Pameran Lukisan “4As (For Us)”
Dwin Gideon
sinarharapan.co.id
Dominasi realis pada era kontemporer ini sangat terlihat pada gaya figuratif yang kerap hadir di berbagai lukisan. Penggambaran yang jelas terhadap hal-hal yang mewakili kenyataan adalah ciri-cirinya.
Karena itu, para pelukis yang non-figuratif pun menjadi tersisihkan. Mereka adalah para pelukis abstrak. “Seni lukis itu pada dasarnya hanya ada dua, yaitu realis dan abstrak. Pada masa sekarang, seni lukis abstrak adalah aliran yang ditepikan,” kata Pelukis Ikay Khairudin pada Konferensi Pers Pameran Lukisan 4 As (For Us) di Galeri Cipta II Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Kamis (11/12).
Namun dengan kenyataan yang seperti itu, bukan berarti seni lukis abstrak telah berakhir. “Para pelukis abstrak masih tetap intens dan serius dalam berkarya,” kata kurator Arief Bagus Prasetyo pada kesempatan yang sama.
Pameran lukisan bertajuk “For As (For Us)” adalah salah satu bukti bahwa gaya abstrak masih tetap eksis di ranah seni rupa Indonesia. Empat pelukis abstrak, Utoyo Hadi, Muhammad Faisal (Iconk), Ikay Khairudin, dan Nyoman Kardana, akan memamerkan karyanya dalam pameran yang digelar di Galeri Cipta II TIM ini, mulai 12-21 Desember 2008.
Gaya abstrak sendiri dituangkan dengan penampilan yang berbeda-beda oleh keempatnya. Ada sekitar 40 lukisan karya mereka yang dipamerkan kali ini. Utoyo menciptakan komposisi-komposisi abstrak yang sarat makna simbolis. Bentuk-bentuk dasar yang memiliki nilai simbolis universal, seperti lingkaran, persegi dan segitiga, kerap tampil pada karyanya. Hasilnya adalah lantunan aspirasi akan spiritualisme, mistisisme dan keanggunan harmoni kosmis.
Iconk adalah sosok pelukis yang giat melakukan eksplorasi dan eksperimentasi kreatif untuk menentang bentuk-bentuk seni rupa yang dianggap mapan. “Saya tidak mau kehilangan identitas aslinya demi menuruti permintaan pasar,” kata Iconk. Dalam pameran ini, Iconk menampilkan sejumlah lukisan abstrak berbahan karet.
Pelukis Ikay mengetengahkan drama piktorial yang tercipta dari tegangan antara kehampaan ruang terbuka dan kepenuhan struktur tertutup, ekspresi yang bergelora dan desain yang dingin, gerak dan diam, fluiditas dan soliditas.
Sedangkan Kardana, melihat realitas sebagai bentangan medan energi chaotic. “Karya-karya saya lebih banyak mewakili ide-ide akan fantasi tubuh,” katanya. Abstraksi gestural menjadi pilihan ekspresi Kardana untuk memvisualisasikan terbukanya ruang-ruang dinamis-realitas.
Bukan Subjek
Di tengah dominasi seni rupa figuratif, karya-karya bergaya abstrak memang bisa dikatakan termarginalkan. “Di dalam proses kreatif memang tidak ada kendala untuk menciptakan lukisan abstrak. Persoalannya justru ada pada eksistensi seniman itu sendiri,” kata Utoyo. Utoyo sendiri sudah mendalami seni lukis abstrak selama 33 tahun.
Dalam pengalamannya selama itu, Utoyo melihat bahwa marginalisasi terhadap seni lukis abstrak justru terjadi pada penempatan seniman atau pelukisnya yang bukan diposisikan sebagai subjek, melainkan justru sebagai obyek. Hal ini sangat jelas dapat dilihat pada penelaahan secara akademis terhadap seni lukis abstrak.
Di Amerika Serikat misalnya, ketika seni lukis abstrak dianggap telah menjadi marginal, maka studi akademis terhadap masalah itu pun langsung diarahkan pada senimannya sendiri. Seorang profesor seni, Prof Meyer, langsung bertemu dengan para pelukis abstrak untuk menemukan kendala-kendala yang mereka hadapi.
Prosedur yang sama tidak terjadi di Indonesia. Studi akademis terhadap masalah seni lukis abstrak justru tak menghadirkan senimannya secara langsung, melainkan lebih diserahkan kepada pengamat seni.
Akibatnya, masyarakat kadung menilai bahwa persoalan yang dihadapi para seniman abstrak adalah masalah finansial belaka. Kita tidak pernah tahu bahwa sekalipun seorang pelukis abstrak tidak bisa menjual lukisannya, namun ketika mereka bertemu dengan seorang kolektor, sebenarnya telah terjadi transaksi spiritual. Bagi seniman abstrak, kebahagiaan adalah nilai atas karya-karyanya. “Apa pun yang terjadi tetap akan membawa aura kebahagiaan,” kata Utoyo.
***