Igk Tribana*
http://www.balipost.co.id/
Guru selalu mengingatkan muridnya ketika pakaian anak didiknya melanggar aturan sekolah, lebih-lebih yang mengarah ke penampilan yang kurang sopan — penampilan seksi. Ambil contoh, pelajar putri sengaja memendekkan ukuran rok dan bajunya demi ikut trend. Karena pengaruh film remaja yang menggunakan anak sekolah sebagai objeknya, tampaknya para pelajar selalu ingin “gaul” sehingga muncul kecenderungan meniru model penampilan para idolanya itu.
KONDISI seperti itu bisa merangsang lawan jenisnya — remaja pria — untuk berbuat yang kurang sopan. Inilah salah satu alasan orang berunjuk rasa ke DPR untuk secepat mungkin mengesahkan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP) menjadi UU. Kalau nanti RUUAPP disahkan, banyak pihak berharap tugas guru bisa diringankan. Benarkah diringankan? Tunggu hasilnya.
Sesungguhnya, jauh sebelum RUUAPP diwacanakan, dunia pendidikan sudah mengambil bagian namun hasilnya belum optimal. Tentu menyelesaikan persoalan pornografi dan pornoaksi tidak semudah melakukan unjuk rasa untuk mendesak mengesahkannya. Kalau tergesa-gesa justru memunculkan masalah, hal itu akan menimbulkan keresahan karena pengertian pornografi dan pornoaksi kurang jelas.
Sekurang-kurangnya, sejumlah guru mata pelajaran sastra ikut resah. Jangan-jangan guru sastra dalam menggunakan buku sastra bisa berurusan dengan penegak hukum. Guru sastra menjadi ragu pula memilih novel walau karya itu termasuk bernilai sastra. Betapa tidak ragu-ragu, beberapa buku sastra seperti karya Putu Wijaya sampai Ayu Utami bisa saja dikatakan orang berbau porno. Bukankah tuduhan porno ini akan mengganggu pembelajaran apresiasi sastra?
Guru sastra bisa saja dikenakan hukuman dengan tuduhan melanggar UUAPP kalau pengertian pornografi dan pornoaksi kurang jelas. Selama ini, pengertian pornografi maupun pornoaksi bagi sebagian guru sastra adalah buku cerita yang dapat merangsang gairah nafsu birahi pembacanya tanpa memberikan nilai-nilai moral yang menambah wawasan dan kedewasaan berpikir si pembaca. Isu yang diangkat biasanya soal seks dan identik dengan kepornoaan. Artinya, buku itu hanya bersifat “menghibur” belaka dan biasanya ada pada kios sewaan komik. Dalam sejarah sastra, buku semacam ini disebut buku cerita picisan — karena harganya sepicis. Karenanya, guru sastra sering memberi pemahaman bahwa buku itu bukan bernilai sastra. Pelajar pun disarankan tidak membaca buku seperti itu dalam kaitan pembelajaran apresiasi sastra.
***
MARI ambil contoh cerita yang dapat dikatakan porno walaupun pakar sastra belum pernah ada yang mengatakan begitu. Dalam novel “Merdeka” karya Putu Wijaya (1994), diceritakan seorang anak bernama Merdeka sedang mengetes bagian tubuh ayahnya yang sudah meninggal. Merdeka merasa berhak mewarisi apa saja yang dimiliki ayahnya. Ketika alat vital sang ayah dites, ternyata kondisinya masih “tokcer”. Merdeka, sebagai ahli waris ingin memanfaatkan milik sang ayah yang masih “tokcer” itu. Dengan bantuan seorang dokter dipasanglah alat vital dari sang ayah itu di kepalanya.
