(Bunga jati namanya apa? Apa)
Nurel Javissyarqi
Kaca benggala menyerupai udara padat sebening kaca tebal lawas, memantulkan sifat nun sanggup ditembusi cahaya. Para terpelajar berkata; ilmu filsafat melalui garba bertanya. Kini aku tampilkan sekuntum bunga pertanyaan adalah kembang pohon jati. Siapa bertanya akan balik tanya kepada penanya. Inikah masa-masa tepat mempertanyakan jati diri?
Jika dipurbakan bolehlah dinamai pohon keabadian, letak mustika insan dalam diri. Siapa tertunduk kelihatan, yang mendongak tidak mampu meresapi kesadaran. Melafali fitroh teremban, lelaku takdir sudah digariskan alam pribadi di luar pun yang melingkupi.
Membaca ini serasa menyimak gending-gending jelita dibawa kekinian terlupa jenjang perburuan serampang, atau mengejar bayangan tanpa pedulikan cahaya kesungguhan.
Kiranya cahaya menyatu, kala kaki-kaki bersimpuh merasai tulang iga ingatan. Kejadian ditambahkan tebalnya ruh memaknai hayati. Manusia bersegala perangkat menggelinjaki darah hidup mempuni.
Pada baris-baris puisi, gegaris itu bernilai keuniversalan makna mencakup bebidang keilmuan. Puisi ialah filsafat atau filsafat mewujud puisi, kata sebagian orang utama. Meski ada fahaman lain tak harus dihakimi, nyatanya hukum terluhur sang waktu; berkisarnya kematangan usia keadaban menggali tanah-tanah pekuburan.
Tak lama gugusan berkilauan, olehnya kehati-hatian merawat pelukan perjalanan kesetiaan ditempuh. Betapa banyak insan kecewa bercerita keunggulannya di masa lampau, sedang kediriannya kini terkikis. Sebab tak setiai kunjungan awal, padahal niatnya tertancap manunggal sebelumnya.
Di sini letak keharusan perbaharui niatan, menghirup hawa lama tergerus perubahan. Melewati jalan-jalan kecil akan berbalik kesadaran melangkah. Energinya bertambah kepenuhan, lantas hiasan tak perlu dihirau. Kecuali menyelidik ulang di sela-sela waktu tepat berkembang.
Pohon jati dilindas kemarau panjang, batangnya menyimpan sisa-sisa nyawa pada lelapisan terdalam. Saat datang gerimis, tampak wajahnya sumringah. Mulut lama terbekam keluar nafasan seksama, sehembusan gairah syaraf-syarat kelenjar kelanjutan.
Daun-daun jati berkulit kasar tak cepat layu hembusan bayu terik mentari, meski lama terpetik. Ini berbanding dedaun lain mudah kering. Aku temukan batangnya bertahan serupa hikmah puasa, apalagi saat-saat haus melanda.
Kekurangan jelma pemicu. Mengokohkan tekad bulat hampir mencapai pendapatan, meski belum beranjak. Faham keuletan ini menjejak otot-ototnya, sehingga tak was-was yang bertopang.
Karena menyusuri musim sejumput pun kita tak tahu, selembut apa dirinya membatang pelan-pelan. Dedaun rontok diikhlaskan dalam jiwa menyetubuh, seumpama dendam manis berolah kasih sayang.
Rindu bersimpan jasad pertapaan, gua tidak memanggil pengelana. Yang bersinggah dihadiahi keindahan langgam bathiniah. Kadang surut membius panca indra pun kencang bercampur ruangan jiwa-jiwa tampan.
Entah keunggulan, pohon jati tak bersahabat pepohon lain. Atau ini fitroh, menghisap saripati bumi sekuat daya, dan pohon di dekatnya diberi sisa. Sang raja duduki singasana, tiada kompromi dipandang mata. Tapi betapa merindu takdirnya menjadi sandaran anak-anak kehidupan.
Ketika membelah batangnya lebih dari satu, takkan purna sampai kapan pun. Maka tangan lain menyempal satunya, agar tumbuh tak terganggu hasrat mendua. Aku sebut pilihan menggagalkan hasrat lebih yang lama-kelamaan timpang, dibanding genap bersatu tujuan.
“Pohon jati tegak aku pandang, anak-anakmu menyebut tiang-tiang penjaga langitan, yang membiru rupawan di atas hijau daun-daunmu menawan.”
Musim hujan dedaunnya mengembang sesayap elang mengapung di udara, kuasanya merentangi lahan-lahan sekitar penuh wibawa. Sebuah pencapaian agung, awalnya kering meranggas seolah tak mampu tegak berdiri. Laksana sulapan, tersadar bius kemabukan besar.
Urat-urat nadi memompa oksigen dalam tubuhnya perluas angkasa. Cita-cita luhur berguna demi apa pun manusia mau. Dan para pemahat tidak ragu-ragu, kayu tua atas musim-musim berwarna. Kesedihan, kegembiraan silih berganti tak ubahnya jatuh bangun kesembuhan.
Pohon-pohon lain menyaksikan bersalam harum menghadap kepundennya. Sebab hembusan ini, orang-orang Jawa tempo dulu membuat nama wilayah atas pohon. Oleh ruh dihirupnya memberi kesegaran gunung arjuna. Semisal bencah tanah; Jati Jajar, Jati Renggo, Gunung Jati. Kerajaan Majapahit pun atas pohon Maja berbuah pahit.
13 Mei 2009