Kakang Gothak, Dhimas Gathuk dan ULTAH

M.D. Atmaja

Petang hari setelah dua lelaki, kakak beradik yang berperawakan sama menegakkan kewajiban, mereka berjalan beriringan di dalam gelap jalan pedesaan. Mereka berjalan yang awalnya dengan diam, begitu senyap. Langkah kaki pun tak terdengar di dalam udara. Tiba-tiba saja, lelaki muda yang bernama Dhimas Gathuk mengamit tangan kakaknya, Kangmas Gothak.

“Kang!” panggil Dhimas Gathuk pelan seperti dalam bisikan namun saudara tuanya tidak menjawab, justru semakin mempercepat langkahnya, membuat Dhimas Gathuk terseret.

“Kang!” panggil Dhimas Gathuk setelah tidak mendapatkan jawaban.

Setelah itu, tetap saja Kangmas Gothak tidak menjawab. Dengan langkah yang justru semakin memburu di dalam kegelapan jalan desa yang sepi. Sampai akhirnya, langkah kangmas Gothak menjadi pelan kembali setelah di depan mereka ada belokan ke kanan. Di sana, sebuah rumah sederhana yang sunyi telah menunggu kedatangan mereka berdua. Cahaya lampu minyak menerangi teras terlihat mobat-mabit saat melawan angin yang berhembus.

“Akhirnya sampai di rumah juga, Dhi!” ucap Kangmas Gothak pada adiknya yang tengah berhenti di ambang teras rumah dengan nafas ngos-ngosan.

“Kangmas Gothak ini kenapa apa, tho, kok jalan saja seperti dikejar maling?” tanya Dhimas gathuk yang justru langsung disambut derai tawa kakaknya.

“Halah, bahasamu, Dhi. Kok iya, bisa dikejar maling, harusnya maling itu yang dikejar. Eh, malah kita yang jadi dikejar maling, Dhi!” sahut Kangmas Gothak dalam tawa renyah yang cukup panjang. “Kamu tadi mau bilang apa, Dhi?”

“Lali, Kang!” sahut Dhimas Gathuk dengan jengkel namun kakaknya tetap tertawa renyah.

“Halah, ngono wae langsung mutung!” sahut Kangmas Gothak dengan cepat. “Ada apa, Dhi?” Kangmas Gothak melanjutkannya dengan pertanyaan yang dibarengi dengan senyuman manis seorang kakak.

“Tidak jadi, Kang. Takut kalau Kangmas justru marah!”

“Kalau tidak salah, tidak harus takut, Dhi. Kakangmu tidak akan marah, karena bagaimana pun juga, Kakang Gothak ini ya Bapakmu, Ibumu, Kakangmu, ya kacamu dolan.” Ucap Kangmas Gothak dengan lembut sambil membelai rambut adiknya. “Sekarang cerita saja, Dhi!”

“Janji, Kang?”

“Iyo!”

“Janji?”

“Janji, Dhi, kalau Kakang tidak akan marah!”

“Dhimas Gathuk pengen juga diulang-tahuni, Kang!” ungkap Dhimas Gathuk yang disertai dengan rasa takut kalau-kalau kangmasnya marah.

“Ah, itu saja tho? Ya besok kakang belikan es cendol!”

“Dhimas pengennya ngundang orang-orang, Kang!”

“lha, kalau itu yang susah, Dhi.”

“Dhimas ingin seperti orang-orang di dalam Pendopo yang sekarang sedang siap-siap merayakan ulang tahun, Kang!” sahut Dhimas Gathuk setengah mengimpi.

“Yang penting dari ulang tahun itu adalah syukur pada Gusti Pangeran, Dhi. Tidak perlu yang mewah-mewah. Kalau ada rejeki lebih, ya lebih baik disumbangkan saja buat infaq, buat bersedekah, seperti Bapak Karto swargi mengajarkan pada kita dahulu.”

“Tapi kan, Kang, Pendopo itu hanya wadah saja, hanya tempat, dan sebentar lagi diulang-tahuni, Kang! Meriah lagi, Kang. Kabarnya begitu. Banyak para ustad, santri yang akan datang ke sana. Akan seperti pasar malam!”

Kangmas Gothak menarik nafas panjang sambil mendengar cerita adiknya yang menggambarkan bagaimana peringatan hari jadi Pendopo akan dirayakan. Para ustad, ulama, dan juga santri yang ada di dalamnya sudah mempersiapkan dari setahun yang lalu. Dana yang dibutuhkan untuk merayakannya pun buanyaknya bukan kepalang. Dan Kangmas Gothak pun menarik nafas berat sambil menggelengkan kepala.

“Dhi, Allah dan Nabi, dengan tidak lelah terus mengajari kita untuk menjalani hidup ini dengan sederhana. Mengajak kita semua untuk tidak berlebih.”

“Kakang ini bagaimana, tho?” sahut Dhimas Gathuk yang mencoba menghalau pendapat kakaknya. “Orang-orang yang ada di dalam Pendopo itu, Kang, semuanya ulama, mereka orang yang mengerti agama. Bahkan, Kang, mereka itu mengatakan kalau mereka selalu mengikuti Nabi, sebagai pengikut Nabi. Tapi mereka merayakan ulang tahun Pendopo itu dengan meriah.”

“Kakang tahu, Dhimas Gathuk!” sahut Kangmas Gothak dalam senyuman. “Sederhana bagi orang seperti kita, akan berbeda dengan sederhana bagi mereka. Para santri, ulama, dan ustad yang ada di dalam Pendopo itu. Bisa saja, seperti yang selalu mereka bilang setiap hari, kalau mereka mengikuti Nabi, tapi siapa juga yang tahu dengan niat yang ada di dalam hati mereka, Dhi. Apa yang sebenarnya mereka inginkan kita tidak tahu. Dhi, ingat wejangan yang ditinggalkan Bapak Karto swargi, kalau kita harus senantiasa berhati-hati, jangan sampai kecintaan dan ibadah kita menjadi kesombongan!”

Ah, kakang tidak tahu kalau demi ulang tahun Pendopo mereka akan menghabiskan dana ber-T-T. T itu apa, ya Dhimas Gathuk tidak mengerti. Yang Dhimas dengar, kalau dana yang buanyak itu mereka korbankan dan digunakan merayakan karena kecintaan mereka pada Allah dan Nabi.”

“yah, sekarang kita memandang saja dari sini, Dhi.” Sahut Kangmas Gothak sambil membelai rambut adiknya. “Itu mungkin saja sebagai bagian dari kebahagiaan dari orang-orang di Pendopo. Semoga saja menjadi ibadah yang akan menyelematkan mereka di hari nanti. Ibadah yang selalu mereka bilang sendiri, yang seperti pengikut Nabi. Tapi kita bisa melihatnya nanti, apakah orang-orang di Pendopo itu benar-benar mengikuti Nabi atau hanya mengatas-namakan Nabi saja.”

“Maksud Kangmas?”

“Nabi mengajarkan tentang kesederhanaan dalam menjalani hidup, Dhi. Sederhana dalam menikmati kebahagiaan dan sederhana dalam menikmati penderitaan.” Jawab Kangmas Gothak dalam senyuman dan keduanya pun mengamati Pendopo yang keindahannya setiap hari semakin bertambah gemerlap dan menjulang ke langit sementara di sekitarnya rumah-rumah petani semakin lama semakin rendah dimakan tanah.

Kretek, Bantul, 8 Juni 2010.

Leave a Reply

Bahasa »