Viddy AD Daery *
suarakarya-online.com
Sungguh masuk di akal, para sastrawan yang bertahan dengan jalur sosial, meskipun berisiko “tidak disapa” oleh para sastrawan nonsense dan dilecehkan serta karya-karyanya tidak dimuat oleh para redaktur pro-aliran nonsense, justru mendukung program pemerintah ikut mencerdaskan bangsa antara lain lewat karya sastra mereka.
Dengan alasan ini pula, sastrawan Taufik Ismail bersama kelompok sastrawan majalah Horison, pernah mendapat dukungan pemerintah Indonesia untuk menyosialisasikan sastra ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia lewat acara bertajuk SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya). Yang menarik, bagian terbesar dana pendukungnya justru bukan dari pemerintah, melainkan dari LSM Amerika, The Ford Foundation.
Mengikuti jalur itu, maka KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang dikomandani Wowok Hesti Prabowo – yang berpenampilan ala Begawan Kapiworo -, kini menjalin kerja sama dengan Pramuka Nasional Indonesia. Ia membuat program berkesinambungan bertajuk “Sastrawan Peduli Pramuka, Pramuka Peduli Sastra” atau SPPPPS atau boleh juga disebut KP4S.
Launching acara itu telah dilaksanakan di Bumi Perkemahan Pramuka Cibubur, baru-baru ini. Acara dibuka oleh Menteri Pemberdayaan Wanita Meutia Hatta ditandai dengan pembacaan puisi lengkap dengan api unggun ala Pramuka. Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) DR Bambang Sudibyo yang hadir dalam acara itu sempat memperkenalkan sastra (puisi, cerpen, esei dan naskah sinetron) kepada Pramuka tingkat SLTA. Ia juga bertekad akan menjaring bakat-bakat di bidang sastra secara serius dan prestisius untuk proyek-proyek Pramuka ke depan.
Penggagas program ini adalah Parni Hadi, Wakil Ketua Kwarnas Pramuka dan Ahmaddun Yossi Herfanda dari KSI. Tidak disangka-sangka, program ini akhirnya bisa menjadi agenda nasional Pramuka. Padahal semula acara ini hanylah event sastra biasa dalam rangka memperingati Hari Wafatnya Sastrawan Chairil Anwar dalam bentuk pesta api unggun dan pembacaan puisi.
Kian meningkatnya optimisme sudah tampak ketika dua menteri bersedia hadir. Apalagi, beberapa sastrawan senior menyempatkan datang pula meramaikan acara ini. Padahal, lokasi acara cukup jauh dan terpencil. Di antara mereka adalah Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, F. Rahardi, Martin Aleida, Aris Kurniawan, Mahdiduri, Amdai Muth Siregar, Widodo Arumdono, Endo Senggono, Radhar Panca Dahana, Fatin Hamama, Iwan Gunadi, Nanang Supriyatin, Humam S Chudori, Endang Supriadi, Es Wibowo, Lutfi Chumaidi Lamongan, dan Devis Sanggar Matahari. Hadir pula pembimbing sastra Ahmaddun Yossi Herfanda, Irwan Kelana, Hudan Hidayat, Maman S Mahayana, Diah Hadaning, Nur Zen Hae, dan Binhad Nurrohmat.
Jadual nasional pun segera disusun untuk menindaklanjuti acara ini. Daerah pertama yang ketiban sampur menggelar “Pramuka dan Sastra Tour de Indonesia” adalah Pantai Anyer, Banten. Acara tersebut dibarengkan dengan Pertemuan Sastra Asia Tenggara di Hotel Patrajasa, Anyer dalam bentuk “Kemah Sastra Asia Tenggara”. Kapan penyelenggaraannya masih menunggu konfirmasi dari Pramuka Nasional Indonesia, Kementerian Kelautan, serta GAPENA Malaysia, wadah penulis-penulis remaja Malaysia sebagai Proyek Resmi Negara.
Dari acara semacam ini, sastra akan bisa dirasakan umat manusia, terutama manusia Indonesia yang aktif di bidang sastra. Sastra tidak lagi didominasi oleh segelintir sastrawan nonsense sehingga jika nantinya ruang sastra-budaya di media-media tertentu ditutup oleh pemimpin redaksi, tidak lagi dicuekin oleh para sastrawan Indonesia. Bukankah jika karya sastra juga ditolak oleh kalangan sastrawan sendiri, lalu untuk apa ditampilkan? Bukankah itu pemborosan halaman yang amat sangat mahal?
Dengan mengambil tema “Sastra dan Laut”, Pramuka dan Sastra Tour de Indonesia diharapkan sukses. Tema ini dipilih karena sudah lama kehidupan laut tidak diakrabi manusia Indonesia. Padahal bangsa Indonesia pernah berjaya menguasai Nusantara di zaman Majapahit lewat kekuatan pelayaran laut dan sungai.
Sungai-sungai di seluruh Indonesia kebanyakan telah dilupakan bahkan dikhianati dengan hanya dijadikan sebagai tempat pembuangan sampah, limbah dan racun. Padahal sungai pernah sangat berjasa dalam menjayakan bangsa di zaman dulu.
Demikian juga laut, banyak manusia Indonesia memilih bepergian lewat jalur darat dan udara ketimbang naik kapal laut. Bahkan nelayan banyak yang menelantarkan potensi laut luas kita, dan hanya mau berkutat di laut-laut tepian saja, yang gampang-gampang. Akibatnya, ikan-ikan kita di laut luas banyak dimaling oleh negara-negara asing bekerja sama dengan oknum-oknum aparat atau pejabat yang berjiwa koruptor dan pengkhianat.
Ada baiknya, perkemahan sastra di darat atau di pantai itu perlu juga disusul dengan penyelenggaraan bengkel sastra melalui perjalanan kapal menuju Malaysia. Bisa saja digalang kerja sama lebih lanjut dengan sastrawan-sastrawan remaja di negara jiran itu. Siapa tahu produk sastra Indonesia nantinya tidak akan kalah dengan novel masterpiece “Lelaki Tua dan Laut” karya Ernest Hemingway?
***
*) Penulis adalah penyair dan pengamat sastra, tinggal di Lamongan, Jatim.