Judul: Outliers: The Story of Success
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerbit: Little, Brown and Company
Tahun: edisi pertama, November 2008
Tebal: 320 halaman
Peresensi: Gatot Widayanto*
http://www.ruangbaca.com/
Nama Malcolm Gladwell mungkin sudah tak asing lagi. Ia adalah pengarang buku Tipping Point dan Blink, yang sudah diterjemahkan ke edisi Indonesia. Dengan gaya penulisan yang enak diikuti dari awal hingga akhir, ia mengulas fenomena sosio-kultural secara jelas di Tipping Point dan pengambilan keputusan cepat bak mengerdipkan mata di Blink.
Inilah buku ketiganya: Outliers. Buku ini memusatkan perhatian pada ketajaman analisisnya dalam mengamati fenomena sukses dengan gaya penuturan dongeng (story-telling) seperti halnya yang ia lakukan pada dua buku sebelumnya. Di sinilah kekuatan buku-buku Gladwell yang selalu menekankan gaya dongeng memikat berdasarkan fakta-fakta penelitian yang telah dilakukan orang lain. Tak salah bila ia termasuk penulis berprestasi dan disegani di dunia penulisan.
Sepintas, Outliers seperti bertolak-belakang dengan Blink, karena di sini diperlukan ketajaman analisis berdasarkan kedalaman observasi. Namun konteksnya berbeda. Di sini Gladwell menekankan faktor apa yang menyebabkan seseorang sukses dan berbeda dari yang lain (outlier). Bila Anda mengikuti halaman demi halaman, mungkin sulit Anda jumpai salah satu tokoh dalam buku ini yang menerapkan teknik Blink. Namun bukan di situ fokus bahasan Gladwell karena justru ia ingin membawa kita ke keyakinan bahwa sukses bisa diraih siapa pun asal bekerja keras.
Ada tiga hal yang bisa kita pelajari dari buku ini. Pertama, tentang relasi antara kesehatan atau umur panjang dan kehidupan komunitas. Ini yang sungguh memikat saya sejak saya baca buku ini dari awal. Gladwell berhasil membidik potret sebuah kelompok yg tinggal di daerah bernama Roseto di Pensylvania, yang populasinya dua ribu orang. Daerah ini dihuni oleh orang-orang keturunan Italia yang bermukim dan hidup di Amerika.
Sebuah penelitian menyimpulkan bahwa penduduk Roseto memiliki umur hidup di atas rata-rata dan sangat jarang yang terkena serangan jantung. Setelah menelusuri dan menyajikannya secara menarik, Gladwell menemukan bahwa faktor penyebab umur panjang dan kesehatan bukan karena penduduk Roseto rajin berolahraga, atau keterunan moyang mereka sehat-sehat semua. Justru gaya hidup penduduk Roseto yang menyebabkan mereka memiliki ketahanan daya hidup yang panjang.
Mereka hidup saling mengenal satu sama lain dalam ikatan silaturahmi yang dekat. Tidak ada kesan di antara penduduknya yang mengejar kemewahan hidup, bahkan jarang dijumpai mobil mewah di sana. Pada sore hari mereka biasa mengobrol dengan tetangga. Para wanita sehari-hari bekerja di rumah. Tidak jarang dijumpai rumah tangga berpenghuni tiga generasi hidup dalam satu atap pada saat bersamaan. Dengan gaya hidup kekeluargaan ini mereka terbebas dari tekanan hidup dan menjadi panjang umur.
Kedua, secara tegas Gladwell menekankan bahwa sukses hanya bisa diraih melalui kerja keras. Mungkin hal ini sudah sering kita dengar dari buku-buku pengembangan diri. Namun Gladwell meninjaunya dengan kajian mendalam dan berani menyimpulkan Hukum 10.000 Jam. Apa pun profesi Anda, bila Anda berlatih dengan serius selama 10.000 jam, hampir bisa dipastikan Anda sukses.
Gladwell mengambil contoh The Beatles dan Bill Gates. Untuk mencapai ketenaran, The Beatles telah bekerja keras sebelum meluncurkan album sendiri. Mereka bermain nonstop hampir tiap malam di Hamburg sejak 1960 hingga 1962. Pada awalnya mereka bermain selama 106 malam dengan masing-masig durasi anatara 5-6 jam sekali main. Kemudian semakin meningkat lagi frekuensi dan durasinya sehingga secara total mereka telah naik panggung sebanyak seribu dua ratus (1.200) kali sebelum mereka mulai dikenal pada 1964.
Jumlah itu merupakan angka yang fantastis karena tidak pernah ada lagi band yang selama kariernya bermain sebanyak ini. John Lennon mengatakan pada sebuah wawancara bahwa mereka memilih bermain di Hamburg karena frekuensinya, karena di Liverpool mereka hanya diberi kesempatan main satu jam setiap naik panggung.
Kisah kerja keras juga disajikan menarik terkait dengan Bill Gates yang begitu persisten mempelajari komputer sejak di bangku sekolah. Ia bahkan sering menginap di laboratorium komputer milik sekolah.
Pesan yang disampaikan Gladwell jelas: kita tidak bisa memisahkan kisah sukses Bill Gates maupun The Beatles tanpa mendalami apa yang telah mereka lakukan sebelum mereka dikenal. Lebih jauh lagi, ia menyatakan ada kabar baik bagi mereka yang ingin fokus pada bidang tertentu, ada jaminan sukses bila kerja keras menggunakan Hukum 10.000 Jam.
Ketiga, buku ini mengajari kita tentang bagaimana menyambungkan fakta, informasi, maupun data yang sebenarnya begitu tersebar di sekitar kita yang kemudian dikemas menjadi suatu fenomena yang bisa diberlakukan secara umum. Connecting the dots, mungkin ini istilah tepatnya.
Sering pola pikir kita berorientasi pada usaha membuktikan hipotesis berdasarkan data dan fakta yang relevan. Buku ini bekerja sebaliknya. Hipotesisnya belum ada. Justru begitu banyak fakta, data, dan informasi tersebar di seputar kita yang memicu kita menemukan fenomena. Dalam wacana praktis masa kini, ini artinya kita tidak perlu, misalnya, mencari jawaban mengapa orang berbondong-bondong memiliki akun Facebook. Kita perlu fokus pada hal ini: menyikapi menjamurnya Facebook, fenomena apa yang bisa kita ajukan berkaitan dengan kenyataan ini.
Itulah yang harus kita contoh dari pola pikir Gladwell. Bila kita kuasai hal ini, kita jauh lebih bagus dalam mengantisipasi masa depan. Dan, bukan hanya itu saja. Kita bisa melihat setiap fakta yang diamati bila digabung satu dengan yang lainnya bisa menjadi fenomena tertentu yang bisa kita gunakan untuk menciptakan peluang.
*) Konsultan bisnis dan manajemen
http://www.valuequest.co.id/