Energi Baru Achdiat

Nurdin Kalim, L.N. Idayanie
majalah.tempointeraktif.com

Sastrawan angkatan Pujangga Baru, Achdiat Kartamihardja, ramah melayani puluhan penggemar yang antre meminta tanda tangan. Jari-jarinya yang sudah tampak keriput bergetar saat menorehkan pulpen di buku Manifesto Khalifatullah, Rabu sore pekan lalu, dalam acara peluncuran buku terbarunya itu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. “Saya sangat bahagia bisa datang lagi ke sini,” ujar kakek yang 43 tahun terakhir menetap di Canberra, Australia, itu dengan sumringah.

Buku setebal 219 halaman yang diterbitkan Arasy Mizan, Bandung, itu bukanlah roman atau novel. Achdiat lebih suka menyebutnya “kispan” atau kisah panjang, sebagai pengganti istilah novelet.

Kisah panjang itu lahir dari pergumulan pemikiran dan keyakinan Achdiat, dalam menjalankan kegiatan keagamaan. Sekaligus merupakan proses perenungan makna hidup. Lewat buku tadi, ia kembali mengingatkan tujuan hidup manusia sebagai wakil Tuhan di dunia.

Lebih dari setengah abad lalu, saat berusia 37, Achdiat menulis roman Atheis. Roman sensasional yang berbicara tentang proses pencarian Tuhan. Dalam Khalifatullah, pencarian itu telah selesai. Buku itu lebih banyak mempertanyakan peran manusia di dunia yang kini diliputi pemikiran sekuler.

Sementara pada 1949 ia menentang ateisme lewat Atheis, kini lewat buku terbarunya itu, “Saya ingin menentang sekularisme,” ujar ikhwan Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah dari Pesantren Godebag, Tasikmalaya, Jawa Barat itu. Pimpinan pesantren itu ayah dari Abah Anom, pemilik pesantren Suryalaya.

Achdiat mengisahkan dua peristiwa menarik yang kemudian menjadikan energi untuk menulis kisah panjang itu. Suatu hari dalam perjalanan dengan kereta api Canberra-Sydney, Achdiat berkenalan dengan seorang turis Amerika. Keduanya lantas terlibat perbincangan pelbagai hal, dari topik ringan hingga soal yang berat.

Dalam salah satu topik percakapannya mengenai Tuhan, sang turis, yang menganut paham sekuler, berkeyakinan bahwa Tuhan, dalam kehidupan alam semesta ini, tidaklah memiliki peran yang penting atau bahkan tak ada sama sekali. Yang mahapenting adalah manusia, yang berarti segala-galanya di alam semesta.

Di lain kesempatan, dalam jamuan makan di rumah koleganya di Canberra, Achdiat kembali terlibat perbincangan tentang Tuhan. Menurut tuan rumah, manusia adalah ciptaan alam. Tidak ada Yang Maha Pencipta. “Alam sendiri itulah Sang Maha Pencipta,” kata koleganya itu. Achdiat tak sependapat. Bagi dia, alam harus ada yang menciptakannya, yang tak lain adalah Tuhan. Perbincangan itu memang tak dimaksudkan mencari titik temu.

Namun dua peristiwa itu terus mengusiknya. Dan Achdiat terpompa mendalami aliran filsafat sekularisme itu melalui buku-buku. Hingga suatu hari, hasratnya kian menggebu untuk merespons sikap hidup sekularisme dalam bentuk semacam novel bertema imaniah-agamawi. “Saya langsung teringat kisah tentang khalifatullah,” ujarnya.

Sayang, semangatnya yang menggebu terhambat kondisi penglihatannya yang buruk akibat penyakit katarak yang telah dideritanya sejak sepuluh tahun terakhir. Terlebih oleh dokter dirinya dinyatakan terkena glaukoma, sehingga matanya terancam buta.

Beruntung, atas bantuan juru ketik dari Kedutaan Besar RI, Titin Fatimah, akhirnya ia bisa menyelesaikan buku itu. Proses penulisan buku itu melalui dua tahap. Pertama, ia merekam gagasannya yang ada di kepala lewat alat perekam. Lalu, rekaman suara tadi dialihkan ke bentuk tulisan oleh Titin Fatimah. “Proses pembuatan Khalifatullah sekitar dua sampai tiga bulan,” kata ayah empat anak, kakek 10 cucu dan 7 cicit itu menjelaskan.
***

Lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, pada 6 Maret 1911, ia melewati masa kecilnya di lingkungan santri sebagai anak menak (priayi Sunda). Ayahnya, Kosasih Kartamihardja, pegawai sebuah bank rakyat di Kabupaten Garut. Sedangkan ibunya adalah adik seorang Wedana Ciawi, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Setamat sekolah rendah (HIS), Achdiat melanjutkan ke MULO (setingkat SMP) di Bandung. Saat itulah, ia mulai keranjingan membaca buku karya sastrawan besar dunia koleksi ayahnya. Antara lain, buku William Shakespeare, Alexander Dumas, Leo Tolstoy, dan Multatuli. Boleh dibilang, buku-buku itulah yang telah mendorongnya menjadi seorang pengarang.

