Soe Hok-gie, Inspirator Kaum Muda

Judul Buku : SOE HOK-GIE?Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya
Penulis : Rudy Badil, dkk
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Desember 2009
Tebal : xl + 512 Halaman
Harga : Rp. 50.000
Peresensi : A Qorib Hidayatullah
http://indonimut.blogspot.com/

Meski Soe Hok-gie mangkat di usia muda (27), banyak teladan perjuangannya yang perlu kita warisi. Hok-gie pemuda energik jebolan Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini Fakultas Ilmu Budaya UI) yang kritis atas kebijakan-kebijakan politik rezim Orde Lama.

Di tengah kecintaannya mendaki gunung, Hok gie meninggal pada 16 Desember 1969 di gunung Semeru Jawa Timur. Mula-mula, ia bersama 7 orang temannya dari Jakarta hendak mencicipi eksotisme Gunung Semeru. Tak ayal, 2 orang (Soe Hok-gie dan Idhan Dhanvantari Lubis) dari rombongan tersebut meninggal disebabkan hipotermia dan kekurangan oksigen di ketinggian 3.400 meter di puncak Mahameru.

Hok-gie merupakan ikon pelopor pergerakan mahasiswa. Di tahun 60-an, Hok-gie ditengarai kritis terhadap rezim Orde Lama lewat tulisannya. Hok-gie selain demonstran jalanan, ia juga kolomnis di beberapa media. Tulisan dijadikan Hok-gie sebagai senjata kritik terhadap rezim penguasa waktu itu. Suatu ketika, Hok-gie mengirim surat kepada Benedict Anderson, ?Saya merasa semua yang saya tulis dalam artikel-artikel saya adalah sejumput petasan. Dan saya ingin mengisi semuanya dengan bom!.?

Buku ini mengungkap kembali perjuangan-perjuangan Hok-gie yang tampak luar biasa. Di bab-bab awal tulisan yang terangkum di buku ini memaparkan kegemaran Hok-gie mendaki gunung. Kawan-kawan Hok-gie (Rudy Badil, Herman O Lantang, Luki Sutrisno Bekti, Nessy Luntungan R, dan lain-lain) membuka ingatan kembali mengenang antusiasme Hok-gie pada alam 40 tahun silam.

Kecintaan Hok-gie pada keindahan alam pegunungan bukan tanpa alasan. Hok-gie mendaki gunung sebab ia ingin mendapat ketenangan di tengah carut marut politik dan menguatnya kediktatoran Orde Lama.

Sikap kritis Hok-gie dipraktikkan secara konkret. Ia memisahkan sosok Soekarno sebagai pribadi dan Soekarno sebagai Kepala Negara. Dia tak menyembunyikan rasa simpatinya terhadap Bung Karno yang dikucilkan pasca makzul dari kekuasaannya. Sikap itu, Hok-gie tegaskan dalam berbagai pernyataan atau artikel yang dimuat Kompas, Sinar Harapan, atau Mingguan Mahasiswa Indonesia (hlm. xxvi).

Di bab-bab akhir buku setebal 512 halaman ini membeberkan kekritisan Hok-gie yang menyala-nyala. Hok-gie adalah mahasiswa yang mengusung nilai-nilai idealisme murni. Ia penganut paham humanis universal dalam pergerakannya. Sebagai moralis, Hok-gie tak mau akrab dan mengabdi di bawah kekuasaan Orde Lama. Kendati pun ada kawan-kawan seangkatannya yang memilih jadi anggota DPR, Hok-gie malah membuat jarak dengan mereka.

Selain cinta alam, Hok-gie gemar diskusi. Di kampus, Hok-gie menggawangi diskusi-diskusi kritis tentang politik, sosial, sejarah, dan sastra. Tradisi membaca Hok-gie sangatlah kuat. Al-hasil, ia kerapkali dijuluki oleh teman-temannya sebagai perpustakaan berjalan.

Membaca buku ini menghantarkan pada kompleksitas diri Hok-gie. Hok-gie tak hanya lihai berdemonstrasi, ia juga merayakan pesta dan cintanya. Sungguh Hok-gie inspirator bagi kaum muda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *