Choirotun Chisaan*
http://www.facebook.com/note.php?note_id=124351734697
Ada sesuatu mengganggu dalam benak dan pikiran saya ketika membaca catatan pinggir Goenawan Mohamad bertajuk “Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah” (Tempo, No. 3818/18-24/5/2009). Tulisan itu berisi pernyataan sikap Goenawan secara terbuka kepada masyarakat Indonesia. Dengan menggunakan bahasa “kami”, Goenawan mendukung keputusan politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat) memilih Boediono sebagai calon wakil presidennya. Barangkali, catatan pinggir itu lebih tepat disebut sebagai semata-mata pernyataan sikap dan dukungan Goenawan terhadap sosok Boediono, seorang ekonom dan teknokrat, yang akhir-akhir ini disibukkan dengan tudingan sebagai neoliberalis (Revrisond Baswir, Kedaulatan Rakyat, 20/6/2009).
Entah mengapa, dengan segera catatan pinggir Goenawan mengingatkan saya pada suatu peristiwa yang terjadi kurang lebih 52 tahun lalu. Saat itu, Maret 1957, tiga orang seniman Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer dan Kotot Sukardi bersama dengan seniman-seniman lain menyatakan sikap dan dukungan mereka terhadap “Konsepsi Bung Karno” (Lentera, Bintang Timur, 3/3/1963), suatu konsepsi yang kemudian dikenal secara luas sebagai “Manifesto Politik”. Ia menjadi dasar haluan negara. Ia menjadi landasan penerapan Demokrasi Terpimpin. Pandangan positif dan dukungan terhadap “Konsepsi Bung Karno” diberikan pula oleh seniman kenamaan Asrul Sani dalam sebuah esainya “Sumbangan Artis Film terhadap Pembangunan Jiwa Bangsa” (Asrul Sani, 1997).
Apa sebab para seniman memberi dukungan terhadap “Konsepsi Bung Karno”? Mereka meyakini, “Konsepsi Bung Karno” dapat melahirkan suatu forum resmi bagi perkembangan seni yang berwatak keindonesiaan dalam tugasnya menyelesaikan Revolusi Nasional (Lentera, Bintang Timur, 3/3/1963). Dalam konteks ini, Asrul bahkan mencontohkan keberhasilan Sovyet-Rusia dalam membangun negerinya, memusnahkan susunan hidup lama dan membangun kehidupan baru dengan mengikutsertakan kaum seni. Dalam pembangunan, khususnya pembangunan jiwa, demikian Asrul mengatakan, kaum seni memiliki kedudukan amat penting (Asrul Sani, 1997). Atas dasar itulah maka kaum seni bersedia turut melaksanakan “Konsepsi Bung Karno” dengan sadar dan penuh rasa tanggung jawab. Aspirasi, harapan dan cita-cita kaum seni tercermin di dalam “Konsepsi Bung Karno”.
Namun, sejarah berkata lain. Dalam perjalanannya, kaum seni pendukung “Manifesto Politik” dituding telah menjadikan seni sebagai subordinasi politik (Detik, No. 032 Th. XVII, 13-19/10/1993). “Manifes Kebudayaan”, yang ditandatangani oleh ? salah satunya ? Goenawan Mohamad, lahir sebagai perlawanan terhadap “Manifesto Politik” yang didukung para seniman dari organisasi-organisasi kebudayaan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Mengapa saya mengaitkan tulisan Goenawan dengan peristiwa yang terjadi kurang lebih 52 tahun lalu? Pertama, saya menempatkan Goenawan sebagaimana halnya Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi maupun Asrul Sani sebagai “seniman yang mendukung kebijakan presiden”. Goenawan memberi dukungan terhadap kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sementara Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi dan Asrul Sani memberi dukungan terhadap kebijakan Presiden Soekarno. Kedua, saya menempatkan Goenawan sebagai (salah satu) penandatangan “Manifes Kebudayaan”. Jadi, catatan pinggir Goenawan saya baca dalam kerangka pikir tarikan historis seperti itu. Ada Lekra (Henk Ngantung, Pramoedya Ananta Toer, Kotot Sukardi), ada Lesbumi (Asrul Sani), ada Manifes Kebudayaan (Goenawan Mohamad). Dua alasan ini cukup bagi saya untuk mempertemukan mereka, mempertemukan kedua peristiwa itu dalam bingkai “Sejarah Politik-Kebudayaan Indonesia 1960-an” dan menghadirkannya kembali dalam konteks kini. Sebuah reuni.
