Aguslia Hidayah
korantempo.com
Pameran ini melibatkan 30 perupa dari berbagai kecenderungan dan medium.
Soekarno bisa tampil banyak versi. Sambil duduk, pidato, dalam gelas anggur, di tengah roda ban mobil, bahkan pada kepompong yang bergelantungan. Kadang ditemani Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir atau satu bingkai dengan Tan Malaka. Ia bisa juga berapi-api sendirian meneriakkan arti kemerdekaan.
Refleksi inilah yang muncul ketika para senirupawan mengungkapkan kalimat-kalimat sakti dari Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, R.A. Kartini, Tan Malaka, dan Rohana Kuddus. Refleksi tersebut berupa teks, naskah pidato, artikel, ataupun surat dan catatan harian.
Semua terangkum dalam pameran seni rupa bertajuk “Dari Penjara ke Pigura” di Komunitas Salihara, 17 Oktober-6 Desember 2008.
Tengoklah sosok Soekarno yang semringah ketika memegang kabel bohlam menyala karya Isa Prakasa. Sinar bohlam dalam lukisan berjudul Sinar Indonesia itu mewakili sebuah gagasan kemerdekaan dalam pemikiran Bapak Proklamator.
Ada pula Soekarno cilik yang berkumandang di kerumunan mikrofon. Meski cilik, dalam lukisan Yuswantoro Adi yang berjudul Soedah Soekarno itu Soekarno tetap berpenampilan sebagai sosok yang gagah nan berwibawa: bersafari, peci, dan kacamata hitam.
Suasana perjuangan juga mampir dalam pameran. Kala proklamasi hendak dikumandangkan, gerbong-gerbong penuh sesak oleh rakyat jelata, yang siap mendengar orasi. Karya Merdeka atau Mati itu milik Djoko Pekik. Keinginan para tokoh revolusi untuk lepas dari belenggu penjajah diukir Hanafi dalam karyanya, Kami Ingin.
Pameran ini juga menyuguhkan seni instalasi. Masih dalam suasana semangat membara, karya Agapetus bertajuk Slsyphus mewakili kobaran itu terhadap sosok pria di tengah ban besar. Ia susah payah mendorong roda agar berputar ke depan.
S. Malela Mahargasarie memboyong sebuah kursi panjang reot dari bambu ke ruang pameran. Sang kursi dipajang di belakang lukisan bertajuk Kesaksian I miliknya. Lukisan itu menggambarkan Soekarno tengah duduk ditemani Hatta dan Sjahrir. Kehadiran kursi ini seperti hendak memperkuat gagasan yang disampaikan dalam lukisan itu.
Sementara itu, Nus Salomo dengan Legacy Cocoon menggantung kepompong berbahan sejenis gips di langit-langit. Beberapa di antaranya terang oleh bohlam, dan yang lainnya redup. Karya itu seperti mengisyaratkan dua dunia, dua suasana: siang-malam, terang-redup, sedih-gembira.
Kurator pemeran, yang terdiri atas Asikin Hasan, Goenawan Mohammad, Hasif Amini, Nirwan Dewanto, dan Sitok Srengenge, hendak menyuarakan kebebasan dengan sesuatu yang penuh gelora, haru, cemas, dan geram dalam pameran ini. “Seperti yang pernah ditorehkan dari penjara dan tempat pengasingan,” tulis mereka dalam pernyataan kuratorial yang ditempel di ruang pamer.
Tim kurator tak mengotakkan seni ke dalam lingkup sempit. “Karena teks (yang menjadi inspirasi) memang sama sekali tak bisa dikendalikan dan dibatasi,” ujar mereka. Karena, memang demikianlah yang terjadi, tidak mengikat pada keharfiahan, malah bisa lepas dari inti teks yang menjadi pencitraan sang tokoh kemerdekaan.
Pameran yang melibatkan 30 perupa dari berbagai kecenderungan dan medium ini adalah sebuah bunga rampai tentang kemerdekaan dan kebangsaan. “Kami pun percaya setiap karya mampu menempuh arah yang berlainan. Maka kita tidak membutuhkan semacam garis haluan untuk merangkum atau meringkas seluruh karya yang hadir.”
Namun, dari sekian banyak tokoh pahlawan kemerdekaan, hanya sosok Soekarno yang dominan. Itu membuat aura tokoh lain, semisal Mohammad Hatta dan R.A. Kartini, seperti tenggelam.
***