Hermeneutika dan Problem Kritik Sastra

Gunoto Saparie *
Republika

Teori hermeneutika, mengacu pada Paul Ricoeur, memandang karya sastra sebagai wacana tertulis. Karya sastra tergolong wacana karena ia merupakan gejala kebahasaan yang melampaui batas kata, yang satuan terkecilnya adalah kalimat atau terdiri dari kata dengan fungsi subjek dan kata dengan fungsi predikat.

Wacana yang demikian dapat bersifat lisan, dapat bersifat tertulis. Perbedaan di antara kedua jenis wacana ini tidak hanya terletak pada perbedaan substansi medianya, yang satu substansi auditif, yang lain substansi visual, melainkan terutama sekali pada efek dari perbedaan substansi media itu terhadap kemungkinan bangunan makna dari masing-masing wacana tersebut dan, pada gilirannya, juga terhadap cara pemahaman atasnya.

Ignas Kleden menunjukkan, bahwa berbeda dari fonem, kata, dan sistem bahasa pada umumnya yang bersifat abstrak, kalimat dan wacana adalah peristiwa yang bersifat singular, terikat pada ruang dan waktu. Namun, seperti halnya satuan-satuan bahasa yang terdahulu itu, gejala kebahasaan yang kemudian adalah juga tanda, sesuatu yang bermakna, dan makna itu bersifat universal atau general. Dengan demikian, bangunan makna wacana terdiri dari dialektika antara peristiwa dan makna.

Makna sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu makna tekstual dan makna referensial. Makna tekstual adalah makna yang terbangun dari hubungan antartanda yang ada di dalam teks, sedangkan makna referensial terbangun dari hubungan antara teks dan dunia luar. Makna referensial itu pun dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu makna referential yang ostensif dan makna referential yang deskriptif. Yang pertama merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang ada di luar teks, sedangkan yang kedua merupakan makna yang dapat dicek dalam dunia empiris yang direka di dalam teks itu sendiri.

Wacana yang ditulis adalah wacana yang mengalami fiksasi, yaitu telah mengalami pembakuan teks sehingga menjadi benda yang berdiri sendiri, meninggalkan penulisnya. Wacana ini dapat melakukan distansiasi terhadap peristiwa atau konteks penuturannya semula.

Karena itu, wacana yang bersangkutan menggantungkan dirinya pada makna yang bersifat universal, yang mampu melampaui ruang dan waktu penuturannya semula, dan memasuki konteks baru dalam pembacaan dari waktu ke waktu atau bahkan mengalami dekontekstualisasi sama sekali.

Namun, kenyataan terakhir di atas tidak dengan sendirinya berarti bahwa wacana itu kehilangan sama sekali hubungannya dengan dunia di luar teks. Hanya saja, hubungan antara teks dan dunia di luar teks itu bukanlah hubungan fungsional, melainkan hubungan simbolik. Oleh Ignas yang dimaksud dengan hubungan fungsional adalah hubungan kausal.

Hubungan simbolik dan metaforis bukanlah hubungan kausal, melainkan simbolisasi dan metafor kehidupan atau dunia, nyata ataupun fiktif. Karena sifat simboliknya itu, wacana tersebut dapat bersifat ambivalen, dapat sekaligus mengatakan dan menyembunyikan sesuatu. Dengan fungsi yang demikian, wacana itu dapat mengacu bukan hanya ke dunia empiris, melainkan ke dunia yang mungkin.

Istilah hermeneutika adalah istilah klasik yang dimulai penggunaannya dalam studi-studi ketuhanan (agama). Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk menunjuk kumpulan kaidah yang harus diikuti oleh mufasir dalam memahami teks agama (kitab suci).

Dengan demikian, hermeneutika berbeda dengan tafsir yang ditunjuk oleh kata exegesis (Prancis). Istilah yang disebut terakhir ini berarti tafsir itu sendiri dalam perincian-perincian praktisnya, sementara istilah hermeneutika berarti teori tafsir. Istilah hermeneutika dalam pengertian klasik ini dipakai sejak tahun 1654, dan masih dipakai hingga sekarang terutama dalam lingkungan Protestan.

Dalam pemakaian modern, pengertian hermeneutika mengalami perluasan, berpindah dari bidang ketuhanan menuju bidang-bidang yang lebih luas, mencakup seluruh ilmu-ilmu humaniora, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, filsafat estetika, kritik sastra, dan lain-lain. Perluasan ini tentu saja menjadikan usaha untuk mengkaji hermeneutika secara terperinci sangat sulit. Yang paling penting bagi kita adalah memahami garis besar perkembangan hermeneutika, dengan menitikberatkan pada signifikasi yang dimiliki oleh ilmu ini bagi teori tafsir teks sastra.

Perjalanan hermeneutika modern dimulai dari seorang pemikir Jerman, Shleirmacher (1843). Peran penting yang dilakukan oleh Shleirmacher adalah merubah penggunaan istilah hermeneutika dari lingkaran ketuhanan menjadi ilmu yang membahas aktifitas pemahaman dan syarat-syaratnya dalam menganalisa teks.

