Khairul Jasmi
http://www.infoanda.com/Republika
Papa adalah Kata-kata
Mulut manis pemimpin-pemimpin kecil:
‘semuanya swa-sembada’ hai, ini slogan tak bertenaga
Kita harap insinyur-insinyur muda
Jangan buat rencana saja.
Semoga tahun datang Tuhan begitu ramah
memberi hujan, padi berbuah runduk
ketela padat berisi
Itik dan ayam bertelur banyak
(Rusli Marzuki Saria 1965)
Rusli Marzuki Saria, akrab dipanggil Papa, adalah guru zaman. Guru bagi penyair-panyair Sumatra Barat. Lelaki yang tak pernah tua ini, telah memberikan kehidupannya bagi perkembangan dunia sastra di daerah itu. Ia cukup lama, seperti berjalan seorang diri. Baru pada dua generasi di belakangnya muncul sejumlah penyair-penyair muda. Karya-karyanya, bersahaja, dimengerti, dan gurih dibaca. Papa yang tetap energik, tetap berkarya dan tetap memberikan perhatian bagi dunia sastra di daerah itu.
Dan pada tahun 2006 ini, Papa genap berusia 70 tahun. Sebuah acara sederhana diadakan di Padang akhir April lalu. Acara tersebut digelar di Taman Budaya Padang yang diprakarsai teman-temannya sendiri. Dalam acara itu, puisi-puisi Papa pun dibacakan.
Papa adalah kata-kata. Ia lahir di negeri kata-kata, Minangkabau. Mantan angota Brimob ini, kemudian lebih menyukai dunia kata-kata itu ketimbang dunia kepolisian. Ia cabut dan terjun ke dunia sastra. Ia asuh ruang rubrik budaya di Harian Haluan. Lewat lembaran budaya itulah, banyak penyair dan cerpenis lahir di Sumbar dan Riau.
Karena itu, Papa adalah guru mereka, seorang guru yang melangkah dengan ringan ke mana saja ia hendak melangkah. Ia adalah salah satu contoh penyair daerah itu, yang amat konsisten dengan dunianya. Dari 70 tahun usianya, 50 tahun ia habiskan untuk mengurus sastra, khususnya puisi-puisi. Menurut penyair Padang, Yusrizal KW, Papa adalah penyair yang selalu bisa hadir di setiap generasi. Karena itu, ia senantiasa menjadi teman bagi generasi yang ia temui.
Papa sendiri menyebutkan, baginya dunia sastra adalah dunia yang lapang dengan banyak jendela untuk melihat keluar. Dari dunia itu, kemudian Papa melihat, mencacat semua yang terjadi. Bait syair di atas adalah salah satu contohnya. Sajak berjudul Selamat Malam Ya Malaikat, Selamat Malam Ya Tuhan, itu , merekam suasana pada tahun 1965 ketika sajak itu dibuat. Sajak ini diawali dengan:
Ada bulan lingkar ketiding bagai tersenyum pelan-pelan padaku Serasa aku balik 19 tahun
Erlin manggil Papa!
Kami dalam lingkar penderitaan
Bersama berdoa lalu berterima kasih
Ya, Tuhan
Kami tidak menagih.
Di sebuah kamar sewa di kota
Terkaca ladang rendah, sawah berbandar langit
Ah, lekangnya
Tapi jatuh semen ke mana?
Ada kritik sosial di situ, semen hilang entah ke mana, padahal di Padang ada pabrik semen. Insinyur-insinyur asyik berteori, sementara sawah dan ladang retak oleh garangnya panas. Kehidupan sulit, ke mana hendak mengadu. Kepada Tuhan, mereka berdoa. Sebuah doa dari orang-orang miskin.
Rusli Marzuki Saria, lahir di Kamang, Kabupaten Agam Sumbar pada 26 Februari 1936. Ia tamat SMA bagian A tahun 1957. Tahun 1955 ia mulai menulis. Puisinya dimuat di sejumlah majalah di Indonesia, antara lain Konfrontasi, Panji Masyarakat, Budaya Jaya, Mimbar Indonesia, Basis, dan Horison. Selain itu juga dimuat di surat kabar Sinar Harapan, Indonesia Raya, dan tentunya di Haluan, tempat ia menjadi jurnalis.
Kumpulan sajaknya: Pada Hari Ini, Pada Jantung Hari, Antologi Monumen Safari (Penerbit genta, Padang), Ada Ratap, Ada Nyanyi (Penerbit Puisi Indonesia), Sendiri-sendiri, Sebaris-sebaris, dan Sajak-sajak Bulan Februari (Penerbit Puisi Indonesia). Selanjutnya Sembilu Darah (lima kumpulan sajak diterbitkan Dewan Kesenian Sumatra Barat tahun 1995).
Selain itu beberapa puisinya juga dimuat dalam antologi Tonggak dan antologi Puisi ASEAN. Sebagai seorang penyair, ia telah melangkah bersama sajak-sajaknya ke banyak tempat di Indonesia dan juga ke negeri asing. Padsa tahun 1977, Papa menerima Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan sajak Sembilu Darah.
Papa yang menjadi wartawan sejak 1969 ini, pernah pula menjadi anggota DPRD Padang. Meski menjadi wakil rakyat, ia tetap seorang penyair, yang suka tersenyum pada banyak orang. Papa adalah sosok yang benar-benar mengetahui seluk-beluk perpuisian Indonesia. Sayang, ia bukan orang Jakarta. Ia tetap saja orang daerah.