Jika dipahami dari sudut pandang pernyataan sikap dan dukung-mendukung kebijakan presiden, tak ada perbedaan antara dua peristiwa itu. Namun, jika dipahami dari sudut pandang “apa yang diperjuangkan” sehingga kaum seni menyatakan sikap dan memberi dukungan mereka terhadap kebijakan presiden, ada perbedaan sangat mendasar dalam dua peristiwa itu. Melalui “Manifesto Politik”, kaum seni bersama-sama dengan Bung Karno mencita-citakan suatu masyarakat sosialis Indonesia. Sebuah sosialisme Indonesia. Sementara dalam pernyataan sikap Goenawan, dalam dukungannya terhadap pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tak nampak adanya suatu ungkapan cita-cita masyarakat keindonesiaan seperti apa yang hendak dicapai. Yang nampak adalah sebuah pragmatisme ekonomi.
Sekalipun Goenawan menghadirkan Bung Karno dalam catatan pinggirnya, namun ia gagal menghubungkan hasrat, semangat dan cita-cita masyarakat keindonesiaan yang hendak dicapai Bung Karno dengan hasrat, semangat dan cita-cita masyarakat keindonesiaan yang hendak dicapai Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Indonesia hendak ke mana?
***
Dalam penilaiannya seputar pro-kontra “Manifes Kebudayaan”, Lesbumi, usai penyelenggaraan Konperensi Karjawan Pengarang se-Indonesia 1964, membulatkan pendapatnya:
…’Manifes Kebudajaan’ tersebut belumlah setjara sempurna mengungkapkan landasan idiel jang dapat dipergunakan oleh para pengarang Indonesia dalam pengabdiannja kepada Revolusi Indonesia dan dalam beberapa hal memberikan kemungkinan untuk penafsiran2 jang mengaburkan tudjuan Revolusi Indonesia tsb. (Duta Masjarakat, 10/3/1964)
***
“Manifes Kebudayaan”, menurut Goenawan, sudah selesai, jika dilihat dari segi perlawanannya terhadap realisme sosialis Lekra (Detik, No. 032 Th. XVII, 13-19/10/1993). Lebih dari sekedar itu, “Manifes Kebudayaan” memang sudah selesai. Sebab, lewat catatan pinggirnya, Goenawan sedang menghadirkan sebuah “Manifes Ekonomi”. Sebuah jalan lempang menuju gerakan “ekonomi adalah panglima”. Wall?hu a’lam.
***
*) Penulis buku “Lesbumi; Strategi Politik Kebudayaan”.
Bacaan:
Asrul Sani, Surat-Surat Kepercayaan, Penyunting: Ajip Rosidi, Jakarta, PT Dunia Pustaka Jaya, 1997.
Detik, “Tepiskan Racun Kecurigaan”, No. 032 Tahun XVII, 13-19 Oktober 1993.
Duta Masjarakat, “Penilaian Lesbumi Sekitar Manifes Kebudayaan”, 10 Maret 1964.
Foulcher, Keith, “The Manifesto is not dead”: Indonesian literary politics thirty years on, Working Paper 87, Clayton, The Centre of Southeast Asian Studies Monash University, 1994.
Goenawan Mohamad, “Untuk Boediono: Sebuah Titipan dari Sebuah Gedung Bersejarah”, Tempo, No. 3818, 18-24 Mei 2009.
Lentera, Bintang Timur, 3 Maret 1963 dalam D.S. Moeljanto & Taufiq Ismail, Prahara Kebudayaan: Kilas Balik Ofensif Lekra/ PKI dkk (Kumpulan Dokumen Pergolakan Sejarah), Bandung, Mizan dan HU Republika, 1995.
Revrisond Baswir, “Boediono dan Neoliberalisme”, Kedaulatan Rakyat, 20/06/2009.