Kaulah Hati
Kaulah Merkuri
di hadapan Sang Pemilik jagat raya
Kaulah hati
Wahai yang dianugrahi mahkota laksana raja Ishtar,
Mars tersipu wajahnya semerah rubi
Bumi tersanjung langit biru dan laut dalamnya
sungai yang mengalir pun jadi nadinya
Oh paras rupawan,
kecemburuan Venus selaksa hujan
keringatmu bercucur, menguap rasa sampai ke hulu
Bima Sakti
Kekasihmu bagaikan Andromeda
kecintaan Alesis pada padang gemintangnya
merengutkan keningnya
: kaulah pesirah, padangku tiada sejengkal dalam hatimu.
Kesaksian
Aku melukis bumi sirna
coklat langitnya,
hampa udaranya
burung-burung terbang menjilati senja
angannya jenuh melayang khayang
terbakar di tiap sayapnya
laku di atas rimba arang
Pantai sunyi kugurat badannya
telak rebah ia berselimut tinta hitam
Percikan warna api kusulut di punggungnya
selaksa luka dari sayap yang berkobar
agar langit tumbuh lembayung
Agar tampak tangan tak jahil mendurja alam,
ku apung batu karang sebagai bayang-bayang
; buih-buih ringan hiasan pucat pepasir.
Agitasi
Taman sedang kembang
geliat benih beranjak tingkah
sebelum kuntum, bunga hayal berbuah
kecambah muda mudah goyah
angin dari barat
ke timur membelai batuan karang
kayuh rayuan ke seribu pulau
serau nyiur sampai terberai
semak dan perdu
lelumut di batang tubuh
luluh.
“Koma” Cuma Sekali
aku belum mati
saat ini, di tempat sunyi
dimensi ketiga hampa kata
tiada larik hijau pelangi
merah delima dihitung jari
dirasa panca indra berganda
sekepal hati berbagi dua
: tuju surga atau neraka
sewindu telah di gerbang fana
mengetuk nama purwa sempurna
“aku dimana ?”
kau di depanku berduka.
Semut Pundak
Semut-semut pundak di muka dan halaman senggal-senggol mata dan pena
pagi tadi
sebelum ibu menyapu lantai manis gula, mereka sibuk juga berbenah
“cepat !” kataku
“nanti dulu,” kata ibu
“berpencar !”
kaki meja tulisku jalan pelarian
“naik !”