M.D. Atmaja
Karya sastra sebagai lembaga masyarakat yang bermediumkan bahasa memiliki keterkaitan yang erat dengan sosiologi pengarangnya. Latar belakang pengarang memiliki peran yang besar dalam memberikan nuansa dan nilai dalam proses penciptaan karya sastra. Latar belakang tersebut, di dalamnya merangkum berbagai macam kondisi dimana sang pengarang memijakkan kaki, entah itu kondisi politik yang sedang bergejolak, maupun ideologi pengarang itu sendiri. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan di dalam proses penulisan karya sastra dapat dikatakan sebagai media yang tidak bersifat individual, melainkan di dalamnya mengandung sifat evolusi-sosial.
Hampir selama lebih dari 30 tahun, murid sekolah dan mahasiswa telah disuguhi karya sastra yang notabene telah diakui oleh pemerintah yang berkuasa (Baca: Orde Baru) dan karya sastra itu (oleh pemerintah) dikatakan sebagai sastra yang bernilai tinggi apabila di dalamnya mengandung nilai yang mendukung proses pembangunan. Sehingga, karya sastra tidak lagi dipandang sebagai karya yang memiliki nilai sosial dan nilai estetik melainkan nilai karya sastra terkadang ditentukan oleh haluan politik yang termanifestasikan di dalamnya. Di masa itu, sastrawan yang berada di luar paham politik pemerintah akan mendapatkan tekanan dan penyempitan ruang gerak.
Fenomena ini sudah terjadi semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia ini belum dilahirkan, yaitu pada masa pemerintahan kerajaan-kerajaan. Atau juga terdapat di dalam proses masuknya agama-agama non pribumi masuk ke nusantara yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat, India. Pada masa ini, sastra (dan juga seni secara umum) menempati posisi sebagai media untuk membantu proses penyebaran agama atau salah satu faham. Misalnya, pada masa kerajaan yang para sastrawannya secara penuh mendapatkan perlindungan dari para raja yang kemudian diminta (baca juga: diperintahkan) untuk menuliskan sejarah besar dari kerjaan raja tersebut. Proses kerja semacam ini, seolah-olah bahwa sastra dijadikan sebagai media pengkultusan akan kekuasaan seorang raja.
Kondisi sosial masyarakat memberikan arahan yang nyata bagi para pengarang dalam proses penciptaan. Dalam teori yang dikemukakan oleh Gramsci mengenai teori hegemoni, bahwa seni (dan sastra) digunakan sebagai alat untuk melakukan hegemoni dengan cara melakukan dominasi terhadap budaya dan ideologi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk melakukan gerakan kontrol sosial.
Pemahaman semacam ini, menempatkan sastra sebagai media pendidikan (juga sebagai propaganda) dalam usaha melakukan hememoni politik dan ideologi. Sastra dapat dijadikan sebagai media membunuh kreatifitas seseorang yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa. Walau demikian, pada dasarnya, sastra (dapat dikatakan harus) memiliki tendensi dan menensasi sebab penciptaan sebuah karya sastra merupakan proses kreatifitas dari intuisi, persepsi dan imajinasi yang bergantung pada kondisi kejiwaan serta kerohanian pengarang.
Tendensi dan manensasi di dalam karya sastra dapat digunakan untuk melakukan pendidikan politik, sosial, keagamaan, budaya, dan lain sebagainya, kepada masyarakat pembaca. Maksud (tendensi) yang terdapat di dalam sebuah karya sastra biasanya dipengaruhi oleh ideologi pengarang.
Misalnya, karya-karya seniman Lekra, tendensi yang diemban melalui karya mereka biasanya sebagai peneguhan dan sekaligus penyebaran ajaran marxisme-leninisme dengan landasan filsafat MDH. Tendensi di sastra marxis memiliki filsafat yang normatif, dengan peninjauan permasalahan secara epistemologi. Pesan yang dikandungnya pun menjurus pada realisme sosialis, yang mana dijelaskan bahwa sastra harus mengabdi pada kepentingan rakyat banyak. Tendensi tidak dibawa secara eksplisit, melainkan melakukan penggambaran secara historis atas konflik sosial yang dilukiskan.
Karya sastra tidak dilahirkan secara murni dari ide dan pemikiran seorang penulis di dalam kondisi terkekang. Sastra lahir berdasarkan mekanisme yang dialektis dengan melihat kondisi sosio-kultural. Pandangan yang menyatakan bahwa sastra sebagai pandangan dunia, dapat ditinjau dari dasar bahwa sastra memiliki ide dan pemikiran, pesan dan tujuan, tema dan amanat, dan juga seluruh deferensi kultural yang ada di dalam kehidupan masyarakat.
Dilihat dari fungsi sosial yang dibawa karya sastra, dia dapat dijadikan sebagai media hegemoni sosial yang pernah dilakukan pada zaman dahulu, yaitu zaman kerajaan dan Orde Baru. Sastra dapat dijadikan juga sebagai media propaganda untuk membangkitkan kesadaran, yang sekaligus mengajak masyarakat pembaca untuk melawan dominasi ideologi penguasa (yang belum tentu bahwa penguasa mengemban ideologi negara).
Bantul, 30 Juli 2010
Studio Semangat Desa Sejahtera