Anak kedua dari tujuh bersaudara itu kemudian melanjutkan ke AMS (setingkat SMA). Mula-mula ia masuk AMS Jurusan Bahasa dan Sastra Barat di Bandung. Tapi ia pindah ke AMS Solo, Jawa Tengah, Jurusan Bahasa dan Sastra Timur. Saat sekolah di Solo, Achdiat tinggal di rumah dokter Sulaeman Mangunhusodo, anak penggagas berdirinya Budi Utomo, dokter Wahidin Sudirohusodo. Padanyalah Achdiat banyak belajar.

Achdiat menuturkan pengalamannya ketika berada di kediaman dokter itu. Setiap malam purnama, Kanjeng Sinuhun Keraton Surakarta punya kebiasaan berkeliling kota dengan mengendarai mobil yang disopiri seorang Belanda. Klaksonnya memekik-mekik. Menurut tradisi, siapa saja yang berada di pinggir jalan yang dilalui mobil itu wajib berjongkok memberi hormat. “Dokter Sulaeman ikut berjongkok,” kata Achdiat seraya tertawa.

Pada 1932, Achdiat, yang satu kelas dengan penyair Amir Hamzah dan Sanusi Pane, akhirnya berhasil menamatkan sekolahnya di tingkat menengah. Sebenarnya ia ingin meneruskan kuliah di fakultas hukum. Tapi, karena saat itu sedang terjadi krisis (dikenal dengan malaise), dan ayahnya juga telah memasuki masa pensiun, ia pun kemudian memutuskan bekerja. Achdiat muda sempat bekerja di sejumlah media massa. Sebelum menjadi Kepala Redaksi Balai Pustaka, ia pernah menjadi redaktur Bintang Timur dan Mingguan Peninjauan, Betawi. Sambil bekerja, ia juga mengikuti kuliah-kuliah non-gelar filsafat Barat di Universiteit van Indonesia.

Mantan Kepala Jawatan Kebudayaan DKI itu banyak menulis esai dan kritik mengenai sastra, budaya, keagamaan, dan politik. Pada 1956, ia memperoleh Hadiah Sastra Nasional BMKN. Dan 15 tahun kemudian, ia mendapat kehormatan menerima Anugerah Seni dari Pemerintah RI.

Pada zaman ingar-bingar Orde Lama, mantan anggota Partai Sosialis Indonesia itu “menyingkirkan diri” ke Australia. Ia mengisahkan kepergiannya ke Negeri Kanguru itu diawali ketika suatu malam Profesor A.H. Jones dari Australian National University, Canberra, bertandang ke rumahnya di bilangan Galur, Jakarta Pusat. Jones mengundang Achdiat untuk mendirikan Departemen Kajian Indonesia di perguruan tinggi itu. Awalnya, Achdiat menolak. Tapi, karena dorongan istrinya, ia menyetujuinya. “Istri saya pengen ke luar negeri,” ujar mantan dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Jakarta, itu mengisahkan.
***

Kini Achdiat telah berusia 94 tahun. Kulitnya keriput, giginya pun sebagian besar sudah ompong. Langkahnya tertatih dibantu sebatang tongkat, yang telah tiga tahun belakangan setia menemaninya ke mana-mana. Penggemar banyak cabang olahraga itu kini hanya bisa berjalan-jalan di sekitar rumahnya. “Itu pun hanya mampu berjalan maksimal 20 menit,” katanya.

Di rumahnya yang sentosa di pinggiran Kota Canberra, Achdiat melewati hari tuanya bersama Tati Suprapti Noor, istrinya yang dinikahinya pada 9 Juni 1938. Pasangan ini selalu seiring sejalan. Tapi kondisi indra keduanya sedikit berbeda. Achdiat memiliki pendengaran dan ingatan masih cukup kuat, hanya penglihatannya yang sudah kabur. Sebaliknya Suprapti, yang kini 88 tahun, sudah sulit mendengar dan sering lupa.

Selain berjalan-jalan, Achdiat mengisi harinya dengan membaca, meski dengan susah payah dibantu surya kanta (kaca pembesar). Ia sangat ingin membaca lagi tulisan Sir Frank Macfarlaine Burneton tentang “mati sempurna”. Burneton adalah seorang profesor sains dari St. John Curtin School of Medical Research, Australian National University, yang pada 1960 meraih Hadiah Nobel bersama pakar ilmu kedokteran dari Inggris, Sir Peter Medawar.

Dalam tulisan Burneton dinyatakan, kalau hidup kita sehat, niscaya akan panjang umur. Lalu ditutup dengan “mati sempurna”. Bagi Achidat, orang yang baik dan mengalami “mati sempurna”, jika dalam detik-detik terakhir hidup manusia, ingat dan pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Achdiat berharap, kelak ketika maut menjemput, dirinya berada dalam kondisi seperti yang diyakininya.

Kini Achdiat masih memendam sejumlah impian, setelah Manifesto Khalifatullah diluncurkan. Dirinya masih ingin menerbitkan buku kumpulan cerpen religius. “Sekarang dalam proses penyelesaian.” Dan terakhir, ia ingin menulis kisah diri (otobiografi) yang diterbitkan Balai Pustaka. “Karena saya tumbuh dan dibesarkan oleh lembaga itu,” katanya.
***

Leave a Reply

Bahasa ยป