Intan Ungaling Dian
wartakota.co.id
KOMIK tak ubahnya seperti karya seni rupa lainnya yang memiliki nilai seni tinggi. Bahkan, komik bisa mengandung ideologi tertentu, persoalan personal, kehidupan, dan bisa mencerdaskan pembacanya.
Sepertinya karya novel grafis yang sarat dengan muatan ideologi akan menjadi tren baru dalam dunia perkomikan. Demikian yang mengemuka dalam diskusi Novel Grafis “Will Eisner dan Novel Grafis” di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (16/2).
Hadir sebagai pembicara Seno Gumira Ajidarma, penulis yang juga pencinta komik, dan acara dipandu oleh Hikmat Darmawan yang juga pencinta komik. Peserta diskusi antara lain para komikus, pelukis Danarto, dan penerbit Nalar JB Kristanto yang menerbitkan trilogi novel grafis karya Will Eisner berjudul A Contract with God.
Menurut Seno Gumira Ajidarma (SGA), kebanyakan orang masih mendikotomikan komik dengan karya seni lainnya, seni tinggi dan seni rendah. Dan, komik cenderung dilecehkan sebagai karya seni. Untuk meninggikan komik dalam peta seni dunia, Will Eisner (1917-2005) dari Amerika Serikat membuat novel grafis.
Novel grafis berjudul A Contract with God (1978) itu berjaya hingga sekarang dan sudah meraup 207 juta dolar AS pada tahun 2004. Novel itu diterjemahkan ke dalam 11 bahasa, termasuk diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Nalar.
Menurut SGA, komik yang sudah dikenal masyarakat dengan novel grafis tidak berbeda. Namun, di novel grafis terdapat kepentingan ideologis dan penciptaan identitas diri. Novel grafis juga dikategorikan ke dalam golongan komik dewasa karena mengangkat persoalan kehidupan, mendukung nilai- nilai klasik, dan sastra. Seperti karya novel grafis yang diangkat dari karya Tolstoy atau Chekov. Selain itu, komik dewasa juga mengangkat adegan- adegan seks dalam panil gambarnya. Tetapi, adegan seks kerap diprotes masyarakat.
JB Kristanto mengatakan, pihaknya tertarik menerbitkan novel grafis karena karya Eisner itu sebagai mahakarya. Trilogi novel grafis dikerjakan dalam rentang waktu 20 tahun. Novel ini diciptakannya pada usia senja, 70 tahun. Ia mengatakan, menerjemahkan novel grafis bukan hanya menerjemahkan bahasanya, tetapi juga menerjemahkan kebudayaan.
Misalnya, dalam komik A Contract with God itu terdapat kumpulan imigran dari seluruh dunia yang campur aduk bahasanya, kemudian membentuk bahasa sendiri. Nalar kesulitan dalam mencari terjemahan kata dalam bahasa Indonesia, seperti kata-kata slank yang digunakan oleh mafia Italia.
“Mencari terjemahan kata-katanya setengah mati,” tuturnya. Ia pun tetap mempertahankan kata-kata aslinya dan menggunakan catatan kaki untuk menerjemahkannya.
Hikmat Darmawan mengatakan, komik Indonesia terkendala dengan pemasaran, jarang laku jika dibandingkan komik impor. Ia juga mempertanyakan apakah akan laku jika komik dewasa dijual di Indonesia?
Danarto beranggapan komikus Indonesia mampu membuat komik dewasa tersebut. Ia mengusulkan untuk mengatasi rendahnya minat atau kegemaran masyarakat terhadap komik dengan membuat komik dewasa. “Bagaimana kalau diatasi dengan komik erotis?” katanya. Ia menyatakan, komikus Indonesia masih malu-malu dalam mewujudkannya.
Will Eisner: Bapak Novel Grafis
Will Eisner yang berdarah Yahudi dilahirkan 6 Maret 1917 di Brooklyn, New York. Saat mengikuti wajib militer pada Perang Dunia II, ia tidak kehilangan kemampuan menggambar. Kemampuannya itu ikut mencerdaskan tentara- tentara Amerika karena ia membuat buku panduan peralatan perang dengan memakai gambar.
Karyanya yang berjudul A Contract with God (1978) yang kemudian berlanjut di komik ke-2 A Life Force, dan ke-3 Dropsie Avenue, menjadi trilogi novel grafisnya yang terkenal. A Contract with God atau Kontrak dengan Tuhan itu semiotobiografinya. Trilogi pertama A Contract with God bertutur tentang seorang laki-laki yang marah terhadap Tuhannya. Ia kehilangan anaknya karena sakit leukemia.
Dalam karyanya, Will Eisner kerap menggambarkan hujan, ruang gelap, dan bayangan. Ia juga memasukkan prinsipnya, kata-kata dalam komiknya sebagai bagian dari panil gambar dan panil-panil gambar yang berurutan.
Ia mengembangkan dan mengeksplorasi bahasa komik menjadi bahasa yang berseni. Kata-kata di komiknya itu mengangkat problem kehidupan. Ia pun melahirkan berbagai karya, antara lain sisipan komik 16 halaman yang dimuat di The Spirit (1940). Karyanya tersebut menjadi sindikasi bagi koran untuk mengikuti tren buku komik superhero dan komedi aksi.
Ia juga membicarakan berbagai instrumen dalam bahasa komik melalui 2 buku, yakni Comics & Sequential Art (1985) dan Graphic Storytelling (1996). Will Eisner juga meraih Lifetime Achievement Award yang diberikan oleh National Foundation for Jewish Culture tahun 2002.
***