Pada cerpen berjudul “Los” (1977), Putu Wijaya mengisahkan seorang anak yang bertanya kepada ibunya, apakah si ibu masih suci pada waktu kawin dengan si ayah. Kemudian pertanyaan yang sama disampaikan pula kepada si ayah. Kedua orangtuanya tidak memberi jawaban. Mendengar kata “suci” dalam konteks perkawinan, mau tak mau akan bersentuhan dengan pornoaksi. Secara sepintas cerita ini sepertinya porno. Demikian pula pada monolog “Memek” (pernah dipentaskan pada Pesta Kesenian Bali 2003), Putu Wijaya berkisah, bahwa untuk memberi pemahaman kepada muridnya, seorang ibu guru terpaksa membuka roknya di hadapan muridnya demi sebuah kejujuran. Akhirnya “si memek” kelihatan. Melihat itu, semua murid kaget seperti kesurupan. Belum pernah pula penikmat berkata bahwa cerita ini porno, sebab sama sekali tidak mengarah pada upaya merangsang munculnya nafsu birahi, melainkan perenungan.
Ayu Utami, dalam novel “Saman” (1998) dan “Larung” (2001), tidak merasa ragu untuk mengemukakan masalah seksual. Bagian-bagian alat seks itu diberi penjelasan beserta fungsinya secara gamblang. Misalnya, dalam “Larung” ada kalimat “…Tetapi membiarkan lelaki masturbasi dengan payudara kita bukanlah pengalaman yang menyenangkan kalau terus-terusan. Tetek bukan diciptakan untuk…” (hal.82).
Apa yang sebelumnya tabu untuk dibicarakan ternyata didobrak oleh Ayu Utami. Tampaknya Ayu Utami tak suka bicara secara sembunyi-sembunyi soal seks walau mungkin dikatakan porno.
Kemudian apa kata para pakar sastra dan para sastrawan terhadap karya Ayu Utami? Belum ada pula yang mengatakan bahwa Ayu Utami termasuk pengarang yang mengeksploitasi masalah seks dalam menghasilkan karya sastra. Demikian pula belum pernah terdengar ada pembacanya terangsang nafsu seksualnya gara-gara membaca karya Ayu Utami itu. Bahkan, buku ini pernah termasuk best seller bukan lantaran mengangkat soal organ seks manusia secara gamblang, melainkan terobosan Ayu Utami dalam menulis karya sastra.
***
ISU seks dalam karya sastra bukanlah masalah baru. Dalam karya sastra lama pun sudah ada. Contohnya cerita rakyat di Bali. Betara Siwa pura-pura sakit untuk mengujikan sang istri berkaitan perselingkuhan. Obatnya tiada lain susu lembu. Begitu sang istri pergi mencari susu lembu, Betara Siwa berubah wujud menjadi pengembala lembu. Pengembala lembu tidak akan menyerahkan susu lembu jika tidak melakukan perselingkuhan. Cerita ini jelas bersentuhan dengan pornoaksi.
Pun dalam mitos lahirnya Betara Kala. Betara Siwa yang terangsang untuk melakukan hubungan suami-istri mengakibatkan kama-nya menetes. Dari kama yang menetes ini menjelmalah Betara Kala. Walau demikian, belum pernah ada yang mengatakan bahwa gara-gara cerita ini orang menjadi terangsang untuk melakukan penyimpangan seksual. Justru sebaliknya, cerita ini memberikan nilai-nilai moral kepada penikmatnya agar tidak melakukan hubungan seksual semata-mata untuk memenuhi hawa nafsu.
Tegasnya, kalau saja pengertian pornografi dan pornoaksi kurang jelas, maka akan timbul dampak yang kurang baik dalam pembelajaran apresiasi sastra. Orang akan mudah memberi tuduhan melanggar UUAPP kepada guru sastra. Bukan saja kreativitas seniman sastra yang dipasung, kebebasan para penikmat sastra juga dibatasi. Dalam konteks ini kondisi pembelajaran apresiasi sastra akan mengalami suasana yang kurang baik karena dihantui rasa takut — jangan-jangan nantinya berurusan dengan aparat hukum.
Karenanya, sebelum disahkan, RUUAPP perlu dikaji dari berbagai segi, sekurang-kurangnya memberi batasan yang tegas pengertian pornografi dan pornoaksi khususnya dalam konteks karya seni. Desakan segelintir orang yang mengatasnamakan rakyat untuk cepat-cepat mengesahkan RUU itu perlu dicermati.
*) Igk Tribana, guru SMAN 6 Denpasar