Dengan demikian, hermeneutika di tangan Shleirmacher tidak lagi menjadi alat pembantu bagi ilmu tertentu (ilmu ketuhanan), tapi berubah menjadi ilmu tersendiri yang menjadi dasar proses pemahaman dan selanjutnya proses penafsiran. Melalui hermeneutika, Shleirmacher berusaha merumuskan undang-undang dan kaedah-kaedah yang menjadi dasar penafsiran yang benar, sehingga bisa dihindari terjadinya kesalapahaman dalam menafsirkan teks.

Meskipun masih banyak memiliki kekurangan, apa yang telah berhasil disumbangkan oleh Shleirmacher menjadi pembuka jalan bagi pemikir yang datang setelahnya. Dilthey, misalnya, berangkat dari apa yang terakhir kali dirumuskan oleh Shleirmacher berkenaan dengan pembahasan dan penafsiran yang benar dalam bidang ilmu-ilmu humaniora.

Para penganut positvisme berkeyakinan bahwa satu-satunya jalan keluar untuk menyelamatkan ilmu-ilmu humaniora dari keterbelakangannya, jika dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, adalah dengan cara menggunakan metode-metode ilmu-ilmu eksakta tersebut.

Dengan cara pandang seperti ini, realita sosial dianggap sama dengan realita alam fisika. Inilah yang ditolak oleh Dilthey. Dari sini, Dilthey berusaha merumuskan metode ilmu-ilmu sosial yang berbeda dengan metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu eksakta.

Di antara yang penting dicatat dari Dilthey adalah perhatiannya terhadap pengalaman hidup dan peran mufasir dalam aktifitas pemahaman. Dua hal ini sangat berpengaruh dalam pemikiran Gadamer dan Heidegger, meskipun dua yang terakhir disebut ini berbeda dengan Dilthey dalam menentukan titik tolak dan metode yang digunakan, demikian juga dalam hal yang berkenaan dengan pengertian hermeneutika dan aspek-aspeknya.

Martin Heiddeger, yang datang setelah Dilthey, mendirikan hermeneutika di atas dasar filsafat atau mendirikan filsafat di atas dasar hermeneutika. Kedua istilah ini benar, selama filsafat berarti pemahaman terhadap apa yang ada (existence), dan pemahaman adalah dasar filsafat dan di saat yang sama inti dari apa yang ada.

Penting untuk dicatat bahwa berkenaan dengan perhatiannya terhadap hubungan antara mufasir dan teks hermeneutika bukanlah permasalahan yang hanya ada dalam pemikiran Barat, tapi juga terdapat dalam pemikiran Arab, baik klasik maupun modern. Dan karena secara umum hermeneutika berkembang di Barat, maka perlu diperhatikan juga bahwa dalam berinteraksi dengannya sebagaimana dalam berinteraksi dengan pemikiran Barat secara umum kita hendaknya selalu sadar bahwa kita sedang berada dalam kondisi dialog dialektis.

Ini berarti, tidak cukup bagi kita sekadar mengimpor dan mengadopsi, tetapi kita harus berangkat dari kondisi kekinian kita dalam berinteraksi dengan realitas budaya dengan dua aspeknya: historis dan kontemporer.

Jika pada tataran teoritis kesadaran akan adanya problem dalam kritik sastra modern tidak begitu jelas, maka dalam tataran praktis hal ini dapat dilihat dengan nyata. Kita melihat, bahwa satu teks sastra bisa ditafsirkan dengan berbagai macam tafsiran sesuai dengan perspektif dan aliran para kritikus sastra. Perspektif yang dimaksud tak lain adalah sikap sosial dan pemikiran yang dimiliki oleh masing-masing kritikus dalam menghadapi realitanya.

Problem yang sebenarnya dalam hal ini terletak pada fenomena bahwa setiap kritikus mengklaim tafsirnya terhadap teks sebagai satu-satunya tafsir yang benar, serta mengklaim bahwa aliran kritik yang dianutnya adalah yang paling ideal untuk mencapai makna obyektif dari nash sebagaimana diinginkan oleh pengarangnya.

Contoh dari apa yang baru saja kita sebut ini adalah banyaknya penafsiran terhadap karya yang ditulis oleh sastrawan kontemporer Naquib Mahfouz. Dalam satu kesempatan, kita mendapatkan Naquib Mahfouz digambarkan oleh seorang analis sebagai seorang penulis sosialis yang menyerahkan hidup dan karya-karyanya demi mempertahankan ideologi tersebut.

Sementara dalam kesempatan lain, di tangan analis yang berbeda, sastrawan kita ini telah berubah menjadi seorang penulis spiritualis islami. Demikianlah, seorang kritikus tidak cukup dengan mengabaikan adanya hubungan antara sikap subyektifnya terhadap realita dan metode yang dianutnya dalam menganalisa teks sastra, tapi juga dalam bentuk yang sangat tegas menyatukan antara tafsirnya terhadap teks dengan teks itu sendiri, sebagaimana dia juga menyatukan antara teks dengan segala aspeknya (estetika dan bahasa) dengan maksud pengarang.

Segitiga (pengarang/teks/kritikus) atau (maksud/teks/tafsir) adalah segitiga yang unsur-unsurnya tidak mungkin disatukan secara mekanis. Hal ini disebabkan hubungan antara unsur-unsur ini membentuk satu problem yang sangat serius, yaitu problem di mana hermeneutika berusaha memecahkannya.

*) Penyair dan bendahara DKJT.

Leave a Reply

Bahasa ยป