Jejak Nashar di Pulau Dewata

Rofiqi Hasan
http://majalah.tempointeraktif.com/

HAMSAD Rangkuti tertegun memandang sketsa lukisan pastel di hadapannya: sebuah kursi tua tampak teronggok bersebelahan dengan vas bunga. Penulis cerpen kawakan itu langsung mengingatnya sebagai kursi di Balai Budaya, tempat tidur guru dan sahabatnya, Nashar, pada 1970-an, saat sedang menjalani laku bohemian. Di kursi itu pula Nashar sering asyik menulis atau melukis.

Tetapi 15 tahun sudah Nashar meninggalkan Hamsad, teman-temannya yang lain, dan publik seni rupa. Malam itu, Senin pekan lalu, adalah awal sebuah peringatan untuk mengenang jejaknya. T-Art Space, satu galeri di Ubud, Bali, memamerkan sketsa-sketsa Nashar, khususnya saat pelukis kelahiran Pariaman, Sumatera Barat, 3 Oktober 1928 itu tinggal di Bali pada akhir 1950-an.

Selama ini sketsa itu-sekitar 40 lembar-disimpan oleh Anwar, anak Nashar yang mengikuti jejak sang ayah menjadi perupa dan tinggal di Ubud. Bertajuk Nashar in Bali, penggagas pameran yang berlangsung 13-30 April itu memilih sketsa karena Nashar termasuk yang tegas menyatakan coretan-coretannya setara dengan lukisan. “Jadi, bukan sekadar satu langkah sebelum menghasilkan karya,” kata Made Astika, pemilik galeri.

Di Bali, Nashar berusaha menangkap obyek umum: pemandangan alam, aneka upacara, serta suasana di kampung-kampung. Tapi, menurut Arif B. Prasetyo, kurator pameran, babi yang banyak dipelihara warga Pulau Dewata di tempat-tempat kotor dan berlumpur justru memiliki tempat khusus dalam pikiran Nashar. Berkali-kali dia mencoba mengangkat binatang itu dalam berbagai gaya, dari close-up hingga yang seutuhnya.

Menulis dalam Nashar oleh Nashar (2002), Nashar menyebut keunikan babi adalah pada bentuknya yang tak seimbang. Empat kaki kecil menopang badan gemuk, besar, dan berat, menurut dia, merupakan bukti keseimbangan alam di luar konsep harmoni dalam pikiran. “Penemuan itu kujadikan patokan selama melukis di Bali,” tulis Nashar.

Saat itu Nashar belum mendeklarasikan kredo “Tiga Non” yang terkenal itu. Tapi benih-benihnya mulai tersemaikan. Baru pada 1975 ia merumuskan dan menyatakan secara terbuka prinsip “Nonkonsep, Nonestetik, dan Nonteknik”. Menurut dia, intuisi dan gairah jauh lebih penting untuk mewujudkan diri. Coretan sketsa atau lukisan di atas kanvas selayaknya dinikmati dengan rasa belaka.

Apa yang didapat Nashar dari pengembaraan di Bali, menurut dramawan Putu Wijaya, bukanlah obyek fisik. Sementara perupa lainnya, terutama seniman Barat seperti Walter Spies, Arie Smith, Antonio Blanco, terpesona pada keindahan alam, pura, tarian, dan sejenisnya, Nashar justru menemukan cara orang Bali menghayati kehidupan-cara yang digerakkan oleh rasa dan bukan oleh aturan-aturan seperti tecermin dalam ungkapan “Desa Kala Patra” (setiap tempat punya aturan rasanya sendiri). Hal ini nyaris bertolak belakang dengan latar belakang budaya Pariaman, yang penuh aturan seperti terlihat dalam pantun dan petatah-petitih.

Penemuan itu dimungkinkan oleh pergaulannya selama di Bali. Di Ubud, awalnya dia mengontrak rumah bekas kediaman Walter Spies. Ketika kesulitan keuangan mendera dan bahkan sampai membuatnya tak bisa makan, Nashar diterima oleh satu keluarga di Panestanan, Ubud. Di situ ia menjadi warga banjar dan terlibat dalam banyak kegiatan tradisional. Ia pun terpesona dengan berbagai acara yang sepertinya tanpa tujuan dan pengorganisasian namun menimbulkan kesan yang harmonis.

