Zawawi Imron: Tak Ada Alasan untuk Tidak Mencintai Indonesia

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Hingga tak terpikir lagi bagi kami untuk membayarnya, lalu kami tambah lagi dengan utang-utang baru. Barangkali utang itu sejenis iblis yang tidak boleh memasuki pintu rumah kami. Kalau utang itu telah menjadi bulu rambut dan bulu ketiak dan tak sempat kami lunasi….

Jakarta ? Petikan puisi bebas itu adalah salah satu puisi yang dibacakan penyair D Zawawi Imron selain sajaknya yang lain seperti ?Ibu? dan ?Zikir?, yang dia lantunkan sesuai orasi budaya di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (28/11).

?Zawawi lebih memikat dalam membacakan puisinya,? ujar sastrawan Imam Mutahrom, seusai acara orasi sekaligus pembacaan karya oleh penyair asal Batang-batang Madura itu. Namun, Zawawi memang punya cara tersendiri dalam mengawali, merangkai dan mengalirkan pendapatnya tentang kebudayaan.

?Kalau di desa, dengan Rp 500, kita bisa makan pagi, makan siang lontong soto Rp 1.000, dan makan malam seharga Rp 1.500. Di Jakarta uang sebesar itu cuma bisa kencing tiga kali di terminal,? ujarnya yang disambut tawa para hadirin.

Jenaka, itu gaya Zawawi. Penyair ini kemudian menyuarakan ?romantisme agraris?-nya.
Demikianlah si penyair yang dijuluki si ?Clurit Emas? itu berkisah tentang manusia yang berbeda dengan binatang, tak bisa seenaknya, penuh rambu-rambu moral. Manusia sejak kecil harus sudah bersekolah, harus pintar, harus jujur, harus mandi, harus pakai sabun, harus bikin rumah, harus bikin pabrik, harus demokrasi dan puluhan ribu harus yang lain.

?Jadi, dengan menghindari diri berlagak dengan gaya binatang, sebenarnya seorang manusia hanya menjalankan kodratnya sebagai manusia. Apa sulitnya seorang manusia menjalankan kodratnya sebagai lazimnya manusia,? ujar Zawawi, retoris.

Di depan podium Teater Kecil itu, lelaki pensiunan pegawai negeri Departemen Agama yang juga kerap di sapa ?Pak Haji? dan hingga kini senantiasa berdakwah itu, mengomentari kemanusiaan yang pernah diucap Sayidina Ali bin Abi Thalib yang pantas untuk direnungkan, ?Tidak lapar orang miskin kecuali karena rakusnya orang kaya.? Menurut pemahaman ini, sebenarnya rezeki dari Tuhan untuk manusia telah cukup.

Dari orasinya ini, Zawawi kemudian menyebutkan positif dan negatif dari sisa penjajahan Belanda, karena bagaimanapun adanya penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 telah membawa bangsa Indonesia kepada wawasan baru dan modern.

?Namun, model pendidikan kita agaknya masih merupakan kelanjutan dari sisa pendidikan kolonial. Anak didik pedesaan diajak seperti anak Jakarta. Jarang ada keterampilan yang diajarkan sesuai dengan alam desa dan alam pesisir.

Anak-anak petani tidak ditanami penghayatan mendalam terhadap aroma lumpur sawah dan tanah tegalan, serta anak nelayan tidak diajar terampil menebar jala dan mengembangkan layar. Akibatnya sesudah tamat SMA sebagian mereka menjadi anak yang gagap untuk bekerja di desanya sendiri,? ujar Zawawi.

Dibuka oleh Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Marco Kusumawijaya, Zawawi pun berorasi puitik: ?… Nanti bila saatnya kita mati, kita akan dikubur dalam pelukan bumi Indonesia. Daging kita yang meleleh akan bersatu dengan bumi Indonesia. Tak ada alasan untuk tidak mencintai tanah air. Tidak ada alasan untuk tidak menyantuni bangsa,? lantunnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *