Fahrudin Nasrulloh
Perkembangan politik nasional dalam dua dasawarsa terakhir mengalami suatu perubahan penting dengan berbagai konsekuensi logisnya. Perkembangan signifikan itu, salah satunya adalah munculnya kekuatan politik Islam dalam kancah nasional yang bersifat faksionalistik. Gejala itu mengemuka ketika lahir organisasi kaum cendekiawan Islam yang menghimpitkan dirinya ke dalam lingkaran pusat kekuasaan dan bahkan memasuki wilayah kalangan militer. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) sejak bercokol tahun 1990, melaju bagaikan lokomotif berkecepatan tinggi ke berbagai arah. Faisal Tanjung sebagai Panglima ABRI, adalah salah satu contoh nyata betapa kekuatan politik Islam masuk, dan konsekuensi logis ini pula yang membawa militer Indonesia mengalami faksionalistik pula.
Realitas tersebut merupakan konsekuensi logis dari arus perlawanan kalangan militer terhadap faksi Benny Murdani yang selama ini dianggap mendominasi elite militer. Sementara analisa lain membuktikan bahwa sesungguhnya realitas itu menjadikan kasus Benny Murdani hanya sekedar argumentasi sampingan yang dibesar-besarkan. Masalah dan tujuan sebenarnya adalah bagaimana kebangkitan politik Islam secara praktis bisa memasuki lingkaran “dalam” dan ikut mengendalikan. Ihwal itu terbukti secara intensif dengan masuknya elite ICMI dalam posisi di kabinet maupun berbagai institusi lainnya.
Tentu saja, soal itu bisa kita sangka menggembirakan sebagai proses kemajuan kehidupan kemaslahatan organisasi Islam di negeri yang dianggap memiliki penduduk mayoritas Islam namun tak pernah secara cukup berarti ikut “bermain” memutuskan kebijakan nasional. Perspektif pragmatis yang selama ini berlaku sejak dekade 1990-an demikian kuat yang memungkinkan berbagai faksi militer memiliki sejenis sayap-sayap politik Islam melalui berbagai elitenya. Selama periode inilah bentuk dan jenis organisasi Islam bermunculan sebagai bagian dari bisnis politik di tingkat nasional dan lokal, untuk kepentingan politik faksi maupun ekonominya. Selama itu, kita menyaksikan, dengan bermunculannya organisasi itu berakibat makna dan posisi Islam dalam kehidupan kemasyarakatan makin terasa sloganistik. Islam hanya sekedar dijadikan “obrolan ringan” atau gosip untuk kepentingan sesaat. Terjadilah degradasi makna Islam dalam pergaulan antar warga maupun antar golongan sosial.
Hal menyedihkan dari konstelasi masalah yang dihadapi Islam justru terletak pada dirinya sendiri: di satu sisi dengan kebangkitan Islam pada tahun 1990-an melalui berbagai organisasi yang dimotori oleh ICMI, pada sisi lain, munculnya organisasi itu justru membuat umat Islam tak pernah menyatukan diri ke dalam kebersamaan enerji. Tiadanya sinergi yang mampu menciptakan perubahan berarti dalam kehidupan sosial-politik dan kebudayaan hingga Islam seperti terperosok ke liang gelap yang diciptakannya sendiri. Yang ada hanya stempel organisasi yang secara massal digunakan untuk mengerahkan banyak orang demi politik praktis kekuasaan dan kepentingan politik ekonomi elite beserta faksinya. Hal itu dikarenakan, meminjam analisa mendasar yang mungkin perlu kita pertimbangkan adalah bahwa rezim Orba dengan efektif kuasa menciptakan faksi-faksi organisasi agama (Islam) untuk kepentingannya sendiri.
Dalam kondisi silang-sengkarut itulah Gus Dur sangat menarik dicermati kembali. Di antara faksi-faksi yang kian mengeras dan menggelembung ke dalam dirinya, dan menyimpan kecenderungan untuk menjadi perangkat penggebah bagi politik kekuasaan yang ada, dan pada sisi lainnya berakibat akan munculnya sikap intoleransi kepada keyakinan lain. Setiap isu menjadi sesuatu yang bisa digunakan untuk melindas posisi keyakinan dan kehidupan sosial warga lainnya. Indonesia seperti sebuah “bejana” yang setiap saat bisa meledak akibat konflik horisontal yang didasarkan kepada keyakinan dan perspektif yang berbeda. Kita pun menenukan ironi lain: pada saat menyebarnya kecenderungan separatisme di berbagai daerah karena ketidakadilan sistem yang mengeksploitir sumber daya alam, organisasi Islam malah sibuk berjibaku sendiri. Belum lagi maraknya jenis tindakan terorisme atas nama Islam yang membuat citra Islam tercoreng-moreng.
Di antara berbagai masalah itulah sikap pluralitas Gus Dur yang sibuk bagaikan lokomotif yang menghela gerbong melakukan kaderisasi kaum muda NU, menerapkan politik pluralis, dan menjadikan dirinya bemper bagi kalangan minoritas yang memang secara etik dan moral menjadi tugas Islam untuk melindungi siapa saja dari sikap ketidakadilan dan penistaan terhadap HAM. Dalam perspektif kontemporer inilah sikap politik Gus Dur terbilang cemerlang sebagai sosok yang paham benar dengan perkembangan arus pemikiran global yang ditariknya ke dalam kesadaran sejarah lokal NU: jalan kultural NU yang memang beragam di mana pesantren sebagai medan bersosial dan sekaligus sebagai wilayah pengembangan pemikiran yang memiliki konteks dengan ruang sosialnya. Decentering dalam perspektif geografi pemikiran dan pluralitas menjadi satu sebagai dasar bagi kehidupan NU. Secara sosiologis, tugas NU adalah bagaimana menjaga ruang sosial masing-masing melalui keyakinan dan kebijakan khasanah lokal yang inspiratif.
Dalam konteks itulah Gus Dur menafsirkan dan menerapkan politik kekinian yang merupakan arus dari kritik kepada politik modernisme yang cenderung sentralistik dan melakukan penyeragaman. Dengan kata lain, sesungguhnya Gus Dur adalah sosok pengusung pasca modernisme dan seorang humanis yang berangkat dari khasanah NU yang memiliki watak dan sikap pluralis. Kini setelah Gus Dur wafat, tugas bagi warganya, khususnya elite NU, untuk melanjutkan misi kemanusiaannya, agar Indonesia benar-benar sebagai taman kehidupan yang asri dan damai dalam berbangsa dan bernegara secara manusiawi, adil dan beradab.
***