Putu, yang hadir pada malam pembukaan pameran bersama penyair W.S. Rendra dan sejumlah sahabat Nashar lainnya, merasakan sikap itulah yang memudahkan dirinya menjalani pergaulan kreatif dengan Nashar. Ceritanya, sepulang dari Amerika pada 1975, Putu kesulitan menghidupkan kelompok teaternya. Setiap kali latihan, yang dilakukan di Bali Budaya, hanya beberapa orang yang hadir, dan selalu berganti-ganti. Padahal, untuk mementaskan suatu naskah, mereka membutuhkan aktor serta alur cerita yang sudah ditentukan.

Jengkel oleh keadaan itu, Putu mengambil langkah drastis: memindahkan latihan ke lapangan, dengan penerangan lampu skuter miliknya. Latihan berjalan tanpa naskah, kerangka cerita, dan pembagian peran. Mereka dibebaskan untuk bergerak dan membuat interpretasi sendiri atas suatu keadaan. Sering satu gerakan menghasilkan respons yang tak terduga dari pemain yang lain.

Setelah sebulan berjalan barulah Putu menyadari kehadiran seseorang yang terus mengamati mereka. Ia adalah Nashar. “Sekalian saja saya ajak untuk bermain dan memberikan masukan,” kata Putu. Atas usul Nashar, akhirnya Putu berani merancang pementasan yang awalnya diberi tema “Lo”. Ini merupakan kata untuk menandai keheranan setiap pemain terhadap gerakan lawan mainnya. Sukses besar. Aksi teater itu pun berlanjut dengan pementasan Entah dan Nol.

Bagi Nashar, kejadian itu memberikan kesan mendalam. Kebingungan akan ritme atau irama dalam lukisan terjawab oleh penemuannya atas ritme dalam proses teater. Dia juga merasa fokus bukan lagi hal penting karena harmonisasi memiliki “irama dalam”-nya sendiri. “Itu diakuinya sebagai penyebab peralihan dari gaya figuratif ke nonfiguratif,” ujar Putu. Bentuk-bentuk tak lagi dilihat dari perwujudan yang kasatmata, tapi dari energi dan jiwa yang kemudian disimbolkan dalam garis, sapuan, dan warna.

Temuan itu bahkan mengilhami caranya mengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ). Dia menerapkan sistem sanggar, menolak adanya sekat antara dosen dan mahasiswa hanya karena birokrasi akademis. “Yang terpenting adalah proses menjadi seniman sejati,” kata pelukis Syahnagra Ismail, yang sempat mencicipi metode itu. Belakangan LPKJ melarang cara itu dan Nashar mengundurkan diri dari posisinya.

Sedemikian dahsyatkah Bali bagi Nashar? Perupa Sri Warso Wahono meragukannya. Menurut dia, sketsa dan lukisan Nashar sangatlah konseptual dan secara akademis selalu mempertimbangkan harmonisasi karakter, garis, bidang, dan warna. Pengungkapan “Tiga Non”, menurut Sri yang menemani Nashar hingga di akhir hayatnya, hanyalah strategi perlawanan atas hegemoni di dunia seni rupa, situasi yang sempat menjadikan Nashar sebagai korban pada awal kariernya. Ketika itu pelukis senior Sudjojono, yang menjadi barometer seni rupa pada 1950-an, menolak keinginannya untuk menjadi murid.

Dalam percakapan pribadi, Nashar selalu enggan mengungkapkan maksud kredonya itu. Suatu kali Hamsad pernah menanyakannya, tapi Nashar mengelak. “Lebih baik kau belajar tenaga dalam supaya bisa terbang saat Balai Budaya kebanjiran,” Hamsad menirukan kata-kata Nashar.

Nashar memang pribadi yang selalu gelisah. Rendra mengenangnya dengan larik-larik ini dalam sebuah puisi: Inilah Saatnya/Melepas sepatu yang penuh kisah/Meletakkan ransel yang penuh masalah/Dan mandi mengusir rasa gerah/Menenangkan jiwa yang gelisah.

Rofiqi Hasan (Ubud)

Leave a Reply

Bahasa ยป