. Percik api. Nyala api. Kobaran api. Api yang menyelubungi mimpi. Rosa melihat nyala api dengan cepat menjalar memenuhi tenda. Dia melihat para penonton berupaya menyelamatkan diri. Tiang-tiang terbakar. Pemimpin sirkus mengutuk-ngutuk. Bola lampu di atas tenda telah menjadi kelabu karena asap. Semua orang memburu ke arah pintu, tapi pintu itu terlalu sempit.
Namun, yang dia lihat hanyalah si pemain akrobat, dirinya sendiri, tengah menampilkan nomor pamungkas untuk kekasihnya:
Aku baru saja mengangkat sebelah kakiku saat kudengar percikan api pertama diikuti suara jeritan. Kepalaku berdenyut sakit. Butuh beberapa detik bagiku untuk menyadari bahwa kudaku jadi ketakutan dan melemparkanku sehingga kepalaku terbentur pagar besi melingkar pembatas pentas.
Kini kuda itu seperti gila dan maju menerjangku. Tapi aku tidak takut. Aku tahu bahwa lelaki bermata paling cemerlang dengan kancing jas paling berkilat itu akan menyelamatkanku. Dan itulah dia: dia melompati pagar pembatas. Dengan seluruh kekuatannya, dia menarik tali kekang kuda. Kuda itu langsung menjadi jinak seperti domba. Sang pahlawan bergegas menghampiriku. Dia menggendongku dan melompat ke pelana kuda. Ditendangkannya sepatunya ke pinggul kuda dan kami pun berderap keluar tenda. Meninggalkan teriakan, asap, dan api di belakang kami. Dengan kecepatan penuh kami melaju menuju arah matahari terbit.
Rosa tak perlu lagi menguak lubang tenda dengan jemarinya karena api telah membakar tenda, meninggalkan lubang lebar. Rosa melihat kuda itu ketakutan, melemparkan gadis penunggangnya ke tanah dan mundur dengan gerakan liar seperti kuda gila. Dia tak melihat gadis itu terkapar, tapi dia melihat sang letnan muda melompati pagar pembatas. Dalam kecamuk asap kebakaran dan teriakan, hanya lelaki itulah yang dia lihat. Letnan itu lalu melompat ke punggung kuda dan kemudian berderap meninggalkan lokasi kebakaran. Rosa melihat saat sang letnan mengendarai kuda keluar, ia berderap cepat melewati si gadis pemain akrobat kuda.
Tante Rosa melihat foto Ratu Victoria menunggang kuda di majalah Kau dan Dirimu dan tahu bahwa dia tidak akan pernah menjadi pemain akrobat sirkus kuda.
*) Sevgi Soysal (1936-1976) adalah pengarang perempuan kelahiran Turki. Cerita di atas diterjemahkan oleh Anton Kurnia dari versi Inggris Amy Spangler.